“Mohon ma’af, acara apa ya, Bah? Kok saya belum dapat informasi apa-apa”
Kyai Rasyid terkekeh.
“Memang tidak banyak yang tahu, tapi sebentar lagi semua orang pasti tahu. ini acara keluarga saya.... acara akad nikah dan walimatul ‘ursy Rima. Dua bulan lagi dia akan menikah”
Rima menikah???
Bukan main terkejutnya Zakaria. Apa ia tak salah dengar? Atau pak kiyai sedang bercanda? Tidak! kalau bercanda gestur Kiyai Rasyid tak pernah seperti itu. Ia kenal dekat dengan Kyai Rasyid. Dan kali ini, ia yakin benar, guru besarnya itu tengah berbicara serius.
“Menikah? Dek Rima akan menikah dengan siapa, Bah?” Zakaria berusaha mengatur perasaannya senormal mungkin. Tak mungkin ia terlihat rapuh di hadapan Kyai Rasyid meski hatinya telah hancur berkeping-keping. Harapannya telah runtuh bahkan sebelum mulai dibangun.
“Dengan putranya Kyai Fuad, pimpinan pesantren Riyadussalihin” kata Kyai Rasyid sembari menyeruput kopi yang tadi dibuatkan oleh Rima sejenak setelah ia sampai di rumah.
Zakaria termangu mendengar penjelasan Kyai Rasyid. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia sudah kalah. Kalah dengan keadaan. Kalah sebelum bertanding.
“Semoga semuanya lancar, Bah. Saya yakin Dek Rima bisa jadi istri yang baik untuk suaminya nanti”
Zakaria mulai membangun pertahanan hati. Kyai Rasyid tersenyum mendengar ucapan ustadz muda di sampingnya itu. Ia menepuk bahu Zakaria. Lelaki itu menoleh pada wajah teduh Kyai Rasyid.
“Kamu juga! Semoga dimudahkan jodoh, segeralah menikah, biar santri-santri putri tak lagi bebas menggodai kamu” kata Kyai Rasyid terkekeh. Zakaria sebisa mungkin menghadirkan senyum di wajahnya meski kondisi hatinya begitu paradoks.