Subuh hari, matahari terbit malu-malu, sinarnya yang lembut mencerahkan langit yang tadinya abu-abu. Udara dingin yang menggigit masih merayap, menembus lapisan pakaian. Di kejauhan, suara azan menggema, menggugah hati yang terjaga dari lelapnya, menyatu dengan hening yang hampir sempurna.
Tiga orang melangkah di jalan setapak yang belum diaspal. Alas kaki mereka mencetak jejak di atas tanah gembur, menyusuri lahan kosong dari bekas rencana cluster perumahan yang terbengkalai. Tidak ada yang istimewa di sepanjang jalan, kecuali cahaya remang-remang dari sebuah bangunan yang terletak sendiri di ujung jalan. Sebuah rumah berlantai satu dan bergaya kolonial yang menjadi tujuan dari rombongan pada subuh hari itu.Â
Pastor Boon berjalan di depan, melangkah pasti menuju pagar putih yang mengelilingi rumah. Dengan sigap, ia membuka gerendel pintu pagar dan melanjutkan langkahnya menyusuri halaman yang tertata rapi dengan tanaman hias.
Di depan pintu rumah yang terbuat dari kayu jati berulir, Pastor Boon mengetuk pintu. "Permisi!" Suara seraknya memecah keheningan.
Ia berdiri menunggu tuan rumah yang akan menyambut kehadirannya. Gerakannya kikuk, sesekali menatap wajah dua perempuan di belakangnya sambil melayangkan senyum yang terkesan dipaksakan.Â
Pintu rumah terbuka. Seorang pria paruh baya bertubuh besar berada di balik pintu. Ia mengenakan celana panjang flannel hitam dan kaos oblong putih polos. Rob hijau tua yang menjuntai hingga ke tumitnya, tidak mampu menyembunyikan perut buncitnya. Tatapan dingin dari wajah blasterannya menyambut Pastor Boon dan rombongannya. Dengan perlahan, ia mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Selamat pagi, Meneer," sapa Pastor Boon sopan, sembari tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana yang terasa kikuk. Pria yang disapa Meneer itu masih tidak bersuara. Ia menggeser badannya yang besar dan membuka pintu rumah lebih lebar lagi. Cukup bagi Pastor Boon untuk memahami bahwa si Tuan Rumah sudah mempersilakannya masuk.
Ruang tamu di dalam rumah itu tampak berantakan, dipenuhi kardus dan barang-barang usang yang menumpuk di setiap sudut, memberi kesan terbengkalai dan tak terurus.
Seorang perempuan anggun berwajah angkuh tampak duduk tegap di sofa. Ia mengenakan daster satin merah yang berbalut jaket denim penuh manik-manik. Tatapannya yang dingin kepada Pastor Boon dan rombongannya, seolah mengisyaratkan suasana hatinya yang "berantakan" pada pagi itu.Â
"Jadi apa solusinya, Romo?" ujar perempuan itu dengan nada ketus, sesaat setelah Pastor Boon duduk di depannya.
"B-Begini, Madam Koster. Saya sebenarnya tidak punya izin dari gereja untuk melakukan ritual pengusiran roh jahat..." ujar Pastor Boon terbata-bata.
"Lha, kalau begitu, kenapa Romo lakukan kemarin?" Madam Koster mendelik. Suaranya meninggi.
"Sebenarnya kemarin yang saya bikin itu hanyalah mendoakan kakek ..." Suara Pastor Boon terdengar mengecil, nyaris tak terdengar.
"Opa... Opa Rolland!" potong Madam Koster dengan suara melengking. Â
"Benar, Madam. Opa Rolland. Tapi, saya tidak menyangka jika kuasa gelap itu begitu kuat. Jujur saya tidak mampu," ujar Pastor Boon, menunduk sambil menggeleng. Â
Madam Koster terdiam. Ia melirik suaminya, Meneer yang duduk di sampingnya. Pria itu tampak termenung menatap dua perempuan muda yang datang menemani Pastor.
"Ehem..." deham Madam Koster dengan suara yang dibuat-buat keras. Matanya nyalang melihat Meneer yang tampak terkejut dan menatapnya.
Meneer menelan ludah lalu memperbaiki posisi duduknya sambil meletakkan kedua tangan di dadanya, ia berkata, "Baik, Romo. Jika sudah menyerah, mengapa ke sini lagi?" ujarnya dengan suara berat. Matanya menatap tajam kepada Pastor Boon yang menggigit bibirnya, tampak seperti sedang menahan tawa. Â
"Nah, untuk itulah saya bawa Metta ke sini," jawab Pastor Boon dengan suara yang terdengar lebih semangat. Wajahnya semringah, tampak senang membalas pertanyaan Meneer.
"Siapa dia?" Madam Koster mengangkat dagunya, menatap sinis seorang gadis remaja yang duduk di samping Pastor Boon. Matanya menyusuri Metta dari atas rambut hingga ke ujung kaki, seolah sedang menilai penampilannya yang tampak sederhana -- celana jins panjang yang tampak luntur, hoodie hitam yang kedodoran, dan sepasang kaos kaki kusam.Â
Namun, tatapan sinis itu berubah cemberut. Gurat kecemburuan jelas terlihat di wajah Madam Koster saat menatap wajah Metta -- hidung bangir dengan bentuk sempurna mengikuti garis wajahnya yang halus, bibir penuh dengan lekukan senyum yang menawan, dan mata besar bersinar memancarkan keangunggan penuh pesona.Â
Ditatap seperti itu, Metta tak bersuara. Ia membalas tatapan Madam Koster dengan sorot mata yang tidak kalah dingin.Â
Menyadari suasana canggung di sekitarnya, Pastor Boon buru-buru mencairkan suasana. "Metta bisa jadi solusi buat Opa Rolland, Madam," ujarnya kikuk.
Madam Koster mengalihkan pandangannya kepada Pastor Boon. "Emangnya dia siapa?" Suaranya terdengar semakin sinis, lalu perlahan semakin membesar dan menggelegar, "Kami butuh pengusir setan, bukan lonte kampung kayak dia!"
Pastor Boon sontak gelagapan. Ia menatap Metta, wajah gadis itu belum berubah. Dingin dan kaku. "M-Madam jangan salah sangka, Metta punya kesaktian bisa mengusir setan," ujarnya terbata-bata.
"Ayo kita pergi dari sini!" Perempuan lainnya yang sedari tadi diam duduk di samping Metta, kini berdiri dan menarik lengan Metta. "Mereka tidak tahu siapa kamu!" ujarnya ketus sambil memelototi Madam Koster yang menatapnya remeh. Â
"Tenang dulu, Novia," Metta menanggapi santai. "Acara puncak belum mulai," ujarnya lagi sambil melirik tajam Madam Koster yang masih memelotot kepadanya.
"Iya, kamu belum tahu dengan siapa kamu berhadapan!" ujar Madam Koster seraya menyeringai, tatapannya berubah menjadi lebih tidak manusiawi. Metta menanggapi santai, mengangkat dagunya, seolah mengisyaratkan bahwa ia adalah lawan yang sepadan.
"Ga weg hier !" sebuah teriakan terdengar keras dan lantang, membuat semua orang yang berada di sana terkejut.Â
"Verjaag die persoon !" teriakan itu terdengar lagi. Meneer segera berdiri dan menghambur ke sebuah kamar yang berada di dekatnya.
Refleks, Pastor Boon pun berdiri dan bermaksud mengikuti tuan rumah untuk masuk melihat situasi. Namun, tangan Metta dengan sigap menahannya. "Romo, yakin mau terlibat?" tanyanya dingin.
"Saya harus terlibat Metta. Ini tugasku," jawab Pastor Boon tegas. Ditahan seperti itu, ia terlihat tidak senang, Namun, sesaat kemudian, wajahnya kembali melunak. "Apa yang kamu tahu, Metta?"
"Iblis punya 1000 wajah. Mereka manipulatif," jawab Metta sambil menatap Madam Koster yang sepertinya tidak terpengaruh dengan kepanikan di sekitarnya. Ekspresinya belum berubah, masih terdiam menatap Metta, seolah menunggu Metta menjawab tantangannya. Â
Pastor Boon menggeleng. "Saya, harus," ujarnya seraya menyingkirkan tangan Metta yang menggengam lengannya, lalu buru-buru masuk ke dalam kamar.
Matanya terbelalak, menatap ngeri sosok yang terikat di tempat tidur. Seorang kakek renta, tubuhnya kurus kering, terbungkus piyama longgar yang tampak semakin menonjolkan tubuhnya yang rapuh. Ia meronta, menarik-narik lengan dan tangannya dengan liar, berteriak-teriak dalam Bahasa Belanda, suaranya penuh kepanikan dan kesakitan.Â
Jantung Pastor Boon berdegup kencang. Ia menelan ludah berkali-kali. Bayangan kengerian dari kejadian semalam masih membekas. Opa Rolland yang terikat, berhasil melepaskan tali pengikat dan melompatinya. Untungnya, sebelum kakek yang kerasukan itu mencelakai dirinya, ia sudah terkulai lemas, seolah iblis telah meninggalkan tubuhnya.Â
Pastor Boon sadar. Ia tak memiliki kekuatan untuk melawan kuasa gelap. Ayat-ayat suci yang ia bacakan tak mampu mengusir kegelapan yang menguasai tempat itu. Namun, hari ini, ia tidak punya banyak pilihan. Ia harus mengulang ritual eksorsisme, meski ketakutan yang dalam menggulung hatinya.
Dengan hati berdebar, Pastor Boon mulai mengangkat Alkitab di tangannya, membuka halaman yang telah ia tandai. Ucapan pertama keluar dari mulutnya terdengar serak dan penuh keraguan. "Dalam nama Tuhan yang Maha Kuasa..." suaranya bergetar dengan kesan tegas yang dipaksakan.
Opa Rolland tidak berhenti. Ia terus berteriak-teriak dalam Bahasa Belanda. Namun, sesaat kemudian, suaranya berubah. Tidak lagi berat dan serak, tetapi lebih terdengar mirip suara seorang perempuan dewasa.
"Kamu sudah menantangku, membawa anak iblis ke dalam rumah ini!"Â
Pastor Boon terhenyak. Sontak, ia menatap Meneer yang masih berdiri gemetar. Meneer tak kalah kaget. Ia membalas tatapan Pastor dengan wajah keheranan. Mulutnya bergetar, berbicara terbata-bata, "S-Sayang... Itu kamu, Debora?"
"Iya, saya Debora Koster. Bukan lagi istri yang kamu kenal!" Suara nyaring melengking itu keluar dari mulut Madam Koster yang masih duduk di ruang tamu, berhadapan dengan Metta. Namun, suaranya tidak lagi terdengar seperti suara manusia.Â
Tatapannya berubah mengerikan, seluruh bola matanya berubah merah. Wajahnya, yang tadinya dipenuhi riasan tebal, mulai mengeriput, kulitnya mengendur seperti daging yang terlepas dari tulang. Rambut pirangnya mulai rontok, helai demi helai, dan dari balik kulit kepalanya, ulat-ulat hitam yang menjijikkan bermunculan, menjuntai turun seperti rambut yang berasal dari tanah kuburan. Setiap gerakan tubuhnya dipenuhi dengan keganjilan, seolah-olah sesuatu yang jahat sedang bangkit, siap menguasai segala sesuatu di sekitarnya.
Metta menyeringai menatap Madam Koster yang telah berubah mengerikan. Ia mengulurkan tangan kepada Novia yang duduk ketakutan di sampingnya. "Nov, air murni!" pekiknya.Â
Dengan tangan gemetar, Novia mengeluarkan sebotol air minum dalam kemasan dari dalam ranselnya. Tampak isinya berwarna kekuningan. Metta membuka tutup botol itu, bau pesing menyengat tercium dari dalam botol.Â
Seperti bau kencing!
Metta menutup mata, botol minum itu ia letakkan di dada. Mulutnya komat-kamit, lalu berteriak lantang, "Weg Met Alle Haat!"Â lalu tanpa membiarkan iblis mulai beraksi, Metta berdiri. Isi air dalam botol ia tumpahkan ke wajah Madam Koster.Â
Iblis itu sontak mengeluarkan bunyi erangan seperti kesakitan. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapaknya. Kulit yang gelap dan kasar mengkerut, menampakkan lapisan dalam yang seperti membelah dagingnya. Matanya semakin memerah, bersinar seperti api yang menyala-nyala. Mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan bunyi raungan yang membekukan darah.
Secepat kilat, Madam Koster langsung menerjang Metta, membuat gadis itu terjatuh dan tersungkur ke belakang, menghantam sofa yang terbalik. Lalu, dengan kekuatan yang luar biasa, tangannya mencengkram leher Metta, mengangkat gadis itu menggantung di udara. Metta yang hampir tak bisa bernapas, meronta dengan sekuat tenaga, tetapi kekuatan Madam Koster jauh melebihi yang ia duga.
Metta yang tampak kepayahan, mencoba meraih sesuatu dari balik saku celananya. Ia mengeluarkan sebuah benda mengilap -- sebuah salib yang terbuat dari logam. Lalu, dengan sisa-sisa tenaganya, ia menempelkan salib itu ke dahi Madam Koster.
Namun, tak ada yang terjadi! Madam Koster justru menyeringai lebar, matanya bersinar kejam, seolah mengejek usaha Metta yang konyol dan sia-sia.
"Ini belum selesai," bisik Metta, matanya menyala penuh tekad, sambil berusaha melepaskan diri dari cengkraman Madam Koster. bunyi erangan yang tak jelas keluar dari mulutnya, samar-samar terdengar seperti doa yang hanya ia sendiri yang mengerti.
Dengan kuasa Kegelapan, aku perintahkanmu untuk pergi!
Salib di dahi Madam Koster ia putar, menghadap ke bawah -- Salib Antikristus! Seketika, Madam Koster tersentak, tubuhnya bergetar, wajahnya menunjukkan ekspresi ketakutan luar biasa.Â
Metta yang merasa cengkramannya mulai melonggar, langsung menendang tubuh Madam Koster dengan sekuat tenaga, hingga tubuh mereka berdua terjerembab ke lantai. Tanpa buang waktu lagi. Metta mengangkat tangannya dan berteriak lantang, merapalkan mantra yang sama sekali lagi, "Weg Met Alle Haat!"
Teriakan pilu terdengar dari mulut Madam Koster. Dalam sekejap, tubuhnya bergetar hebat, cahaya terang memancar dari tubuhnya yang perlahan seperti tersobek-sobek oleh sambaran kilat.Â
Pastor Boon yang masih terpaku menyaksikan pertempuran antara Metta dan Madam Koster terhenyak oleh teriakan Metta. "Romo, Ritus Ekspulsio!"
Tersadar, Pastor Boon segera menghambur kembali ke kamar Opa Rolland. Dengan sigap ia membuka alkitab di tangannya. "Dalam nama Tuhan Yesus Kristus, aku perintahkan kepadamu, roh jahat. Keluarlah dari tubuh ini dan pergi dari sini..."
Opa Rolland, yang tadi memberontak, kini tampak tenang. Wajah yang penuh kesakitan berubah tenang, tubuhnya terkulai lemas, dan matanya perlahan tertutup, seakan menemukan kedamaian setelah penderitaan panjang.
Pastor Boon tertunduk lemas, berjalan kembali ke ruang tamu dan duduk di lantai. Ia menghela napas lega dan menatap Metta dan Novia yang sudah berdiri di sampingnya. "Apa yang terjadi, Metta?" tanya Pastor kemudian.
Metta menggeleng. "Yang aku bilang tadi, Iblis manipulatif," ujarnya dengan suara tegas.
"Perasukan berganda!"
"J-Jadi. Istri saya yang selama ini kerasukan?" tanya Meneer yang duduk di lantai memangku Madam Koster yang masih belum siuman.Â
Metta mengangguk. "Benar, jika tidak segera ditangani, Meneer sisa tunggu giliran," jawab Metta santai dengan suara merdunya.
"Yuk, kita cabut!" ujarnya kemudian mengajak Pastor Boon dan Novia Respati, sahabat karibnya untuk pergi meninggalkan rumah. Â
"T-Tunggu dulu!" Meneer berteriak menahan langkah Metta. "Siapa dia sebenarnya?"
Pastor Boon balik badan sambil tersenyum menatap Meneer. "Seperti yang saya bilang tadi, dia adalah solusi!"
"Iya, tapi siapa dia?" Meneer bertanya lagi. Tampak tidak puas.
"De Oud Ziel." Pastor menjawab singkat. Â "Sang Jiwa Tua Pengelana."
"Penguasa gelap yang melawan kuasa gelap!" sambungnya lagi sambil tersenyum dan membuka pintu rumah.
**
Acek Rudy for Kompasiana
Catatan:
1. Ga weg hier, artinya "pergi dari sini" dalam bahasa Belanda
2. Verjag die persoon, artinya "usir orang itu" dalam bahasa BelandaÂ
3. Weg Met Alle Haat, artinya "Enyahlah segala kebencian"dalam bahasa Belanda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI