Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menimbang Ulang Arah Kebijakan Bantuan Sosial di Indonesia

7 Juni 2025   08:14 Diperbarui: 6 Juni 2025   23:44 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: https://banten.bisnis.com/read/20200928/421/1297316/bantuan-sosial-pemerintah-membantu-ekonomi-warga-lebak)

Menimbang Ulang Arah Kebijakan Bantuan Sosial di Indonesia

Oleh: Julianda BM

Saya ingat betul, ketika saya bertemu sepasang suami istri di kota saya Kota Subulussala-Aceh, mata mereka berbinar saat membicarakan bansos dan PKH. Namun, dalam sekejap nada mereka berubah---lelah, hampir putus asa. "Terima apa adanya, Pak," kata sang ibu, "tapi keinginan kami sederhana: punya pekerjaan tetap, bukan hidup dari bantuan."

Mereka bukan kasus individu---kisah seperti ini bergema di sudut-sudut negeri, dan berulang kali menjadi bahan perbincangan kebijakan publik. 

Bantuan pemerintah berupa BLT, sembako, subsidi listrik, bahkan diskon tol, memang terasa langsung di dompet keluarga. Dapur tak kosong, token listrik bisa dibeli, dan sesekali ongkos transport bisa memangkas beban harian. 

Tapi apakah itu cukup? Asupan kuota internet ibu pengajar wisma remang itu dipenuhi tepat waktu? Modal gerobak pedagang ketoprak gang kecil itu sempat terkumpul? 

Atau justru semua bantuan itu tetap terasa setengah manis---lega sesaat, tapi beban hidup tetap menunggu mereka di depannya.

Dalam laporan Bank Dunia 2020 pernah ditegaskan bahwa bantuan langsung tunai (BLT) memang mampu menopang rumah tangga dari tekanan pandemi. Namun jumlahnya belum cukup untuk menahan peningkatan kemiskinan dan belum menjangkau sektor informal, yang notabene menopang kehidupan jutaan orang Indonesia (Sumbernya). 

Bayangkan: pekerja tambal ban, ojek, pedagang kaki lima, tukang pijat, dan lainnya hanya mendapatkan sedikit bantuan, jika ada. Sementara sektor formal---yang justru melekat fasilitas pemutusan hubungan kerja, asuransi, dan subsidi skema---jarang terangkat sebagai permasalahan utama. 

Inilah ironi bantuan sosial; yang membutuhkan lebih malah tak terjamah, sementara yang sebenarnya lebih mapan justru menikmati secuil keuntungan seperti diskon tol atau subsidi listrik.

Di tengah kegelapan ekonomi, sektor informal harusnya jadi pusat perhatian. Mereka tidak memiliki penyangga sosial formal. Sekali dagangan sepi, sekali penghasilan lesu, maka tagihan menumpuk, utang berbunga mengikuti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun