"B-Begini, Madam Koster. Saya sebenarnya tidak punya izin dari gereja untuk melakukan ritual pengusiran roh jahat..." ujar Pastor Boon terbata-bata.
"Lha, kalau begitu, kenapa Romo lakukan kemarin?" Madam Koster mendelik. Suaranya meninggi.
"Sebenarnya kemarin yang saya bikin itu hanyalah mendoakan kakek ..." Suara Pastor Boon terdengar mengecil, nyaris tak terdengar.
"Opa... Opa Rolland!" potong Madam Koster dengan suara melengking. Â
"Benar, Madam. Opa Rolland. Tapi, saya tidak menyangka jika kuasa gelap itu begitu kuat. Jujur saya tidak mampu," ujar Pastor Boon, menunduk sambil menggeleng. Â
Madam Koster terdiam. Ia melirik suaminya, Meneer yang duduk di sampingnya. Pria itu tampak termenung menatap dua perempuan muda yang datang menemani Pastor.
"Ehem..." deham Madam Koster dengan suara yang dibuat-buat keras. Matanya nyalang melihat Meneer yang tampak terkejut dan menatapnya.
Meneer menelan ludah lalu memperbaiki posisi duduknya sambil meletakkan kedua tangan di dadanya, ia berkata, "Baik, Romo. Jika sudah menyerah, mengapa ke sini lagi?" ujarnya dengan suara berat. Matanya menatap tajam kepada Pastor Boon yang menggigit bibirnya, tampak seperti sedang menahan tawa. Â
"Nah, untuk itulah saya bawa Metta ke sini," jawab Pastor Boon dengan suara yang terdengar lebih semangat. Wajahnya semringah, tampak senang membalas pertanyaan Meneer.
"Siapa dia?" Madam Koster mengangkat dagunya, menatap sinis seorang gadis remaja yang duduk di samping Pastor Boon. Matanya menyusuri Metta dari atas rambut hingga ke ujung kaki, seolah sedang menilai penampilannya yang tampak sederhana -- celana jins panjang yang tampak luntur, hoodie hitam yang kedodoran, dan sepasang kaos kaki kusam.Â
Namun, tatapan sinis itu berubah cemberut. Gurat kecemburuan jelas terlihat di wajah Madam Koster saat menatap wajah Metta -- hidung bangir dengan bentuk sempurna mengikuti garis wajahnya yang halus, bibir penuh dengan lekukan senyum yang menawan, dan mata besar bersinar memancarkan keangunggan penuh pesona.Â