Aku melihat Neni memainkan nisan tepat sebelah makam bapaknya. Ia mengais rerumputan sekitar dan menumpuk beberapa batu. Rambutnya terkulai menari seirama angin menjelang petang. Hari ini tepat setahun bapak dan ibunya meninggal bersama dalam tragedi kecelakaan mau di Tol Bawen Salatiga.
"Ini rumahku nanti di usia 32 tahun,"
Neni memberi batas ruang pemakamannya sendiri. Tepat di kanan makam bapaknya, di bawah pohon beringin tua.
"10 tahun lagi dari sekarang,"
Aku mengawasinya. Di balik kesedihanku yang baru saja ditinggal ibu sebab komplikasi gula. Saat semua pelayat pulang, aku masih mengenang kebahagiaan diasuh olehnya. Diberikan mainan, dimasakan sayur asam, dan dibebaskan memilih tujuan hidup. Keluarga telah mengajarkan kepribadian sekaligus kehidupan.
"Setiap malam, aku bermimpi masih bermain ayunan denganmu. Ketika aku membuka mata, ternyata masih bermimpi. Sampai nanti aku benar-benar terbangun di rumah ini,"
Entah apa yang dibicarakan Neni seputar mimpi, kehidupan, dan kematian. Jelasnya, ia dianggap gila sesaat setelah orang tuanya meninggal. Vonis kejam bagi wanita muda yang punya mimpi untuk berbahagia. Tidak di kampungku. Neni bagaikan kotoran yang harus dijauhi. Bicaranya tidak pernah logis. Lupa cara berinteraksi dan metode berkomunikasi. Ia punya dunia sendiri.
Barangkali kegilaan merupakan simbol ketidakberdayaan kewarasan manusia menghadapi hidup. Aku melangkah mendekati Neni yang masih mengaris pola pemakaman yang menawan untuknya.
"Hampir petang, tidak pulang?"
Neni tidak menghiraukan. Matanya menghitam, wajahnya kusam, dan tangannya penuh sayatan.