Strategi lain yang terbukti bermanfaat adalah cognitive reframing, yakni mengubah cara pandang terhadap perjalanan. Alih-alih melihat commuting sebagai waktu terbuang, kita bisa menafsirkannya sebagai masa transisi yang memberi jeda antara urusan rumah dan pekerjaan. Perspektif ini membantu otak menurunkan respon stres karena situasi tidak lagi dianggap ancaman, melainkan bagian dari ritme hidup yang wajar.
Menariknya, paparan visual juga punya peran besar dalam menurunkan stres. Melihat pemandangan hijau, pepohonan, atau langit biru saat perjalanan bisa mengaktifkan bagian otak yang berhubungan dengan relaksasi. Bahkan sekadar menatap keluar jendela dan membiarkan mata beristirahat dari layar gawai sudah memberi dampak positif.
Selain itu, menulis catatan kecil atau jurnal di perjalanan bisa menjadi cara lain untuk mengolah pengalaman. Aktivitas ini bukan hanya mengisi waktu, tapi juga membantu otak memproses emosi yang muncul selama commuting. Dengan menuliskan pikiran, otak diajak untuk menyalurkan energi ke arah yang lebih produktif.
Bagi mereka yang suka menantang diri, perjalanan bisa dimanfaatkan sebagai ruang belajar. Mendengarkan podcast edukatif, mempelajari bahasa asing, atau membaca buku digital menjadikan commuting sebagai kelas berjalan. Dari perspektif neurosains, aktivitas ini melatih otak tetap aktif dan fleksibel, sehingga perjalanan panjang terasa lebih bermanfaat.
Namun, penting juga memberi ruang bagi keheningan. Tidak semua momen commuting harus diisi dengan aktivitas. Kadang, membiarkan pikiran beristirahat tanpa distraksi bisa memberi efek menenangkan yang kuat. Justru dalam keheningan itulah otak mendapat kesempatan untuk melakukan "reset" alami.
Pada akhirnya, strategi mengelola stres perjalanan tidak ada yang benar-benar universal. Setiap orang memiliki preferensi dan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kepribadian dan kebiasaannya. Yang terpenting adalah menemukan metode yang paling cocok dan konsisten menerapkannya.
Yang menarik, jika strategi ini dijalankan secara rutin, otak bisa beradaptasi dan mulai "mengenali" perjalanan sebagai bagian dari pola hidup yang stabil. Dengan demikian, stres yang biasanya muncul akan berkurang secara alami. Neurosains menyebutnya sebagai proses habituasi, di mana otak belajar untuk tidak lagi menganggap situasi tertentu sebagai ancaman.
Dengan kata lain, perjalanan harian bisa berubah dari sumber tekanan menjadi ruang latihan mental. Tidak hanya membuat kita lebih tenang di jalan, tapi juga membentuk daya tahan psikologis yang lebih kuat dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Inilah kekuatan strategi sederhana yang sebenarnya berakar pada pemahaman tentang cara kerja otak kita sendiri.
Kesimpulan
Commuting, yang selama ini sering dianggap musuh harian, ternyata menyimpan dinamika otak yang kompleks. Dari pelepasan hormon stres, aktivasi default mode network, hingga dampak jangka panjang pada kesehatan mental, semua menunjukkan betapa perjalanan bukan sekadar urusan fisik, melainkan juga pengalaman neurologis yang mendalam.
Namun, neurosains juga memberi harapan. Dengan strategi sederhana seperti musik, meditasi mikro, atau sekadar mengubah cara pandang, otak bisa belajar menafsirkan commuting secara berbeda. Perjalanan panjang tidak harus identik dengan penderitaan, melainkan bisa menjadi ruang refleksi, belajar, bahkan menemukan ketenangan.
Maka, mungkin sudah saatnya kita berhenti melihat commuting hanya sebagai waktu terbuang. Justru di balik rutinitas yang melelahkan itu, otak sedang bekerja keras membentuk ketangguhan baru. Pertanyaannya, apakah kita mau mengizinkan diri untuk melihat perjalanan ini sebagai peluang, bukan lagi beban?