Pulau-Pulau Kecil dan Marwah Negeri: Alarm Geopolitik dari Aceh Singkil
Oleh: Julianda BM
Dalam riuhnya panggung politik nasional, ada sebuah peristiwa sunyi yang luput dari perhatian banyak pihak---sebuah tragedi administratif yang menghantam marwah Aceh sebagai daerah berdaulat dengan sejarah dan identitasnya sendiri.Â
Empat pulau kecil yang sejak lama menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil---Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek---telah hilang dari peta Aceh.
Mereka bukan hanyut oleh tsunami, bukan pula menghilang karena abrasi, melainkan hilang dari dokumen negara akibat keputusan administratif pemerintah pusat.Â
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 menetapkan bahwa keempat pulau tersebut kini berada di bawah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Satu keputusan, empat pulau melayang.
Bagi sebagian pihak di Jakarta, mungkin ini hanya soal koordinat dan garis batas. Namun bagi Aceh, ini menyangkut harga diri. Ini tentang marwah---nilai yang jauh lebih dalam dari sekadar batas administrasi.
Bukan Sekadar Pulau: Ini Soal Strategi dan Kedaulatan
Pulau kecil kerap dianggap remeh. Ukurannya yang kecil sering kali membuatnya disepelekan dalam kebijakan pembangunan dan perencanaan wilayah.Â
Namun sesungguhnya, dalam hukum laut internasional---terutama UNCLOS 1982---pulau, sekecil apa pun, memiliki nilai strategis yang luar biasa. Ia bisa menentukan batas laut teritorial, zona tambahan, bahkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara.
Indonesia adalah negara kepulauan. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote, pulau-pulau kecil adalah fondasi dari keutuhan wilayah kedaulatan kita.Â
Hilangnya satu pulau bukan hanya berarti kehilangan satu daratan, melainkan kehilangan ribuan kilometer persegi laut dan potensi ekonomi di sekitarnya.