Transparansi bukan hanya soal teknis, tetapi menyangkut legitimasi politik. Ketika dokumen ditutup, legitimasi KPU ikut dipertaruhkan. Padahal, lembaga penyelenggara pemilu memegang tanggung jawab moral menjaga kepercayaan rakyat.
Di sinilah akuntabilitas menjadi kunci. KPU harus berani membuka diri dan menjelaskan motif keputusan tersebut. Jika tidak, sejarah akan mencatatnya sebagai titik gelap dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Demokrasi yang Harus Dirawat
Demokrasi bukanlah sistem yang sempurna, tetapi ia hanya bisa hidup jika dijaga dengan keterbukaan dan partisipasi publik. Menutup dokumen berarti menutup ruang partisipasi rakyat untuk mengawasi jalannya demokrasi. Hal itu jelas kontraproduktif dengan semangat reformasi.
Keputusan KPU ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Jangan sampai demokrasi Indonesia menjadi sekadar slogan, sementara praktiknya dikerdilkan oleh kepentingan sesaat. Demokrasi yang sehat membutuhkan keberanian untuk membuka semua hal kepada rakyat.
Tantangan kita kini bukan hanya menjaga proses pemilu yang jujur, tetapi juga memastikan rakyat tidak diperlakukan sebagai objek semata. Seperti kata Nelson Mandela, “Kebebasan tidak akan ada tanpa transparansi.”
Penutup
Publik berhak tahu, dan KPU wajib menjaga hak itu. Menutup akses dokumen pencalonan presiden dan wakil presiden sama artinya dengan menutup ruang kontrol rakyat. Demokrasi pun terancam kehilangan ruhnya.
Jika keputusan ini tidak segera dikoreksi, maka kepercayaan publik terhadap pemilu akan semakin terkikis. Transparansi adalah fondasi yang harus dipertahankan, karena tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung bayangan. “Demokrasi mati bukan karena musuhnya, melainkan karena diamnya rakyat.”
Disclaimer:
Tulisan ini adalah opini penulis berdasarkan sumber terbuka. Isi artikel tidak mewakili sikap institusi mana pun.