Anak Bukan Tabungan Masa Tua: Membangun Budaya Kolaborasi dalam Keluarga
Oleh: Julianda BM
Sudah sejak lama masyarakat kita mengenal prinsip "anak sebagai penopang hari tua." Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering mendengar kalimat-kalimat seperti ini: "Nanti kalau sudah besar, bantu orang tua ya." Atau: "Papa Mama besarkan kamu, nanti kamu jangan lupakan kami."Â
Kalimat ini tampak penuh kasih sayang, namun bila dicermati lebih dalam, ada satu premis yang perlu kita renungkan: bahwa anak dijadikan investasi sosial dan finansial.
Realitas semacam inilah yang menjadi akar dari munculnya fenomena yang kini akrab disebut sebagai generasi sandwich---mereka yang berada di usia produktif, namun harus menanggung beban ekonomi dua arah: membiayai kehidupan orang tua dan sekaligus menanggung kebutuhan anak-anak. Akibatnya, masa depan, khususnya masa pensiun, menjadi sesuatu yang sulit dicapai.
Pertanyaannya, apakah kita harus melanjutkan pola seperti ini? Ataukah perlu ada pergeseran paradigma dalam membangun hubungan antaranggota keluarga?
Budaya Balas Budi yang Mengikat
Dalam masyarakat kita, khususnya di wilayah yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan adat, seperti sebagian besar daerah Indonesia, konsep balas budi sangat kuat.Â
Orang tua merasa telah memberikan segalanya: waktu, tenaga, biaya, cinta, bahkan impian mereka pun sering dititipkan pada anak-anaknya.
Anak, dalam hal ini, diposisikan sebagai harapan hidup. Karenanya, tak jarang kita temui orang tua yang menggantungkan masa tua mereka sepenuhnya pada kesuksesan anak. Bila anak berhasil, mereka merasa aman. Bila anak gagal, mereka merasa masa tuanya ikut hancur.
Secara sosial, hal ini bisa dimengerti. Namun dari sudut pandang psikologis dan relasi keluarga, pola seperti ini menciptakan ketimpangan dalam hubungan.Â
Anak tumbuh dengan beban yang besar. Ia bukan lagi individu yang bebas membentuk masa depannya, melainkan pelaksana harapan-harapan yang diwariskan secara turun-temurun.