Hampir sepanjang hari Neni bermain di pemakaman. Bahkan minggu lalu, ia menciptakan ayunan bertuas ranting pohon beringin. Tidak ada yang mengajaknya bermain dan tidak ada yang mau diajaknya bermain. Ia sendiri dan bahagia. Semakin banyak berkomunikasi dengan manusia, semakin besar potensi perselisihan. Neni ingin mati tanpa merepotkan. Dalam kesendirian.
Aku menghampirinya. Duduk di bawah pohon melihatnya berayun. Kakinya di lempar ke atas dan ke bawah. Menatap langit petang.
"Kamu tidak takut mati?"
"Tidak ada kematian bagi orang yang paham arti kehidupan. Dikiranya mati padahal hidup, disangkanya hidup padahal mati. Kita hanya belum saja terbangun dari tidur panjang. Aku dan kamu adalah mimpi. Tidak nyata. Mereka saja menganggapnya nyata,"
Aku semakin penasaran dengan jawaban Neni yang terlihat aneh namun penuh makna.
"Kamu mungkin pernah bermimpi menjadi kunang-kunang. Namun apa pernah berpikir bahwa kamu adalah kunang-kunang yang sedang bermimpi menjadi dirimu?!"
"Ketika sudah masuk di rumah pemakaman, kamu baru akan menyadari siapa dirimu. Tanpa kamuflase, tanpa bermain drama dengan segala bentuk topengnya. Itulah kehidupan sesungguhnya,"
Aku hanya bengong melihatnya bercerita. Mungkin banyak orang yang menganggapnya gila. Tapi bagiku, Neni adalah jelmaan nabi yang mengajarkan tentang hakekat kehidupan. Kegilaan hanyalah persepsi yang dikarang manusia untuk menghinakan makhluk sejenisnya. Merasa diakukan dan dipuji keberadaannya.
Neni kemudian turun dari ayunan. Bersimpuh di makam ibunya.
"Semasa hidup aku belum pernah mencium kakimu, Bu. Sekarang aku hanya bisa menciumi kaki nisanmu. Meminta maaf atas kesalahanku dan berterimakasih atas kebaikanmu,"
Tidak ada bahasa yang salah dari Neni. Hanya kadang pemikirannya jauh dipahami wanita muda seusianya. Selain pakaian compang-camping yang kemudian dinisbatkan sebagai golongan manusia gila. Ah, kegilaan Neni tidak separah kegilaan pejabat terhadap kekuasaan dan pekerja terhadap kekayaan.