Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kemuraman Jatuh, di Hati Malaikat

31 Agustus 2018   06:32 Diperbarui: 31 Agustus 2018   08:00 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepasang kaki mungil itu bergerak cepat menuruni tangga marmer. Gaun tidur birunya berkibaran. Rambut panjangnya terurai, terlepas dari kuncirannya.

"Daddy!" Angel berseru riang, melompat ke pelukan Calvin.

Ayah dan anak tanpa ikatan biologis itu berpelukan. Tiga hari tak bertemu membiaskan rindu. Ciuman hangat dan dekapan kuat menjadi bukti.

"Miss you..." bisik Calvin, lembut mengelus rambut Angel.

"Miss you too, Daddy."

Mereka berpindah ke sofa. Angel duduk di pangkuan Calvin. Sejenak bermanja, mengeluarkan aura kanak-kanaknya yang natural. Berpisah tiga hari ternyata membawa banyak cerita. Angel mengeluhkan sepinya hari-hari tanpa Daddy tercinta. Ia juga menceritakan gereja yang mulai sepi dan barisan bangku yang lebih sering kosong saat Misa. Ditunjukkannya pula origami buatannya. Origami cantik berbentuk burung, hasil kerjanya setelah diajari guru pendamping home schoolingnya.

"Wow, ini buat Daddy?" tanya Calvin, disambuti anggukan gadis kecilnya.

"Thank you."

Calvin memegangi burung kertas itu. Sesuatu yang tercipta dari tangan sendiri, terkadang lebih spesial dibandingkan produk massal buatan tangan orang lain. Origami itu adalah hadiah pertama Angel untuk ayah angkatnya.

"Oh iya, Daddy juga punya hadiah buat Angel. Angel pasti suka..."

Setelah berkata begitu, Calvin membuka dua paper bag yang dibawanya. Paper bag pertama berisi lima kotak klapertart. Paper bag kedua berisi empat stoples halua kenari, tiga stoples pala manis, dan dua kotak pia Amurang. Diberikannya paper bag berisi klapertart ke tangan Angel.

"Klapertart? Wah, ini enak banget. Dulu, Mama pernah kasih ini buat Angel waktu pulang dari Manado. Thanks, Daddy." Angel mengecup pipi Daddynya.

"You're wellcome."

Angel mengambil sepotong klapertart. Menggigitnya, mengunyahnya perlahan. Rasa susu membelai lembut lidahnya. Lezat sekali kue peninggalan Kolonial satu ini. Paduan kelapa, kismis, kenari, keju, dan susunya begitu nikmat.

Menelan potongan pertama, Angel kembali merogoh isi kotak. Kali ini mengeluarkan dua potong kue. Detik berikutnya, ia melakukan hal tak terduga. Angel, malaikat kecil itu, menyuapkan potongan klapertart untuk Calvin.

Alhasil mereka pun saling menyuapi. Keduanya sangat menikmati momen kebersamaan itu. Manisnya klapertart tak sebanding dengan manisnya kedekatan mereka.

Puas suap-suapan dengan isi kotak pertama, Calvin mengulurkan paper bag kedua yang masih tersegel rapi. "Angel, kasih yang ini sama Bibi-Bibi dan Paman di dapur ya. Bilang terima kasih ke mereka, karena mereka udah jagain Angel selama Daddy pergi."

Anak cantik itu menurut. Berlari kecil ke dapur yang letaknya jauh sekali dari ruang tamu. Calvin menatapi sosoknya sampai hilang di balik lorong. So cute and pretty, pikirnya. Secara tidak langsung, Calvin mengajari Angel tentang berbagi dan berterima kasih. Begitulah Calvin Wan. Tak pernah lupa keluarga dan pegawai-pegawainya.

Tak lama, Angel kembali dengan wajah cerah. Ia katakan kalau kesembilan asisten rumah tangga senang menerima oleh-olehnya. Calvin tulus memuji. Sejurus kemudian, digendongnya Angel ke kamar.

Di dalam kamar mewah dan sejuk itu, Calvin dan Angel berbaring bersisian. Malam ini, takkan ada fairy tale menjelang tidur. Hanya cerita-cerita kecil dan sederhana. Calvin menceritakan perjalanannya ke Manado, tanpa sedikit pun membahas Revan dan konfliknya. Dia hanya bercerita pemandangan indah yang dijumpainya, Bukit Doa, dan rumah ibadah lima agama. Dia pun meminta maaf karena tak bisa mengajak Angel ke Bumi Kawanua.

"Lain kali, kita liburan sama-sama ya. Angel mau kemana aja, pasti Daddy temani." janji Calvin.

Selama Calvin bercerita, Angel mendengarkan dengan antusias. Ia pendengar yang baik. Tak menyela, tak juga bosan. Saat itulah tetiba Calvin teringat sesuatu. Ia belum shalat Isya.

Cepat-cepat Calvin bangkit, resah mengecek arloji. Angel menatapnya bingung.

"Angel Sayang, boleh nggak Daddy pinjam kamar Angel? Daddy mau berdoa sebentar..."

"Boleh dong, apa sih yang nggak buat Daddy?"

"Good girl. Wait..."

Calvin mengecup ringan pipi Angel, lalu bergegas mengambil wudhu. Shalat dengan memakai jas, seperti biasa. Angel lekat memperhatikan. Mula-mula Daddynya berdiri menghadap arah tertentu. Bibirnya pelan menggumamkan sesuatu tanpa suara. Kedua tangannya terangkat, seakan membentuk tanda. Lalu Daddy tampannya itu bersedekap, terlihat begitu khusyuk dalam doanya. Sebentar kemudian Daddynya berlutut, bersujud, dan duduk bersimpuh di antara sujudnya.

Benak Angel merekam sempurna. Begitulah cara Daddy Calvin berdoa. Lalu, mengapa Daddy dan Angel berbeda cara berdoanya?

**    

"Selamat pagi, Silvi."

Silvi terbangun dari lelapnya, lalu berteriak. Ada yang mencium pipinya tanpa izin. Tapi wangi Benneton Sport ini, mengapa familiar?

Sesosok tubuh setinggi 180 senti membungkuk di atasnya. Helaian rambut pirang menyentuh dahi Silvi. Ah, tidak salah lagi.

"Revan?" desis Silvi, menyingkap kasar selimutnya.

Nyong dan Nona Minahasa itu larut dalam pelukan. Revan tak ragu mengecup kedua pipi Silvi berkali-kali. Seakan telah lama mereka tak bertemu.

"Kamu kemana aja sih? Tiga hari hilang tanpa kabar? Bikin stress sepupumu yang paling cantik!" kecam Silvi, memukul-mukul dada Revan.

Pria berjas dark blue itu tertawa. "Lagi kesal gini, masih sempat narsis ya."

"Biarin! Aku kesal sama kamu! Kalo mau kabur, bilang dulu dong!"

"Yee, mana ada kabur pakai bilang-bilang. Itu sih bukan kabur namanya."

Sesaat kedua sepupu bermata biru pucat itu saling melemparkan canda. Bedcover putih menjadi sedikit berantakan. Namun mereka tak peduli. Pertemuan kembali sangat membahagiakan.

"Sana, kamu mandi. Dandan yang cantik, trus pakai itu." tunjuk Revan ke arah sebentuk kotak putih yang belum dibuka.

"Dress. Corak batik Manado. Tahu kan, yang tiga corak itu? Lilin, reef, sama zigzag?"

"Oh Revan, itu yang aku inginkan dari bulan kemarin! Makasih ya...kamu beliin buat aku!"

"Sama-sama. Aku tahu bangetlah, kamu suka dress."

Ternyata tak hanya sehelai dress cantik. Revan membelikan sepuluh dress untuk sepupunya. Dress, pakaian terfavorit Silvi.

Begitu Silvi menghilang di kamar mandi pribadinya, Revan cepat-cepat turun ke lantai bawah. Tergerak hatinya menyiapkan sarapan. Sekaligus menebus tiga hari yang hilang.

"Revan...Revan, kamu dimana?" panik Silvi begitu menyadari sepupunya tak ada lagi di kamarnya satu jam kemudian.

Silvi berdandan dengan gelisah. Setelahnya ia terburu-buru menuruni anak tangga.

Tiba di lantai bawah, ia disambut harum roti panggang. Ia percepat langkah ke pantry. Sudah terduga, Revan berdiri di depan meja dapur. Kedua tangannya sibuk mengoleskan selai.

"Hei, udah selesai? Kamu mau selai rasa apa? Coklat, nanas, strawberry...?"

"Nanas aja gimana?"

Dengan telaten, Revan mengolesi selai ke lembaran-lembaran roti. Manik mata Silvi menatapi, kagum. Sepupunya ini bisa saja membuat hati meleleh dengan perhatian kecilnya. Mengapa pria sebaik Revan ditolak Ustadz fanatik?

"Nih, buat kamu. Yang ini buat aku. Time to breakfast." Revan menyerahkan piring keramik berisi roti panggang berlapis selai nanas.

Keduanya sarapan di taman belakang. Sengaja mencari suasana baru. Di ruang makan sudah biasa. Berganti spot tak ada salahnya.

"Kenapa sih, kamu suruh aku make up dan pakai baju rapi pagi-pagi gini? Hari ini kan aku nggak ke butik..." selidik Silvi.

"Ada yang mau ketemu kamu di sini." jawab Revan lembut.

Silvi mengangkat alis. Revan berpaling, menyembunyikan perasaan tidak enak di balik cangkir susu.

"Sudah saatnya kamu memaafkan Calvin..."

"Nope. Apa kamu sudah memaafkan dia?"

Pertanyaan Silvi dibalas anggukan Revan. Mendadak selera makan Silvi hilang. Nona cantik bermarga Tendean itu menahan marah.

Bujukan Revan tak mempan. Silvi enggan membuka hati untuk memaafkan Calvin. Baginya, Calvin telah melakukan kesalahan fatal.

Keresahan Revan memuncak ketika deru mobil terdengar di halaman depan. Itu pasti Calvin. Semenit kemudian, penjaga rumah membukakan pintu gerbang. Silvi melompat bangkit, piring keramik di pangkuannya jatuh. Isinya tumpah.

"Aku tidak mau bertemu Calvin!" teriak Silvi jengkel. Ia berbalik, hendak masuk ke dalam rumah. Revan menahannya. Pelan memintanya mau menemui Calvin, sebentar saja.

**    

Sepasang pria dan wanita beda etnis itu berdiri berhadapan. Silvi mengangkat dagu dengan angkuh. Kedua tangannya ia letakkan di pinggang.

Sementara itu, Calvin memandangnya lekat. Diam-diam menikmati kecantikan Silvi. Wanita yang dicintainya ini begitu anggun dalam balutan dress cantik. Dress menjadi pakaian yang sangat khas Silvi. Pakaian seperti itu membuatnya tampil menawan.

"Kenapa..." Calvin memulai, lembut tapi penuh kekuatan.

"Kenapa kau tak juga memaafkanku?"

Silvi membelalakkan mata birunya. "Seharusnya aku yang tanya! Kenapa kau mengabaikanku, dan tiga kali tak mengangkat teleponku hari itu?!"

"Telepon? Telepon yang mana? Bukankah..."

"Hari saat kauantar Angel ke kapel, pada jam yang sama, aku meneleponmu! Tidakkah kau tahu itu, malaikat bodoh?!"

Calvin tertegun. Benarkah? Kemudian ia teringat. Sesudah menyanggupi permintaan tolong Rossie, ia langsung menonaktifkan smartphonenya. Hanya tak ingin diganggu, biar dia fokus membantu Rossie dan Angel tanpa intervensi.

"Calvin, kau tahu...aku terlalu menyayangimu." desah Silvi.

Bulu mata Calvin yang lentik bergerak. Apa lagi permainan Silvi? Katanya, Silvi menyayanginya. Tetapi...

"Aku tahu semuanya, walaupun saat itu aku sengaja tidak menjawab telepon Rossie. Aku tahu Rossie sedang butuh bantuan. Hanya ingin menguji seberapa responsif dan solidnya persahabatan kita. Ternyata, kamulah yang bergerak menolongnya. Kuawasi dari jauh, kulihat kamu kesakitan saat menggendong Angel ke mobil karena limpamu membengkak..."

Jadi, Silvi melihat semuanya? Kembali wanita itu menjelaskan sambil menahan tangisnya.

"Tak tega aku melihatmu. Kutelepon kamu...tapi, kaubalas kepedulianku dengan pembiaran! Kau malah bermain api dengan Rossie!"

Satu, dua, tiga, empat, lima titik bening berhamburan dari mata Silvi. Lebih banyak lagi kristal bening terjatuh. Silvi tergugu. Calvin sempurna terpagut dalam kekagetan dan kesedihan.

Menyeka kasar air matanya, Silvi mundur sedikit. Di luar dugaan, wanita yang tanggal lahirnya sama dengan Calvin itu menggerakkan tubuhnya. Tubuh ramping itu bergerak membentuk tarian indah. Kaki jenjangnya bergerak lincah di rerumputan.

Ruang pemahaman terbuka di hati. Silvi menari untuk melampiaskan kesedihan dan amarah. Tak sampai di situ saja. Kini, Silvi menari sambil menyanyi.

Kau tak butuh diriku

Aku patung bagimu

Cinta bukan kebutuhanmu

Ku hidup dengan siapa

Kau hidup dengan siapa

Kau kekasihku

Tapi orang lain bagimu

Kau dengan dirimu saja

Kau dengan duniamu saja

Teruskanlah, teruskanlah

Kau begitu (Agnes Monica-Teruskanlah).

Embun di mata Silvi berubah menjadi hujan. Ia menari, seraya menyanyi dan menangis. Mantan model itu tak pernah kehilangan kemampuan koreografi dan aktingnya. Tapi, sungguh ini bukan akting.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik, tanpa ragu Calvin menyusul Silvi. Ia sesuaikan gerakan tubuhnya dengan gerakan wanita kedua yang paling dicintainya setelah Nyonya Rose. Lupakah Silvi kalau Calvin juga mantan model? Walaupun tak setegap dulu, walaupun tubuhnya tak seproporsional dulu, tetapi kemampuan dan bakatnya masih melekat.

Mereka menari bersama di halaman depan. Koreografi memikat yang dibawakan Calvin Wan dan Silvi Gabriella Tendean. Seolah mereka sudah terbiasa, gerakan mereka begitu luwes. Dinamis, lincah, tanpa cela.

Improvisasi, biarkan saja begitu. Calvin berimprovisasi dengan menggendong Silvi ala bridal style.

"Turunkan aku, malaikat bodoh!" Silvi menjerit marah.

"Aku tidak akan menurunkanmu sampai kau memaafkanku."

"Aku tidak akan pernah memaafkanmu! Kau sudah keterlaluan!"

Betapa kagetnya Calvin mendengar ucapan tajam itu. Nyaris saja ia menjatuhkan Silvi. Benarkah begitu? Benarkah wanita jelita yang menempel di punggungnya ini takkan memaafkannya?

Kemuraman jatuh, jatuh di hati. Bukan ini yang diinginkannya. Hanya karena salah paham dan pembiaran, tak pantaskah ia mendapat maaf dari Silvi?

**    

Youtube

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun