"Keluargamu nanti mencari,"Â rayuku.
"Mencari siapa? Pulang ke mana? Aku sudah di rumah. Sedang kubangun. Kamu tidak lihat?!"
Aku jongkok di sampingnya. Mengelus kepalanya. Ia sedikit menghindar. Jijik. Bagi orang sepertinya, yang merasa waras akan dianggapnya menjijikan.
"Rumahmu di sana," Aku menujuk ke seberang jauh arah rumah Neni.
Plak! Tiba-tiba Neni menamparku cukup keras.
"Apakah kamu sedang bermimpi?"
"Kita tidak sedang bermimpi. Aku merasakan sakit,"
"Bukankah saat bermimpi juga bisa merasakan sakit? Apakah kamu bermimpi? Saat bangun, kamu akan melihat rumahku yang megah. Sebab sudah aku siapakan jauh hari sebelumnya,"
Neni menunjukan kreaktivitas bangunan rumah pemakaman yang klasik dan nyaman. Di saat semua menghindar dari kematian, Neni malah sibuk mempersiapkan. Tidak, bagi Neni, mungkin kematian adalah kehidupan. Sedangkan kehidupan hanyalah mimpi yang diperjuangkan.
Senyumnya yang abadi menyambut mega-mega di atas pematang sawah. Neni mengajarkan bahwa hidup yang bahagia itu sederhana. Manusia berlalu lalang malah sibuk mencari penderitaan. Semakin menderita, manusia semakin tertantang. Kebahagiaan sebatas menyelesaikan sebuah tantangan. Sedangkan menjalani hidup yang bahagia cukup dengan menghilangkan keinginan.
Semut di pemakaman berbaris menyusun sarang. Lebah di atas pohon juga melakukan hal yang sama. Tanpa metode pendidikan yang rumit, semuanya berjalan menyelesaikan rangkaian kehidupan. Manusia tidak ada yang bisa satu pun. Mereka saling bergantung dan membutuhkan. Namun jiwanya dipenuhi keangkuhan. Ketika alam menyatu membentuk harmoni, manusia mengacaukan dengan dalih kebebasan dan kesempuranaan.