Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak Bukan Tabungan Masa Tua: Membangun Budaya Kolaborasi dalam Keluarga

31 Mei 2025   08:29 Diperbarui: 30 Mei 2025   23:38 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: https://hainews.co.id/apa-itu-generasi-sandwich-cek-faktanya-di-sini/)

Anak Bukan Tabungan Masa Tua: Membangun Budaya Kolaborasi dalam Keluarga

Oleh: Julianda BM

Sudah sejak lama masyarakat kita mengenal prinsip "anak sebagai penopang hari tua." Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering mendengar kalimat-kalimat seperti ini: "Nanti kalau sudah besar, bantu orang tua ya." Atau: "Papa Mama besarkan kamu, nanti kamu jangan lupakan kami." 

Kalimat ini tampak penuh kasih sayang, namun bila dicermati lebih dalam, ada satu premis yang perlu kita renungkan: bahwa anak dijadikan investasi sosial dan finansial.

Realitas semacam inilah yang menjadi akar dari munculnya fenomena yang kini akrab disebut sebagai generasi sandwich---mereka yang berada di usia produktif, namun harus menanggung beban ekonomi dua arah: membiayai kehidupan orang tua dan sekaligus menanggung kebutuhan anak-anak. Akibatnya, masa depan, khususnya masa pensiun, menjadi sesuatu yang sulit dicapai.

Pertanyaannya, apakah kita harus melanjutkan pola seperti ini? Ataukah perlu ada pergeseran paradigma dalam membangun hubungan antaranggota keluarga?

Budaya Balas Budi yang Mengikat

Dalam masyarakat kita, khususnya di wilayah yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan adat, seperti sebagian besar daerah Indonesia, konsep balas budi sangat kuat. 

Orang tua merasa telah memberikan segalanya: waktu, tenaga, biaya, cinta, bahkan impian mereka pun sering dititipkan pada anak-anaknya.

Anak, dalam hal ini, diposisikan sebagai harapan hidup. Karenanya, tak jarang kita temui orang tua yang menggantungkan masa tua mereka sepenuhnya pada kesuksesan anak. Bila anak berhasil, mereka merasa aman. Bila anak gagal, mereka merasa masa tuanya ikut hancur.

Secara sosial, hal ini bisa dimengerti. Namun dari sudut pandang psikologis dan relasi keluarga, pola seperti ini menciptakan ketimpangan dalam hubungan. 

Anak tumbuh dengan beban yang besar. Ia bukan lagi individu yang bebas membentuk masa depannya, melainkan pelaksana harapan-harapan yang diwariskan secara turun-temurun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun