Menuju Kemandirian Energi Aceh: Urgensi Revisi Pasal 160 UUPA
Oleh: Julianda BM
Revisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) tengah memasuki tahap krusial. Draf revisi yang memuat sejumlah perubahan penting kini menunggu pengesahan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sebelum dilanjutkan ke DPR RI untuk pembahasan lebih lanjut.Â
Dari sekian banyak pasal yang direvisi, Pasal 160 yang menyoroti kewenangan pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) menjadi titik paling strategis dalam konteks ekonomi, hukum, dan kedaulatan Aceh.
Mengapa Pasal 160 penting? Karena dalam struktur negara kesatuan, pengelolaan sumber daya alam---khususnya migas---selalu menjadi isu sensitif antara pusat dan daerah.Â
Aceh, sebagai daerah dengan status otonomi khusus, telah lama memperjuangkan penguatan kewenangan dalam pengelolaan sektor ini. Sayangnya, kewenangan yang selama ini dijanjikan dalam UUPA tidak sepenuhnya terlaksana dalam praktik, salah satunya karena ketidakhadiran regulasi turunan yang jelas dan inkonsistensi pelaksanaannya di lapangan.Â
Studi oleh Pradana et al. (2024) menunjukkan bahwa kewenangan Pemerintah Aceh melalui Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) hanya terbatas pada pengawasan dan regulasi, tanpa keterlibatan langsung dalam kegiatan hulu migas, sehingga tidak memberikan dampak signifikan terhadap pendapatan daerah (Pradana, Irwansyah, & Wulandari, 2024).Â
Temuan ini sejalan dengan kajian Setiawan (2022) yang mengungkapkan bahwa otonomi khusus belum mampu membawa Aceh keluar dari fenomena "paradox of plenty", karena lemahnya pengaturan pelaksana dan dominasi pusat dalam sektor-sektor strategis seperti migas (Setiawan, 2022).
Peta Masalah: Ketimpangan dan Ketidaksinkronan Regulasi
Secara normatif, Pasal 160 UUPA sebelumnya mengatur bahwa Pemerintah Aceh memiliki kewenangan dalam pengelolaan migas, namun tetap harus mengacu pada kebijakan nasional.Â
Di sinilah letak masalahnya: formulasi pasal tersebut membuka celah multitafsir dan menimbulkan ketidaksinkronan dalam pelaksanaan teknis antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh.Â
Dalam beberapa kasus, izin usaha migas tetap dikendalikan oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan pertimbangan substansial dari pemerintah Aceh.Â