“Iya boleh lah, kak. Kakak nih kayak orang lain aja. Ayo silahkan duduk”
Rima tersenyum. Zakaria juga. Ingin ia nikmati lama-lama senyum itu tapi ia tak ingin dianggap lancang. Nanti saja kalau sudah menikah aku pelototoin tiap hari wajah manis itu, gumam Zakaria dalam hati.
Rima pamit hendak membuatkan minum untuk Zakaria. Lelaki itu menunggu sembari membayangkan betapa indahnya jika Rima menjadi istrinya kelak. Setiap pagi akan mereka lewati dengan ritual ngopi bersama sembari menikmati suasana pagi yang romantis. Lima menit kemudian secangkir kopi dan dua piring kudapan telah tersuguhkan di hadapan Zakaria. Membuyarkan lamunan pejuang cinta itu.
“Silahkan diminum, kak” Rima duduk di kursi yang terletak di samping kursi Zakaria. Lelaki itu menyeruput kopi bikinan Rima.
“Mantap! Kopinya nikmat, calon istri idaman ini, mah”
“Haha, yang bikin bik Minah lo, bukan Rima, berarti calon istri idaman Kak Zaky itu bik Minah ya?”
Air muka Zakaria langsung berubah. Rima semakin tak bisa menahan tawa melihat Zakaria berhasil ia kelabui.
“Benar, kah? Tadi katanya Rima yang mau bikin?” Zakaria sedikit protes.
“Haha, iya, iya. Becanda, kok. Yang bikin Rima, bukan bik Minah”
“Alhamdulillah”
“Alhamdulillah kenapa?”