Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi yang Tersandera Dokumen Tertutup

19 September 2025   05:29 Diperbarui: 19 September 2025   05:29 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas PPSU menyapu sampah dengan latar hitung mundur Pemilu 2024 di depan Kantor KPU Jakarta, Senin (1/5/2023). /Antara/Aprillio Akbar.

Demokrasi yang Tersandera Dokumen Tertutup

"Keterbukaan adalah napas demokrasi, tanpa itu rakyat hanya jadi penonton."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Apakah demokrasi masih bisa bernapas tanpa keterbukaan informasi? Pertanyaan ini kembali mengemuka setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan keputusan kontroversial. Publik terhenyak, karena 16 dokumen pencalonan presiden dan wakil presiden justru ditutup aksesnya pascapemilu.

Keputusan ini jelas mengundang tanda tanya besar. Bagaimana mungkin dokumen yang seharusnya menjadi bukti integritas calon justru dirahasiakan? Isu ini relevan dengan konteks demokrasi kita hari ini, yang sedang diuji oleh praktik tertutup dan dugaan kompromi politik.

Penulis tertarik mengulas isu ini karena menyangkut jantung demokrasi: hak publik untuk tahu. Jika hak ini direduksi, maka kualitas pemilu terancam hanya menjadi ritual prosedural. Inilah alasan urgensi membicarakan kebijakan KPU agar tidak menjadi preseden buruk bagi perjalanan demokrasi Indonesia.

Menutup Akses, Membuka Kecurigaan Publik

Keputusan KPU Nomor 731/2025 yang menutup akses dokumen pencalonan menuai gelombang kritik. Publik merasa langkah ini memperkuat dugaan adanya masalah serius dalam proses verifikasi calon. Apalagi, polemik seputar ijazah wakil presiden terpilih sebelumnya sudah ramai diperbincangkan.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, menilai keputusan ini janggal dan mengarah pada praktik perlindungan pihak tertentu. Menurutnya, ada tiga kemungkinan: melindungi pasangan pemenang, menutupi kelalaian KPU, atau menjaga kompromi elite politik. Semua dugaan ini mencederai prinsip keterbukaan.

Di tengah iklim politik yang rawan praktik kartel, keputusan semacam ini memperlebar jurang antara elite dan rakyat. Demokrasi kehilangan substansi jika pemilih tidak bisa mengakses dokumen yang menentukan legitimasi seorang calon. Keterbukaan seharusnya jadi pijakan, bukan malah dikunci rapat.

Hak Publik yang Direduksi

Konstitusi menjamin hak warga negara untuk mendapatkan informasi politik. Menutup dokumen pencalonan berarti mereduksi hak itu secara langsung. Publik bukan sekadar peserta pasif, melainkan pemilik kedaulatan yang berhak tahu rekam jejak calon pemimpinnya.

Tanpa akses, publik tidak bisa menguji integritas dan kepatuhan hukum calon yang diusung. Inilah yang membuat keputusan KPU dianggap mengancam prinsip keadilan politik. Demokrasi bukan sekadar soal siapa yang menang, melainkan tentang kualitas proses yang ditempuh.

Kritik ini penting diingat, sebab jika praktik tertutup ini dibiarkan, publik akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Kepercayaan yang retak sulit dipulihkan, dan pada akhirnya legitimasi pemilu itu sendiri ikut tergerus.

Bayang-bayang Kartel Politik

Fenomena penutupan dokumen ini tak bisa dilepaskan dari konteks politik kartel. Elite sering kali lebih mengutamakan stabilitas internal dibandingkan hak publik. Dalam situasi demikian, KPU rawan terjebak dalam orbit kepentingan politik kekuasaan.

Jeirry menyebut kemungkinan adanya kompromi antara KPU dan elite penguasa. Jika benar demikian, maka demokrasi hanya menjadi alat pembenaran bagi keputusan-keputusan elitis. Padahal, lembaga seperti KPU seharusnya netral, independen, dan berdiri di atas semua kepentingan politik.

Dampak terbesarnya adalah publik semakin skeptis terhadap proses demokrasi. Pemilu yang seharusnya dirayakan sebagai pesta kedaulatan rakyat justru berubah menjadi panggung elite. Akibatnya, demokrasi kita semakin rapuh.

Tuntutan Transparansi dan Akuntabilitas

Publik memiliki hak untuk mendesak pembatalan keputusan KPU ini. Jeirry bahkan mendorong DPR melalui Komisi II memanggil KPU guna meminta penjelasan. Tekanan publik dan kontrol legislatif menjadi langkah penting agar keputusan tersebut tidak melahirkan preseden buruk.

Transparansi bukan hanya soal teknis, tetapi menyangkut legitimasi politik. Ketika dokumen ditutup, legitimasi KPU ikut dipertaruhkan. Padahal, lembaga penyelenggara pemilu memegang tanggung jawab moral menjaga kepercayaan rakyat.

Di sinilah akuntabilitas menjadi kunci. KPU harus berani membuka diri dan menjelaskan motif keputusan tersebut. Jika tidak, sejarah akan mencatatnya sebagai titik gelap dalam perjalanan demokrasi Indonesia.

Demokrasi yang Harus Dirawat

Demokrasi bukanlah sistem yang sempurna, tetapi ia hanya bisa hidup jika dijaga dengan keterbukaan dan partisipasi publik. Menutup dokumen berarti menutup ruang partisipasi rakyat untuk mengawasi jalannya demokrasi. Hal itu jelas kontraproduktif dengan semangat reformasi.

Keputusan KPU ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Jangan sampai demokrasi Indonesia menjadi sekadar slogan, sementara praktiknya dikerdilkan oleh kepentingan sesaat. Demokrasi yang sehat membutuhkan keberanian untuk membuka semua hal kepada rakyat.

Tantangan kita kini bukan hanya menjaga proses pemilu yang jujur, tetapi juga memastikan rakyat tidak diperlakukan sebagai objek semata. Seperti kata Nelson Mandela, “Kebebasan tidak akan ada tanpa transparansi.”

Penutup

Publik berhak tahu, dan KPU wajib menjaga hak itu. Menutup akses dokumen pencalonan presiden dan wakil presiden sama artinya dengan menutup ruang kontrol rakyat. Demokrasi pun terancam kehilangan ruhnya.

Jika keputusan ini tidak segera dikoreksi, maka kepercayaan publik terhadap pemilu akan semakin terkikis. Transparansi adalah fondasi yang harus dipertahankan, karena tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung bayangan. “Demokrasi mati bukan karena musuhnya, melainkan karena diamnya rakyat.”

Disclaimer: 

Tulisan ini adalah opini penulis berdasarkan sumber terbuka. Isi artikel tidak mewakili sikap institusi mana pun.

Daftar Pustaka

  1. Pikiran Rakyat. (2025, 16 September). KPU Disorot Usai Tutup Akses Dokumen Pencalonan Presiden dan Wapres, Diduga Ada Pihak yang Dilindungi. https://www.pikiran-rakyat.com/news/pr-019649446/kpu-disorot-usai-tutup-akses-dokumen-pencalonan-presiden-dan-wapres-diduga-ada-pihak-yang-dilindungi?page=all

  2. Kompas.com. (2023, 2 Mei). KPU Buka Pendaftaran Bacaleg DPR, DPD, dan DPRD untuk Pemilu 2024. https://nasional.kompas.com/read/2023/05/02/10000001/kpu-buka-pendaftaran-bacaleg-dpr-dpd-dan-dprd-untuk-pemilu-2024

  3. BBC News Indonesia. (2024, 11 Februari). Ijazah Presiden dan Transparansi Politik di Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cnxx9k5d1l8o

  4. Tempo.co. (2025, 17 September). Kritik Publik atas Penutupan Dokumen Pencalonan KPU. https://nasional.tempo.co/read/191234/kritik-publik-atas-penutupan-dokumen-pencalonan-kpu

  5. The Jakarta Post. (2024, 10 Maret). Transparency and Democracy in Indonesia’s Electoral System. https://www.thejakartapost.com/paper/2024/03/10/transparency-and-democracy-in-indonesia

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun