Aku kembali mendekatinya. Mengelus pundaknya.
"Penyesalan memang selalu datang terlambat, keraguan selalu datang tiba-tiba, dan kecemasan selalu datang untuk masa depan,"
Neni masih bersimpuh di bawah nisan tanpa sepatah kata pun. Aku melihat dengan seksama tulisan nisan nama dan tanggal lahir-meninggal.
"Masih muda,"
Tiba-tiba suara azan Maghrib menggema di seisi pemakaman. Terdengar nyaring dan intimidatif mengajak sembahyang ke musala kecil samping desa. Aku hendak berpamitan dengan Neni. Ia tampak terbujur kaku. Penasaran, aku angkat wajahnya yang sudah berlumpuran tanah gundukan.
Matanya terpejam, bibirnya memutih, dan wajahnya penuh semburat sinar keabadian. Aku semakin panik ketika menyentuh dadanya yang tidak ada lagi detak jantung. Nadinya pun ikut berhenti. Mati?!
Segera aku berlari ke tengah kampung memanggil beberapa warga yang hendak menunaikan salat Maghrib. Semua berlarian menuju Neni. Ia sudah terlentang dengan tenang di rumah pemakaman yang dibuatnya. Warga segera mengangkatnya dan aku menangis sejadinya.
"Selamat terbangun dari mimpi burukmu, Neni...."
***