Di tengah iklim politik yang rawan praktik kartel, keputusan semacam ini memperlebar jurang antara elite dan rakyat. Demokrasi kehilangan substansi jika pemilih tidak bisa mengakses dokumen yang menentukan legitimasi seorang calon. Keterbukaan seharusnya jadi pijakan, bukan malah dikunci rapat.
Hak Publik yang Direduksi
Konstitusi menjamin hak warga negara untuk mendapatkan informasi politik. Menutup dokumen pencalonan berarti mereduksi hak itu secara langsung. Publik bukan sekadar peserta pasif, melainkan pemilik kedaulatan yang berhak tahu rekam jejak calon pemimpinnya.
Tanpa akses, publik tidak bisa menguji integritas dan kepatuhan hukum calon yang diusung. Inilah yang membuat keputusan KPU dianggap mengancam prinsip keadilan politik. Demokrasi bukan sekadar soal siapa yang menang, melainkan tentang kualitas proses yang ditempuh.
Kritik ini penting diingat, sebab jika praktik tertutup ini dibiarkan, publik akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Kepercayaan yang retak sulit dipulihkan, dan pada akhirnya legitimasi pemilu itu sendiri ikut tergerus.
Bayang-bayang Kartel Politik
Fenomena penutupan dokumen ini tak bisa dilepaskan dari konteks politik kartel. Elite sering kali lebih mengutamakan stabilitas internal dibandingkan hak publik. Dalam situasi demikian, KPU rawan terjebak dalam orbit kepentingan politik kekuasaan.
Jeirry menyebut kemungkinan adanya kompromi antara KPU dan elite penguasa. Jika benar demikian, maka demokrasi hanya menjadi alat pembenaran bagi keputusan-keputusan elitis. Padahal, lembaga seperti KPU seharusnya netral, independen, dan berdiri di atas semua kepentingan politik.
Dampak terbesarnya adalah publik semakin skeptis terhadap proses demokrasi. Pemilu yang seharusnya dirayakan sebagai pesta kedaulatan rakyat justru berubah menjadi panggung elite. Akibatnya, demokrasi kita semakin rapuh.
Tuntutan Transparansi dan Akuntabilitas
Publik memiliki hak untuk mendesak pembatalan keputusan KPU ini. Jeirry bahkan mendorong DPR melalui Komisi II memanggil KPU guna meminta penjelasan. Tekanan publik dan kontrol legislatif menjadi langkah penting agar keputusan tersebut tidak melahirkan preseden buruk.