Mohon tunggu...
Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto Mohon Tunggu... Penulis - Esais

Penulis buku dan penulis opini di lebih dari 150 media berkurasi. Penggagas Komunitas Seniman NU dan Komunitas Partai Literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Pemakaman

30 November 2022   11:44 Diperbarui: 30 November 2022   11:49 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
rumah pemakaman | pixabay.com/Skitterphoto 

Aku melihat Neni memainkan nisan tepat sebelah makam bapaknya. Ia mengais rerumputan sekitar dan menumpuk beberapa batu. Rambutnya terkulai menari seirama angin menjelang petang. Hari ini tepat setahun bapak dan ibunya meninggal bersama dalam tragedi kecelakaan mau di Tol Bawen Salatiga.

"Ini rumahku nanti di usia 32 tahun,"

Neni memberi batas ruang pemakamannya sendiri. Tepat di kanan makam bapaknya, di bawah pohon beringin tua.

"10 tahun lagi dari sekarang,"

Aku mengawasinya. Di balik kesedihanku yang baru saja ditinggal ibu sebab komplikasi gula. Saat semua pelayat pulang, aku masih mengenang kebahagiaan diasuh olehnya. Diberikan mainan, dimasakan sayur asam, dan dibebaskan memilih tujuan hidup. Keluarga telah mengajarkan kepribadian sekaligus kehidupan.

"Setiap malam, aku bermimpi masih bermain ayunan denganmu. Ketika aku membuka mata, ternyata masih bermimpi. Sampai nanti aku benar-benar terbangun di rumah ini,"

Entah apa yang dibicarakan Neni seputar mimpi, kehidupan, dan kematian. Jelasnya, ia dianggap gila sesaat setelah orang tuanya meninggal. Vonis kejam bagi wanita muda yang punya mimpi untuk berbahagia. Tidak di kampungku. Neni bagaikan kotoran yang harus dijauhi. Bicaranya tidak pernah logis. Lupa cara berinteraksi dan metode berkomunikasi. Ia punya dunia sendiri.

Barangkali kegilaan merupakan simbol ketidakberdayaan kewarasan manusia menghadapi hidup. Aku melangkah mendekati Neni yang masih mengaris pola pemakaman yang menawan untuknya.

"Hampir petang, tidak pulang?"

Neni tidak menghiraukan. Matanya menghitam, wajahnya kusam, dan tangannya penuh sayatan.

"Keluargamu nanti mencari," rayuku.

"Mencari siapa? Pulang ke mana? Aku sudah di rumah. Sedang kubangun. Kamu tidak lihat?!"

Aku jongkok di sampingnya. Mengelus kepalanya. Ia sedikit menghindar. Jijik. Bagi orang sepertinya, yang merasa waras akan dianggapnya menjijikan.

"Rumahmu di sana," Aku menujuk ke seberang jauh arah rumah Neni.

Plak! Tiba-tiba Neni menamparku cukup keras.

"Apakah kamu sedang bermimpi?"

"Kita tidak sedang bermimpi. Aku merasakan sakit,"

"Bukankah saat bermimpi juga bisa merasakan sakit? Apakah kamu bermimpi? Saat bangun, kamu akan melihat rumahku yang megah. Sebab sudah aku siapakan jauh hari sebelumnya,"

Neni menunjukan kreaktivitas bangunan rumah pemakaman yang klasik dan nyaman. Di saat semua menghindar dari kematian, Neni malah sibuk mempersiapkan. Tidak, bagi Neni, mungkin kematian adalah kehidupan. Sedangkan kehidupan hanyalah mimpi yang diperjuangkan.

Senyumnya yang abadi menyambut mega-mega di atas pematang sawah. Neni mengajarkan bahwa hidup yang bahagia itu sederhana. Manusia berlalu lalang malah sibuk mencari penderitaan. Semakin menderita, manusia semakin tertantang. Kebahagiaan sebatas menyelesaikan sebuah tantangan. Sedangkan menjalani hidup yang bahagia cukup dengan menghilangkan keinginan.

Semut di pemakaman berbaris menyusun sarang. Lebah di atas pohon juga melakukan hal yang sama. Tanpa metode pendidikan yang rumit, semuanya berjalan menyelesaikan rangkaian kehidupan. Manusia tidak ada yang bisa satu pun. Mereka saling bergantung dan membutuhkan. Namun jiwanya dipenuhi keangkuhan. Ketika alam menyatu membentuk harmoni, manusia mengacaukan dengan dalih kebebasan dan kesempuranaan.

Hampir sepanjang hari Neni bermain di pemakaman. Bahkan minggu lalu, ia menciptakan ayunan bertuas ranting pohon beringin. Tidak ada yang mengajaknya bermain dan tidak ada yang mau diajaknya bermain. Ia sendiri dan bahagia. Semakin banyak berkomunikasi dengan manusia, semakin besar potensi perselisihan. Neni ingin mati tanpa merepotkan. Dalam kesendirian.

Aku menghampirinya. Duduk di bawah pohon melihatnya berayun. Kakinya di lempar ke atas dan ke bawah. Menatap langit petang.

"Kamu tidak takut mati?"

"Tidak ada kematian bagi orang yang paham arti kehidupan. Dikiranya mati padahal hidup, disangkanya hidup padahal mati. Kita hanya belum saja terbangun dari tidur panjang. Aku dan kamu adalah mimpi. Tidak nyata. Mereka saja menganggapnya nyata,"

Aku semakin penasaran dengan jawaban Neni yang terlihat aneh namun penuh makna.

"Kamu mungkin pernah bermimpi menjadi kunang-kunang. Namun apa pernah berpikir bahwa kamu adalah kunang-kunang yang sedang bermimpi menjadi dirimu?!"

"Ketika sudah masuk di rumah pemakaman, kamu baru akan menyadari siapa dirimu. Tanpa kamuflase, tanpa bermain drama dengan segala bentuk topengnya. Itulah kehidupan sesungguhnya,"

Aku hanya bengong melihatnya bercerita. Mungkin banyak orang yang menganggapnya gila. Tapi bagiku, Neni adalah jelmaan nabi yang mengajarkan tentang hakekat kehidupan. Kegilaan hanyalah persepsi yang dikarang manusia untuk menghinakan makhluk sejenisnya. Merasa diakukan dan dipuji keberadaannya.

Neni kemudian turun dari ayunan. Bersimpuh di makam ibunya.

"Semasa hidup aku belum pernah mencium kakimu, Bu. Sekarang aku hanya bisa menciumi kaki nisanmu. Meminta maaf atas kesalahanku dan berterimakasih atas kebaikanmu,"

Tidak ada bahasa yang salah dari Neni. Hanya kadang pemikirannya jauh dipahami wanita muda seusianya. Selain pakaian compang-camping yang kemudian dinisbatkan sebagai golongan manusia gila. Ah, kegilaan Neni tidak separah kegilaan pejabat terhadap kekuasaan dan pekerja terhadap kekayaan.

Aku kembali mendekatinya. Mengelus pundaknya.

"Penyesalan memang selalu datang terlambat, keraguan selalu datang tiba-tiba, dan kecemasan selalu datang untuk masa depan,"

Neni masih bersimpuh di bawah nisan tanpa sepatah kata pun. Aku melihat dengan seksama tulisan nisan nama dan tanggal lahir-meninggal.

"Masih muda,"

Tiba-tiba suara azan Maghrib menggema di seisi pemakaman. Terdengar nyaring dan intimidatif mengajak sembahyang ke musala kecil samping desa. Aku hendak berpamitan dengan Neni. Ia tampak terbujur kaku. Penasaran, aku angkat wajahnya yang sudah berlumpuran tanah gundukan.

Matanya terpejam, bibirnya memutih, dan wajahnya penuh semburat sinar keabadian. Aku semakin panik ketika menyentuh dadanya yang tidak ada lagi detak jantung. Nadinya pun ikut berhenti. Mati?!

Segera aku berlari ke tengah kampung memanggil beberapa warga yang hendak menunaikan salat Maghrib. Semua berlarian menuju Neni. Ia sudah terlentang dengan tenang di rumah pemakaman yang dibuatnya. Warga segera mengangkatnya dan aku menangis sejadinya.

"Selamat terbangun dari mimpi burukmu, Neni...."

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun