Besarnya ekonomi bawah tanah di Indonesia sangat substansial dan merupakan tantangan serius. Berbagai estimasi menyoroti skala fenomenal ini. Sebuah studi dari Universitas Indonesia menunjukkan bahwa nilai ekonomi bawah tanah mencapai sekitar Rp1.968 triliun pada tahun 2022. Penelitian lain oleh Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) mengindikasikan nilai rata-rata triwulanan sebesar Rp34,157 triliun, yang setara dengan sekitar 1,84% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Dampak paling langsung dan merugikan dari fenomena ini adalah hilangnya penerimaan negara yang signifikan. STIS memperkirakan kerugian triwulanan sebesar Rp4 triliun, atau 0,22% dari PDB, yang secara langsung disebabkan oleh pajak yang tidak terkumpul dari aktivitas-aktivitas ini. Selain itu, data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa selama tahun 2022, telah dilakukan 1.321 penindakan Kepabeanan dan Cukai dengan estimasi nilai barang penindakan mencapai Rp97,26 miliar, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp61,04 miliar. Secara lebih luas, kerugian negara akibat produk ilegal diperkirakan mencapai Rp291 triliun, sementara kerugian masyarakat akibat investasi ilegal mencapai Rp112,2 triliun pada tahun 2022. Di luar kerugian fiskal langsung, ekonomi bawah tanah juga menyebabkan PDB resmi menjadi kurang dari yang sebenarnya dan menghambat pembangunan serta pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Tabel berikut merangkum estimasi kerugian penerimaan negara dari ekonomi bawah tanah dan penghindaran pajak di Indonesia:
Tabel 1: Estimasi Kerugian Penerimaan Negara dari Ekonomi Bawah Tanah dan Penghindaran Pajak di Indonesia (Data Terpilih)
Tabel ini secara kolektif menyajikan gambaran kuantitatif yang jelas dan mencolok mengenai dampak fiskal dari ekonomi bawah tanah. Ini memungkinkan perbandingan langsung besarnya kerugian dari berbagai sumber, menekankan bahwa masalah ini bersifat multi-segi dan secara kolektif merupakan pengurasan signifikan terhadap sumber daya nasional. Ringkasan visual ini menggarisbawahi urgensi intervensi kebijakan yang kuat dan terintegrasi untuk memulihkan pendapatan yang hilang dan memperkuat anggaran negara.
3. Batas Ilegal: Perjudian Daring dan Dilema Fiskalnya
Status Hukum dan Larangan Perjudian Daring di Indonesia
Perjudian daring di Indonesia secara tegas dinyatakan ilegal. Larangannya diatur dalam berbagai kerangka hukum, termasuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, dan secara lebih spesifik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 Ayat (2), sebagaimana telah diubah oleh UU 19/2016. Selain undang-undang, doktrin agama juga secara luas melarang perjudian, sebagaimana ditekankan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Konsistensi larangan ini menunjukkan komitmen negara untuk memberantas aktivitas ini.
Perputaran Keuangan dan Jejak Ekonomi: Analisis Data PPATK
Meskipun statusnya ilegal, perjudian daring menunjukkan perputaran keuangan yang sangat tinggi, mengindikasikan jejak ekonomi yang signifikan dalam ekonomi bawah tanah. Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan skala transaksi yang dramatis dan terus meningkat: