Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ke Mana Hatiku Akan Bermuara?

16 Mei 2017   06:58 Diperbarui: 16 Mei 2017   07:59 1590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Begini rasanya dikhianati. Rasa sakit lantaran ditusuk dari belakang oleh teman sendiri tengah ia rasakan. Setelah semua kebaikannya selama ini, setelah semua kontribusinya untuk mengerjakan project itu, Syifa mengeluarkannya dari tim.

“Kamu sendiri aja ya? Jangan di tim kami lagi,” kata Syifa.

Gadis bermata biru itu terenyak. Tak berdaya. Kehilangan kata. Ia terbiasa menahan perasaannya di depan Syifa. Membiarkan teman sekelasnya itu memanfaatkan kebaikan dan otak cerdasnya. Tak disangka rasanya sesakit ini.

“Aku akan membuat project dan presentasi yang lebih bagus lagi,” gumam gadis bermata biru itu. Dan ia akan membuatnya sendiri.

Mengapa jadi orang baik sangat sulit? Terlalu baik membuat diri kita dimanfaatkan dan disepelekan orang lain. Terlalu pintar membuat banyak orang mendekati kita hanya jika mereka butuh diajari dan dibantu mengerjakan sesuatu. Segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik.

Sayangnya, si gadis bermata biru sering sekali dimanfaatkan teman-temannya sendiri. Mereka hanya datang kepadanya untuk meminta bantuan. Entah itu bantuan akademis semacam mengajari materi perkuliahan dan semacamnya, meminta konsultasi dan hypnotherapy, serta bantuan-bantuan lainnya. Ternyata, inilah rasanya dimanfaatkan. Hanya didekati bila dibutuhkan. Sehatkah relasi pertemanan semacam itu?

Mr. Jatmika adalah tempatnya mengadu. Mengutarakan ironi yang dialaminya. Dosen walinya yang sama-sama menjadi hypnotherapyst seperti dirinya itu cukup bijak dalam menanggapi permasalahan mahasiswi cantiknya.

“Kamu harus selektif dalam bersikap,” ujar pria Virgo itu lembut. Satu lagi kesamaan mereka: lahir di Bulan September dan berzodiak Virgo.

Selektif bagaimana maksud Anda?” tanya gadis bermata biru itu letih.

“Berbuat baik itu wajib, tapi jangan lupa bersikap selektif. Jangan biarkan diri kita dimanfaatkan orang lain. Orang baik bukan untuk dimanfaatkan, tapi untuk dicontoh kebaikannya. Kamu paham?”

Kata demi kata meresap ke dalam benaknya. Di dekat Mr. Jatmika, si gadis bermata biru selalu merasa tenang. Ayah satu anak itu memberikan aura positif dan perlindungan padanya. Tak pernah ia lupa, Mr. Jatmika pernah membanggakannya di depan para dosen saat ajang Mahasiswa Berprestasi dan memberikan rasa aman serta nyaman padanya.

“Jagalah dirimu. Saya harap kamu bisa menjaga dirimu sendiri saat tak seorang pun bisa melindungimu. Bila nanti saya ke luar negeri...”

“Anda mau ke luar negeri?” sela gadis itu. Benaknya disergap kesedihan dan kehilangan. Jika Mr. Jatmika pergi, siapa yang akan membela dan memberinya perlindungan di sini?

“Tidak dalam waktu dekat ini, Sayang. Saya juga masih ingin mengajar di sini. Setidaknya sampai mahasiswa yang saya bimbing lulus.”

Apakah itu sebatas kata-kata yang menenangkan hati? Ataukah sebuah janji? Entahlah, yang jelas si gadis bermata biru merasakan sepercik ketenangan. Dalam diri Mr Jatmika, ia temukan sosok pendidik, ayah, dan sahabat yang baik.

**      

Sarah Paramita tak sadar jika dirinya cantik. Teman-teman sekantornya sering mengiranya memiliki darah campuran India. Sebab hidungnya mancung, dagunya v-shape, dan wajahnya cantik. Ia berbeda dengan saudara-saudaranya. Secara keseluruhan, wajah mereka memang tidak mirip. Sarah lebih mirip gadis keturunan India. Clara, dengan wajah oriental dan mata sipitnya, menyerupai orang China. Sedangkan yang terakhir, lekat dengan panggilan Bule dan Boneka Barbie oleh teman-temannya karena wajahnya yang imut dan sepasang mata birunya.

Si gadis bermata biru tergerak hatinya untuk menjodohkan Sarah dengan seseorang. Seorang pria tampan yang masih tergolong sepupu jauhnya. Sang pria kini tengah sibuk merintis bisnis kuliner di kota batik sekaligus kota asal Presiden ketujuh republik ini. Ia terpesona pada kota itu, pada pria tampan yang ingin dijodohkannya, dan pada pemimpin negara idolanya yang berasal dari kota itu.

“Jadi, kamu igin menjodohkan Sarah dan Anton?” tanya Clara. Tertawa geli mendengar rencana sebenarnya.

“Memang kenapa? Dari pada sibuk memikirkan kebahagiaan diri sendiri, lebih baik membahagiakan orang lain.” jawab si gadis Virgo diplomatis.

Clara masih saja tertawa. “Aku tak habis pikir, bagaimana jika Anton dan Sarah benar-benar menikah. Satunya alumni UI, satu lagi UNS. Anton sibuk berbisnis, Sarah berkarier di Dirjen Pajak. Sangat bertolak belakang.”

“Lho, bukannya mereka bisa saling melengkapi?” bantah gadis bermata biru itu tak mau kalah.

“Iya sih. Kita lihat saja nanti.”

Setelah Clara meninggalkan kamarnya, si gadis bermata biru meraih sebentuk potret. Potret belahan jiwanya. Laki-laki yang terpenjara dalam tembok-tembok tinggi biara.

“Albert, doakan aku ya? Aku ingin melihat dua orang yang kusayangi bersatu.”

**     

Kau adalah puisi hati

Di kala rindu tak bertepi

Ku ingin Kau ada

Saat ku membuka mata

Hingga ku menutupnya kembali

Kausirnakan kabut kelabu

Di sabarnya pencarianku

Bagai embun pagi

Kaulepaskan dahaga kemarau hati

Kaulah lukisan pagi

Yang kugambar untuk senjaku

Kaulah selaksa bunga

Yang warnai musim semiku

Di kala hati ini gundah

Kau membuatnya  menjadi cerah

Kaulah matahariku

Dan kaulah samudera

Tempat hatiku bermuara

Kau jawaban dari doaku

Yang akhiri penantianku

Bagai bintang jatuh

Kau hadirkan harapan di dalam hati

Kaulah deburan ombak

Yang pecahkan batu karangku

Kaulah gugusan bintang

Yang hiasi malam gelapku

Di kala hati ini gundah

Kau membuatnya menjadi cerah

Kaulah matahariku

Dan kaulah samudera

Tempat hatiku bermuara

Tempat hatiku bermuara (Adera-Muara).

**    

“Kamu hebat, Anton.” puji Sarah. Tersenyum hangat.

Anton balas tersenyum. “Aku ingin berbisnis dengan usahaku sendiri. Tanpa mengandalkan bisnis keluarga.”

Bisnis keluarga juga bagus kok. Asalkan sesuai dengan passionmu.” kata Sarah ringan.

Di kejauhan, si gadis bermata biru mengangguk setuju. Tersenyum mengamati kebersamaan dua orang yang disayanginya di dalam restoran itu. Bisnis keluarga juga baik. Dan bisnis bisa dipelajari siapa pun. Andaikan sang belahan jiwa bersedia bermetamorfosis dari biarawan menjadi pebisnis. Tidak, buru-buru dienyahkannya pikiran itu. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bersedih dan menyesali perasaannya sendiri.

“Tapi kamu berani, Anton. Berani keluar dari zona nyaman. Sampai akhirnya punya rumah makan sendiri di Surakarta.” Lagi-lagi Sarah melontarkan pujian. Roman muka Anton sontak berubah. Ia tampak makin menawan saat sedang bahagia seperti saat ini.

“Sarah?” panggilnya, lembut dan hati-hati.

“Ya?”

“Maukah kamu ikut aku ke Surakarta? Maukah kamu bantu aku mengelola bisnis yang kurintis dari awal?”

Kerutan kecil muncul di kening Sarah. Sejurus kemudian, Anton berlutut. Mengulurkan sebentuk cincin. “Sarah Paramita, will you marry me? Maukah kamu menjadi jawaban dari doaku? Menjadi samudera tempat hatiku bermuara?”

Demi mendengar itu, Sarah tertegun. Nyatakah ini semua? Sepupunya sendiri melamarnya? Sepupu yang pernah mewarnai masa kecilnya dengan surat-suratnya, meminta Sarah menjadi istrinya?

“Anton Surya,” ujar Sarah lembut.

“Aku beruntung sekali dilamar olehmu. Apa kamu mencintaiku? Apa kamu yakin ingin menikah denganku?”

“Aku yakin, Sarah.”

Sarah tersenyum lembut. “Terima kasih. Kehormatan istimewa bagiku. Siapa wanita yang tidak senang dilamar pria sebaik dirimu?”

Si gadis bermata biru bersorak dalam hati. Tepat seperti inilah ekspektasinya. Sarah beruntung sekali diajak menikah dengan cara yang romantis. Ingin sekali ia mendapat perlakuan yang sama, dari belahan jiwanya. Ironis sekali, sang belahan jiwa lebih memilih menjalankan hidup bakti sebagai pelayan Tuhan. Ia lebih tertarik hidup membiara dibandingkan berbisnis dan berelasi dengan si gadis Virgo Bule dan Boneka Barbie.

“Aku juga mencintaimu, Anton.” Sarah berucap penuh ketulusan.

Sepasang mata pria 29 tahun itu bercahaya. Ia menangkap sinyal-sinyal positif. Detik demi detik berlalu mendebarkan. Sarah tak juga mengambil cincin yang diulurkannya.

“Aku mencintaimu sebagai saudara.”

Satu kalimat bernada sangat halus disertai senyuman manis. Anton menatap Sarah tak mengerti. Cahaya kebahagiaan perlahan meredup.

“Kita ini saudara, Anton. Meski masih memungkinkan bagi kita untuk menikah, tapi tetap saja aku tak bisa mencintaimu sebagai suamiku. Aku mencintaimu sebagai saudara dan sahabat penaku. Ada bermacam-macam cinta di dunia ini. Cinta sepasang kekasih, cinta anak pada orang tuanya, cinta Tuhan pada makhluk ciptaan-Nya, dan cinta seseorang pada saudaranya. Cintaku padamu termasuk ke dalam jenis yang terakhir. Justru cinta seperti itu akan abadi, tulus, dan tak bersyarat.”

“Mengapa kamu seyakin itu, Sarah? Bukankah cinta pria dan wanita yang mengikat diri dalam pernikahan jauh lebih kuat?” Anton mempertanyakan pernyataan Sarah.

“Betul, cinta yang dilandasi komitmen pernikahan akan lebih kuat. Tapi, cobalah lihat berbagai kemungkinan. Jika aku dan kamu menikah, kita akan hidup bersama. Di tengah kehidupan yang kita jalani, kita tak pernah tahu ujian dan masalah apa yang menghadang kita. Bayangkan bila pernikahan kita bermasalah. Masalah datang tanpa henti. Anton, badai permasalahan yang datang bertubi-tubi bisa membekukan hati, memusnahkan cinta, dan memupuk kebencian. Lalu, kita bercerai. Selepas perceraian, bisa-bisa kita tak lagi saling mencintai. Baik sebagai suami-istri maupun sebagai saudara. Dari cinta menjadi benci, dari kagum menjadi jijik, dari ramah menjadi marah. Kamu mau seperti itu?”

Anton terdiam. Tak kuasa menjawab. Batinnya membenarkan semua ucapan Sarah.

“Aku tak ingin menikah denganmu justru karena tak ingin membencimu suatu saat nanti. Aku ingin selamanya mencintaimu, Anton. Sebagai sepupuku, sebagai sahabat penaku.”

Dari dalam tasnya, Sarah mengeluarkan setumpuk surat. Itulah surat-surat masa kecil mereka.

“Kamu masih menyimpannya?” lirih Anton, terpana menatapi surat-surat itu.

“Tentu saja. Di dalam sini, kusimpan semua kenangan dan rasa cintaku padamu. Kamu saudaraku yang sangat baik, Anton.”

Pandangannya berubah sendu. Tumpukan surat itu meneriakkan kenangan. Sesaat lamanya Anton masih menyimpan harapan bila pemilik surat-surat itu akan menjadi samudera tempat hatinya bermuara. Dihelanya nafas, lalu ia berkata muram.

“Aku mencintaimu. Lantas setelah ini, kemana hatiku akan bermuara?”

“Berlayarlah ke samudera lain. Kamu pasti bisa menemukan samudera yang jauh lebih indah untuk tempatmu bermuara. Aku percaya itu.” Sarah membesarkan hatinya.

“Oh...don’t be sad. Pasti ada samudera lain yang jauh lebih indah dan jernih, Anton.”

Di tempatnya, si gadis bermata biru mengawasi adegan itu dengan sedih. Namun ia menghargai keputusan Sarah. Sarah bukannya tidak mencintai Anton. Ia hanya ingin menjaga hubungan mereka yang telah terjalin sejak kecil agar tetap utuh. Jauh di dalam hati, masih dibisikkannya doa. Doa agar suatu saat nanti Allah membalikkan skenario cinta Sarah dan Anton.

**    

“Albert, Sarah tidak mau menikah dengan Anton. So, dia harus melayari samudera lain untuk mencari tempat bermuara. Bagaimana denganmu, Albert? Harus kemana lagi aku menempatkan hatiku bermuara selain di hatimu? Hanya kamu yang kupilih, Albert. Apa pun keadaanmu. Bagaimana pun menyakitkannya perbuatanmu padaku.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun