Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pulau-Pulau Kecil dan Marwah Negeri: Alarm Geopolitik dari Aceh Singkil

10 Juni 2025   13:50 Diperbarui: 10 Juni 2025   13:50 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim survei dari Kemendagri bersama utusan Pemprov Sumut dan Aceh telah tiba di empat pulau yang diklaim oleh Provinsi Sumut (Sumber: topmetro.news )

Dengan kata lain, pulau kecil adalah aset geopolitik. Ia bisa menjadi titik pantau militer, pos pengawasan laut, lokasi logistik pertahanan, atau sumber daya alam masa depan---baik dari sektor perikanan, energi laut, maupun pariwisata.

Aceh di Simpang Samudra: Posisi yang Tak Boleh Diabaikan

Letak geografis Aceh sangat strategis. Di sebelah barat, Aceh menghadap langsung Samudra Hindia---jalur pelayaran internasional yang dilintasi kapal-kapal dagang dari Afrika, Timur Tengah, hingga Asia Timur. Di sebelah timur, Aceh berbatasan dengan Selat Malaka, yang disebut-sebut sebagai salah satu jalur laut tersibuk di dunia.

Dalam konteks ini, pulau-pulau kecil di Aceh, terutama yang berada di wilayah perbatasan seperti Aceh Singkil, memegang peranan penting. Mereka adalah titik depan. Mereka adalah gerbang laut yang menjaga keutuhan wilayah dan pengaruh strategis Aceh di kawasan barat Nusantara.

Kehilangan empat pulau di Singkil sama artinya dengan mundurnya benteng penjagaan Aceh. Ini bukan sekadar perubahan warna peta, ini adalah pergeseran posisi tawar dan pengaruh geopolitik yang nyata.

Fakta yang Terlupakan: Bukti-Bukti Ke-Aceh-an yang Diabaikan

Empat pulau tersebut bukan daratan kosong yang tak bertuan. Di sana terdapat infrastruktur yang dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil sejak lebih dari satu dekade lalu. 

Ada dermaga, mushala, rumah singgah, hingga tugu perbatasan bertuliskan: "Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam".

Ada pula dokumen kepemilikan tanah dari tahun 1965, serta peta kesepakatan batas wilayah antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara yang disahkan pada tahun 1992, disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri saat itu.

Namun semua itu seperti terhapus hanya dengan satu surat keputusan dari pusat. Di mana suara Pemerintah Aceh saat itu? Di mana peran lembaga negara yang semestinya menjaga keutuhan administratif berdasarkan sejarah dan fakta pembangunan?

Pelajaran dari Sipadan dan Ligitan: Jangan Ulangi Kesalahan

Indonesia pernah kehilangan dua pulau kecil yang berada di perbatasan Kalimantan---Sipadan dan Ligitan---ke tangan Malaysia, setelah diputuskan oleh Mahkamah Internasional. 

Salah satu alasannya adalah karena Malaysia dinilai lebih hadir di kedua pulau itu. Mereka membangun, memberi pelayanan publik, dan mengelola wilayah tersebut secara aktif.

Dalam kasus Aceh Singkil, justru Acehlah yang selama ini hadir dan membangun. Tapi keputusannya berbalik: justru wilayah yang aktif dibangun itu dinyatakan milik provinsi tetangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun