Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi yang Tersandera Dokumen Tertutup

19 September 2025   05:29 Diperbarui: 19 September 2025   05:29 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah iklim politik yang rawan praktik kartel, keputusan semacam ini memperlebar jurang antara elite dan rakyat. Demokrasi kehilangan substansi jika pemilih tidak bisa mengakses dokumen yang menentukan legitimasi seorang calon. Keterbukaan seharusnya jadi pijakan, bukan malah dikunci rapat.

Hak Publik yang Direduksi

Konstitusi menjamin hak warga negara untuk mendapatkan informasi politik. Menutup dokumen pencalonan berarti mereduksi hak itu secara langsung. Publik bukan sekadar peserta pasif, melainkan pemilik kedaulatan yang berhak tahu rekam jejak calon pemimpinnya.

Tanpa akses, publik tidak bisa menguji integritas dan kepatuhan hukum calon yang diusung. Inilah yang membuat keputusan KPU dianggap mengancam prinsip keadilan politik. Demokrasi bukan sekadar soal siapa yang menang, melainkan tentang kualitas proses yang ditempuh.

Kritik ini penting diingat, sebab jika praktik tertutup ini dibiarkan, publik akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Kepercayaan yang retak sulit dipulihkan, dan pada akhirnya legitimasi pemilu itu sendiri ikut tergerus.

Bayang-bayang Kartel Politik

Fenomena penutupan dokumen ini tak bisa dilepaskan dari konteks politik kartel. Elite sering kali lebih mengutamakan stabilitas internal dibandingkan hak publik. Dalam situasi demikian, KPU rawan terjebak dalam orbit kepentingan politik kekuasaan.

Jeirry menyebut kemungkinan adanya kompromi antara KPU dan elite penguasa. Jika benar demikian, maka demokrasi hanya menjadi alat pembenaran bagi keputusan-keputusan elitis. Padahal, lembaga seperti KPU seharusnya netral, independen, dan berdiri di atas semua kepentingan politik.

Dampak terbesarnya adalah publik semakin skeptis terhadap proses demokrasi. Pemilu yang seharusnya dirayakan sebagai pesta kedaulatan rakyat justru berubah menjadi panggung elite. Akibatnya, demokrasi kita semakin rapuh.

Tuntutan Transparansi dan Akuntabilitas

Publik memiliki hak untuk mendesak pembatalan keputusan KPU ini. Jeirry bahkan mendorong DPR melalui Komisi II memanggil KPU guna meminta penjelasan. Tekanan publik dan kontrol legislatif menjadi langkah penting agar keputusan tersebut tidak melahirkan preseden buruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun