Bandung, Jalan Stasiun, 28 Oktober 1957
"Widy!" teriak  Jily begitu keluar dari stasiun Bandung. Dia menunggu dengan sepeda motor  Rikuo Tipe 97. Gadis Ambon  itu memakai celana parasut dan jaket jins dengan ransel besar.  Dia datang bersama temannya perempuan sama tomboinya. Widy mengenalnya sebagai Ambar, keduanya kenalannya sewaktu naik Gunung Lawu.
"Aku kira kamu bersama suami?" tanya  Jilly. "Kang Syafri? Ini motornya keren!"
"Lagi di Ciwidey. Kang Harland lagi hilir mudik jadi tidak bisa memakai jipnya," jawab Widy.
"Wah, kita juga mau ke sana sebelun ke Papandayan," kata Jilly."Ikut?"
"Kang Harland pasti melarang, sedang gawat di selatan. Nggak tahu kalau Kang Syafri mengizinkan. Tetapi Kang Harland sudah mengingatkan Kang Syafri."
"Rayu dong! Kan Widy dulu juga merayu Kang Harland untuk mengawal kita," kata Ambar.
"He, Mbak Ambar apa kabar? Lama hilang, suami kamu..."
"Ah, entah di mana dia. Dia main perempuan lain..."
Jilly membonceng Widy, sementara Ambar ada di gandengan bersama dua tas ransel.
"Kalian mau menginap di mana?"
"Rumah saudara aku di Astanaanyar," kata Ambar.
"Sok aku antar. Besok sore Kang Harland mungkin antar kita ke Ciwidey. Kang Syafri sudah menyiapkan penginapan di sana. Tetapi pagi-pagi aku pulang bersama Kang Syafri  karena harus kuliah."
Widy menstarter motor Rikuo Tipe 97 dan hendak melaju meninggalkan stasiun. Â Sejumlah sepeda motor berisi belasan pemuda dan pemudi menghalangi jalan mereka. Â Para pemuda dan pemudi itu mengenakan celana jengki dan jaket merah.
"Sialan! Itu crossboy Jakarta, adik aku berurusan dengan mereka," kata Jilly.
"Itu seperti milik Syafri ya!" ucap salah seorang dari mereka berbadan besar dan berambut gondrong. "Iya, Â nggak banyak yang punya. Anak Cikini dulu!"
Pemuda itu memegang motor itu. Widy paham itu pasti Dika pimpinan crowwboy dari Jakarta, yang sudah mendengar teman-temannya bermasalah dengan hukum di Bandung. Â Widy sudah memakai helm.
Yang perempuan juga turun dari motor. "Aduh, luh Jilly, yang mukulin adik gue!"
Mereka dikepung. Widy menghentikan motornya. Jilly pun turun dan dia meminta Ambar tetap di motor. "Adik luh mukulin adik gue dulu, Susan!"
"Tuh cewek yang mukul John, dia ceweknya Hardja musuh kami!" ucap seorang crossboy menggunakan motor plat D.
"Mantan! Aku sudah bersuami. Ini motor dia!" teriak Widy.
"Ooh, kamu istrinya Syafri. Beruntung sekali dapat yang lebih muda. Setahu gue dia pacar Naila, gula-gula Om Berty! Dia juga mainan gue!"
Widy paham sekarang mengapa Syafri  tidak cocok dengan Naila.  Tangannya dikepal ketika tangan Dika mulai menyentuh lengannya walau dibalut jaket. "Boleh juga mantannya Hardja, galak!"
Tetapi ketika tangan itu merayap ke paha, Widy langsung menampik tangannya dan perempuan yang disebut Susan mendorongnya, tetapi Jilly segera turun tangan dan keduanya berkelahi.
Widy menampar Dika dan laki-laki itu berang. Namun belum sempat bereaksi  sejumlah polisi dan tentara bergerak. "Ini crossboy yang kita tunggu!"
Dika menyuruh anak buahnya bersiap kabur. Â Dia lolos, juga sebuah motor lagi dinaikan seorang pemuda dari Bandung dengan Susan. Namun sebuah motor mengejarnya pengemudinya dikenal Widy.
"Bang Daus!"
Rupanya mereka sudah mengamati sejak awal. Â Herland kemudian datang dengan jipnya. Dia langsung turun "Kamu lagi! Kamu lagi! Pakai motor suami kamu, ya? Kalian ke kantor polisi dulu kasih keterangan!"
Sementara Daus mengejar Dika dengan menyiapkan kunci Inggris  di sepanjang Jalan Cicendo terus  ke arah Dago dan terkejar.  Daus menghantam bahu Dika dengan keras dan ada bunyi berderak, tetapi dia terus berlari . Sementara motor yang satu  terlalu ceapat hingga menabrak motor lain dari arah berlawanan.
Susan terguling.  Daus berhenti karena dia tak tega melihat perempuan tergeletak. Sementara yang pemuda  mengadu kesakitan. Kedua motor penyok. Pengemudi yang satu rupanya polisi tampaknya sangat marah. Ketika tahu pemuda itu crossboy, dia memaksa berdiri dan menghajarnya.
"Bangke kamu!" teriaknya.
Namun pemuda itu  segera lari memakai motornya dan kabur meninggalkan Susan. Walau motornya oleng.
"Jangan lari!" Polisi itu bangkit memakai motornya dan mengejar pemuda itu.
Di kantor polisi sembilan pemuda dan pemudi tertunduk ketika para polis menginteogasi. Widy, Jilly dan Ambar sudah dimintai keterangan.
"Kurang ajar kalian! Di Hari peringatan Sumpah Pemuda berbuat kriminal!" teriak seorang perwira polisi.
Herland kemudian mengantar Widy dan dua temannya ke Motor Rikuo 97. "Besok aku antar kalian ke Ciwidey. Kini Widy antar teman kamu.Aku akan mengikuti bersama Daus biar jangan ada yang ganggu lagi!"
Daus mengangguk. Polisi yang tadi mengejar Dika kembali dengan wajah marah. "Dia menghilang di kawasan Dago atas, sebuah rumah ada yang menyembunyikannya."
"Dekat tinggal  orangtua Widy?" Harland menghela nafas. "Hati-hati kamu, ya!"
Widy mengangguk. Â Dia kemudian mengantar Jilly dan Ambar ke rumah saudaranya ambar di kawasan Astananyar. Â Baru kemudian kembali ke Dago Atas.
Dago Atas Menjelang Malam
Sesampai di rumahnya di Dago Atas, Widy sudah ditunggu ayah dan ibunya. "Tadi Kang Harland telepon kamu berurusan lagi dengan crossboy?"
"Mereka berani pegang-pegang aku!" teriak Widy gusar.
Ayah duduk di sebelahnya. "Kemarin teman ayah, guru di SMP Trisila  Ciamis cerita. Ada muridnya yang jadi crossboy ditangkap CPM karena sudah berani mengancam guru."
"Mereka sudah keterlaluan. Tetapi aku diganggu karena mantannya Kang Hardja Abah, aku tidak tahu ada masalah antara dia dan para crossboy itu hingga begitu membenci aku."
'Kamu sudah tanya Hardja?"
"Tidak mau ketemu lagi!" Widy kemudian berdiri. "Mandi dulu!"
Widy sudah di kamar sehabis makan malam. Dia membaca beberapa buku. Â Di antaranya sebuah buku tentang Psikologi tentang kenakalan remaja.
Sekitar sejam membaca. Â Pintu kamarnya diketuk. Ternyata Kintan. "Teteh, ada perempuan yang mau bertemu Teteh, katanya temannya Kang Syafri!"
Widy terhenyak dan kemudian keluar. Â Ternyata Naila matanya sembab di ruang tamu baru dihidangkan dua cangkir teh dan kue Sarabi oleh ibu Widy.
"Kang Syafri lagi ke Ciwidey!" kata Widy.
"Aku mau bicara sama anjeun, bukan sama Syafri. Â Cerita kami sudah masa lalu, tetapi ada hal lain yang juga menyangkut anjeun!" kata Naila.
Widy melihat wajah perempuan yang datang itu. Dia tahu berada di Bandung untuk promo film Tiga Dara.
"Dika itu dekat dengan aku. Boleh dibilang pacar. Tetapi bukan satu-satunya," ucap Naila pelan.
"Oh? Mbak ketemu dia!" Widy mulai ingin tahu,
"Dia bersembunyi di rumah yang aku kontrak bersama temanku di Dago Pojok. Tulang bahunya ada yang retak. Untung tidak jatuh."
Widy terus ingin mendengarkan.
"Syafri jatuh cinta padaku karena kasihan. Memang aku punya banyak pacar. Tetapi Dika lain, dia laki-laki melindungiku. Termasuk dari Hardja, anak orang kaya dari Bandung yang juga sempat memikatku dan ikut tidur dengan aku walau semalam. Tetapi dia main-main."
Widy mengepalkan tangannya. Naila menangis dan dia kemudian memeluk perempuan itu. "Bangsat itu lagi!"
"Hardja punya bisnis bersama Om Berty memasok perempuan untuk menghibur tamu di luar negeri. Anjeun pernah dengan kasus Hospitality waktu Konferensi Asia Afrika, ada isu itu? Tetapi dibantah oleh aparat, karena dianggap cara untuk menjatuhkan Ali Sastroamidjojo."
"Mbak kena jebak juga?"
Naila mengangguk. "Syafri tahu. Dia ingin menikahiku. Tetapi aku menolak dia. Karena dia bukan tipeku. Walau bangsat, tetapi aku suka bad boy macam Dika. Sementara Syafri orang baik-baik."
Widy terhenyak. Â Pantas Syafri ingin melindunginya. Dia tidak ingin dirinya seperti Naila.
"Oke, nanti aku coba bicara sama sepupuku tentara agar kamu dan Dika segera ke Jakarta. Jangan biarkan dia jadi crossboy lagi."
Naila ingin mencium tangan Widy. Tetapi Widy menolaknya."Kita sama-sama perempuan. Aku juga suka Hardja karena dia bad boy juga. Tetapi dia keterlaluan. Sama cewek lain dia juga main. Dan aku dicampakan begitu saja!"
Tanpa setahu Widy, ayahnya mendengarkannya. Dia marah sekali. "Oh, jadi begitu cerita ya. Kurang ajar kamu Hardja!"
Kedua perempuan jadi cepat akrab.
Â
Sebuah Kantor di Jalan Aceh, 29 Oktober 1957, Pagi Hari.
Letnan Herland dan Daus ingin marah melihat Naila dan Widy. tetapi wajah mereka berdua sendu. Pelan-pelan keduanya bercerita. "Baik aku usahakan agar pacarmu Dika bisa lepas dari jerat hukum. Tetapi ini terakhir kalinya Widy. Mengapa kamu tidak cerita kelakukan Hardja sudah begitu keterlaluan!"
Daus hanya geleng kapala. "Aku saja belum pernah punya perempuan. Tidka kepikiran harus bermain-main begitu, aku pergi dulu mau jemput temanmu Mirna."
Herland dan Widy mengantar Naila dan Dika yang meringis kesakitan ke Stasiun Bandung. Lalu sebelum turun dia menuding Dika.
"Jangan perlihatkan lagi wajahmu di Bandung kalau masih jadi crossboy!"
Dika menggeleng. "Nggak! Terima kasih Dan!"
Naila membawa Dika yang kesakitan.
"Aku harus cari Harland."
"Kata Naila dia lagi di Jakarta urus bisnisnya untuk jangka waktu lama."
"Kang Syafri dikasih tahu?"
"Nggak usah. Nanti dia ingin jadi pahlawan lagi," kata Widy tersenyum. "Aku nggak mau kehilangan dia Kang."
"Betul itu, yang repot nanti aku dan sepupunya si Daus yang berangasan itu. Â Tetapi kalau tidak ada Daus, nyawa aku dan ayah Mirna juga melayang. Nah, begitu dong. Itu urusan aku dan Daus kini. Juga penembak Ayah Mirna, begitu dong sepupuku!"
"Jadi ya, mengantar kami ke Ciwidey?"
Herlanda mengangguk. "Setelah peristiwa seru itu? Tentu saja!" (Bersambung)
Irvan Sjafari
Sumber Foto:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI