Ringkasan Eksekutif
Ekonomi bawah tanah, sebuah fenomena global yang merujuk pada aktivitas ekonomi yang tidak tercatat secara resmi, menimbulkan tantangan signifikan bagi integritas fiskal dan stabilitas sosial di Indonesia. Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai dua kategori utama ekonomi bawah tanah: aktivitas yang sepenuhnya ilegal, dengan fokus khusus pada perjudian daring, dan aktivitas legal yang beralih menjadi ilegal melalui penghindaran pajak korporasi. Data menunjukkan perputaran uang yang masif dalam perjudian daring, mencapai triliunan rupiah, yang memicu perdebatan kompleks antara potensi penerimaan pajak dan dampak sosial yang merusak. Di sisi lain, penghindaran pajak oleh perusahaan menyebabkan kerugian pendapatan negara yang substansial. Menanggapi tantangan ini, Dr. Joko Ismuhadi Soewarsono, seorang ahli perpajakan, telah mengembangkan Persamaan Akuntansi Pajak (TAE) sebagai alat forensik inovatif untuk mendeteksi penghindaran pajak secara proaktif. Laporan ini menggarisbawahi urgensi intervensi kebijakan yang komprehensif, memanfaatkan alat analisis canggih, dan memperkuat penegakan hukum untuk mengatasi ancaman multi-dimensi dari ekonomi bawah tanah demi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan pemerataan distribusi sumber daya.
1. Pendahuluan: Tantangan Ekonomi Bawah Tanah yang Merajalela di Indonesia
Ekonomi bawah tanah, atau yang sering disebut sebagai ekonomi bayangan atau ekonomi gelap, merupakan fenomena yang telah ada selama berabad-abad dan terjadi di seluruh belahan dunia. Di Indonesia, fenomena ini semakin menarik perhatian dengan intensitas yang meningkat, mencakup berbagai kegiatan ekonomi yang beroperasi di luar pengawasan dan regulasi resmi pemerintah, sehingga tidak tercatat dalam statistik resmi atau tidak dilaporkan kepada pemerintah. Aktivitas ini sering kali terjadi di luar kerangka hukum dan regulasi, termasuk perpajakan, undang-undang ketenagakerjaan, dan ketentuan perdagangan internasional.
Laporan ini bertujuan untuk memberikan analisis mendalam mengenai ekonomi bawah tanah di Indonesia, mengambil inspirasi dari diskusi dalam podcast Borobudur Hukum Channel yang menampilkan ahli perpajakan terkemuka, Dr. Joko Ismuhadi Soewarsono. Analisis ini diperkaya dengan materi penelitian ekstensif untuk menyajikan gambaran komprehensif mengenai karakteristik, dinamika, dan dampak dari aktivitas ekonomi yang tidak transparan ini. Fokus utama laporan ini adalah pada tantangan yang ditimbulkan oleh aktivitas yang sepenuhnya ilegal, seperti perjudian daring, serta skema penghindaran pajak korporasi yang semakin canggih.
Memahami dinamika ekonomi bawah tanah dan mengembangkan langkah-langkah penanggulangan yang efektif sangat penting bagi Indonesia. Sifat ekonomi bawah tanah yang merajalela mengikis integritas fiskal negara, mendistorsi data ekonomi resmi, dan memperburuk ketidaksetaraan sosial. Oleh karena itu, mengatasi masalah ini merupakan prasyarat krusial untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan memastikan distribusi sumber daya yang adil bagi seluruh masyarakat.
2. Mendefinisikan dan Mengkategorikan Ekonomi Bawah Tanah di Indonesia
Kerangka Konseptual dan Karakteristik
Ekonomi bawah tanah, yang juga dikenal sebagai underground economy, mengacu pada kegiatan ekonomi yang tidak tercatat dalam statistik resmi atau tidak dilaporkan kepada pemerintah. Kegiatan-kegiatan ini sering beroperasi di luar kerangka hukum dan regulasi pemerintah, termasuk regulasi perpajakan, undang-undang perburuhan, dan ketentuan perdagangan internasional. Ciri khas dari ekonomi bawah tanah adalah ketidaktransparanannya dan keterlibatannya dalam aktivitas yang sering dianggap ilegal atau tidak etis. Transaksi dalam ekonomi ini dijalankan secara rahasia, membuat pengukuran dampaknya secara tepat menjadi tantangan tersendiri.
Perkembangan teknologi, seperti transaksi daring, mata uang kripto, dan metode pembayaran digital, telah memberikan peluang baru bagi para pelaku ekonomi bawah tanah. Hal ini semakin menyulitkan penelusuran dan pelacakan oleh pihak berwenang, karena inovasi teknologi, tanpa adaptasi regulasi dan penegakan hukum yang sesuai, secara tidak sengaja memperkuat ekonomi bayangan. Ini menunjukkan perlunya investasi besar dalam forensik digital, analitik data besar, dan kemampuan kecerdasan buatan bagi otoritas pajak dan penegak hukum. Metode audit dan investigasi tradisional menjadi usang dalam menghadapi aktivitas bawah tanah yang didukung secara digital.
Klasifikasi Utama
Dr. Joko Ismuhadi Soewarsono dalam podcastnya mengklasifikasikan ekonomi bawah tanah menjadi dua jenis utama:
Aktivitas yang Sepenuhnya Ilegal: Ini adalah kegiatan yang secara eksplisit tidak diizinkan oleh hukum, seperti perjudian daring.
Aktivitas yang Dimulai sebagai Legal tetapi Menjadi Ilegal: Kategori ini merujuk pada entitas terdaftar, seperti perusahaan, yang menggunakan skema tertentu untuk menghindari atau mengelak pajak.
Klasifikasi ini konsisten dengan pembagian yang lebih luas yang diakui oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan konsensus ahli, yang membagi ekonomi bawah tanah menjadi empat golongan:
The Illegal Economy: Meliputi aktivitas ekonomi yang tidak sah dan melanggar undang-undang atau bertentangan dengan aturan hukum, seperti perdagangan narkoba, perdagangan manusia, prostitusi, perjudian daring, penebangan liar, penangkapan ikan ilegal, pencucian uang, penyelundupan barang, dan perdagangan barang curian. Penanganan aktivitas ini berada di bawah wewenang aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan, dan KPK).
The Unreported Economy: Merujuk pada pendapatan yang tidak dilaporkan kepada otoritas pajak dengan tujuan menghindari kewajiban pembayaran pajak. Kategori ini secara langsung berkaitan dengan isu penghindaran dan penggelapan pajak.
The Unrecorded Economy: Adalah aktivitas ekonomi yang tidak tercatat untuk menghindari persyaratan pelaporan statistik pemerintah, sehingga tidak masuk dalam data resmi.
The Informal Economy: Terdiri dari pelaku ekonomi yang bekerja sendiri tanpa dibantu orang lain, dibantu pekerja keluarga dan karyawan tidak tetap, atau pekerja bebas di sektor pertanian dan luar pertanian. Contohnya termasuk pedagang asongan, pedagang kaki lima, warung dan toko kelontong, pekerja rumah tangga, tukang ojek, penarik becak, pengemudi bajaj, dan pemulung.
Pembedaan yang jelas antara aktivitas yang secara inheren ilegal dan aktivitas legal yang berubah menjadi ilegal melalui ketidakpatuhan, khususnya penghindaran pajak, bukan sekadar latihan definisi. Ini adalah pembedaan krusial yang menentukan mekanisme kebijakan dan penegakan hukum yang tepat. Untuk aktivitas seperti perdagangan narkoba atau perjudian daring, respons utamanya adalah penegakan hukum dan pemberantasan. Namun, untuk penghindaran pajak oleh bisnis formal, strateginya harus bergeser ke deteksi yang canggih, kepatuhan yang ditingkatkan, dan kemampuan audit yang kuat. Memperlakukan kedua kategori secara seragam akan menjadi tidak efisien dan tidak efektif. Pemahaman yang bernuansa ini memungkinkan pembuat kebijakan untuk mengembangkan intervensi yang lebih tepat sasaran dan efektif, menunjukkan bahwa memerangi ekonomi bawah tanah bukanlah tantangan monolitik, melainkan memerlukan pendekatan multi-segi yang disesuaikan dengan sifat spesifik aktivitas terlarang atau tidak patuh.
Estimasi Skala dan Dampak terhadap PDB Nasional dan Penerimaan Negara
Besarnya ekonomi bawah tanah di Indonesia sangat substansial dan merupakan tantangan serius. Berbagai estimasi menyoroti skala fenomenal ini. Sebuah studi dari Universitas Indonesia menunjukkan bahwa nilai ekonomi bawah tanah mencapai sekitar Rp1.968 triliun pada tahun 2022. Penelitian lain oleh Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) mengindikasikan nilai rata-rata triwulanan sebesar Rp34,157 triliun, yang setara dengan sekitar 1,84% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Dampak paling langsung dan merugikan dari fenomena ini adalah hilangnya penerimaan negara yang signifikan. STIS memperkirakan kerugian triwulanan sebesar Rp4 triliun, atau 0,22% dari PDB, yang secara langsung disebabkan oleh pajak yang tidak terkumpul dari aktivitas-aktivitas ini. Selain itu, data dari Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa selama tahun 2022, telah dilakukan 1.321 penindakan Kepabeanan dan Cukai dengan estimasi nilai barang penindakan mencapai Rp97,26 miliar, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp61,04 miliar. Secara lebih luas, kerugian negara akibat produk ilegal diperkirakan mencapai Rp291 triliun, sementara kerugian masyarakat akibat investasi ilegal mencapai Rp112,2 triliun pada tahun 2022. Di luar kerugian fiskal langsung, ekonomi bawah tanah juga menyebabkan PDB resmi menjadi kurang dari yang sebenarnya dan menghambat pembangunan serta pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Tabel berikut merangkum estimasi kerugian penerimaan negara dari ekonomi bawah tanah dan penghindaran pajak di Indonesia:
Tabel 1: Estimasi Kerugian Penerimaan Negara dari Ekonomi Bawah Tanah dan Penghindaran Pajak di Indonesia (Data Terpilih)
Tabel ini secara kolektif menyajikan gambaran kuantitatif yang jelas dan mencolok mengenai dampak fiskal dari ekonomi bawah tanah. Ini memungkinkan perbandingan langsung besarnya kerugian dari berbagai sumber, menekankan bahwa masalah ini bersifat multi-segi dan secara kolektif merupakan pengurasan signifikan terhadap sumber daya nasional. Ringkasan visual ini menggarisbawahi urgensi intervensi kebijakan yang kuat dan terintegrasi untuk memulihkan pendapatan yang hilang dan memperkuat anggaran negara.
3. Batas Ilegal: Perjudian Daring dan Dilema Fiskalnya
Status Hukum dan Larangan Perjudian Daring di Indonesia
Perjudian daring di Indonesia secara tegas dinyatakan ilegal. Larangannya diatur dalam berbagai kerangka hukum, termasuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, dan secara lebih spesifik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 Ayat (2), sebagaimana telah diubah oleh UU 19/2016. Selain undang-undang, doktrin agama juga secara luas melarang perjudian, sebagaimana ditekankan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Konsistensi larangan ini menunjukkan komitmen negara untuk memberantas aktivitas ini.
Perputaran Keuangan dan Jejak Ekonomi: Analisis Data PPATK
Meskipun statusnya ilegal, perjudian daring menunjukkan perputaran keuangan yang sangat tinggi, mengindikasikan jejak ekonomi yang signifikan dalam ekonomi bawah tanah. Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan skala transaksi yang dramatis dan terus meningkat:
Pada tahun 2021, PPATK mencatat perputaran uang di rekening pelaku judi daring sedikitnya Rp57 triliun.
Angka ini melonjak menjadi Rp81 triliun pada tahun 2022.
Podcast menyebutkan angka Rp120 triliun.
Pada Desember 2024, perputaran uang mencapai Rp283 triliun.
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, memproyeksikan perputaran dana judi daring akan mencapai Rp981 triliun pada tahun 2024.
Prediksi terbaru untuk tahun 2025 adalah angka yang mencengangkan, yaitu Rp1.200 triliun.
Estimasi lain menunjukkan perputaran tahunan hingga US$9 miliar.
Peningkatan dramatis dalam angka perputaran perjudian daring yang dilaporkan oleh PPATK ini bukan sekadar observasi statistik; ini menunjukkan tren pertumbuhan eksponensial yang mengkhawatirkan dari ekonomi ilegal. Eskalasi yang cepat ini, ditambah dengan kesulitan dalam memperoleh angka yang konsisten dan tepat, menyoroti kegagalan kritis dalam tata kelola ekonomi untuk mengendalikan dan menahan aktivitas ini. Skala aliran keuangan ilegal yang sangat besar ini membuat perdebatan seputar perpajakan versus pemberantasan menjadi sangat mendesak dan kompleks.
Tabel berikut menyajikan data perputaran keuangan perjudian daring yang dilaporkan dan diproyeksikan:
Tabel 2: Perputaran Keuangan dan Proyeksi Perjudian Daring di Indonesia (2021-2025)
Tabel ini sangat penting karena secara visual menyajikan eskalasi yang cepat dan mengkhawatirkan dari perputaran perjudian daring di Indonesia. Dengan mengkonsolidasikan angka dari berbagai sumber dan kerangka waktu (termasuk proyeksi), tabel ini secara langsung menyoroti skala masif ekonomi ilegal ini dan pelaporan yang tidak konsisten, yang merupakan tantangan utama dalam mengukur aktivitas bawah tanah secara akurat. Tren kenaikan yang jelas menggarisbawahi urgensi dan besarnya masalah, membuat perdebatan kebijakan di sekitarnya menjadi lebih berdampak. Ini memberikan data konkret untuk mendukung narasi ancaman yang berkembang terhadap integritas fiskal dan kesejahteraan sosial.
Dampak sosial dari perjudian daring yang merajalela sangat parah. Mayoritas pemain (71%) berasal dari kelompok berpenghasilan rendah, dan sejumlah besar (571.410 NIK) adalah penerima bantuan sosial. Selain itu, dana publik, termasuk miliaran dari anggaran desa, telah secara ilegal dialihkan untuk aktivitas perjudian daring. Total kerugian ekonomi yang diprediksi dari perjudian daring untuk tahun 2025 dapat mencapai Rp1.000 triliun, mencakup biaya sosial yang lebih luas di luar sekadar perputaran finansial. Skala masalah ini menunjukkan krisis sosial yang mendalam yang secara tidak proporsional berdampak pada populasi rentan. Situasi ini menuntut strategi nasional yang komprehensif dan kuat yang memprioritaskan perlindungan sosial dan supremasi hukum, daripada hanya memandang perjudian daring sebagai sumber pendapatan potensial. Hal ini juga menyiratkan bahwa mekanisme penegakan hukum saat ini tidak cukup untuk membendung gelombang masalah yang berkembang pesat ini.
Debat tentang Regulasi dan Perpajakan: Argumen Pendapatan vs. Kerugian Sosial
Perdebatan mengenai regulasi dan perpajakan perjudian daring di Indonesia sangat kompleks, melibatkan pertimbangan fiskal, hukum, dan moral.
Argumen untuk Perpajakan (Peluang Fiskal):
Dr. Joko mengemukakan bahwa bahkan persentase pajak yang kecil (misalnya, 1-5%) atas perputaran perjudian daring dapat menghasilkan pendapatan negara yang signifikan, serupa dengan bagaimana transaksi bursa saham dikenakan pajak.
Pejabat tinggi, termasuk Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu dan mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, secara terbuka mengakui potensi pajak yang sangat besar dan bahkan mengusulkan perpajakan sebagai strategi untuk mengurangi minat masyarakat terhadap aktivitas tersebut.
Beberapa pengamat pajak berpendapat bahwa pendapatan yang berasal dari aktivitas ilegal pun dapat dikenakan pajak penghasilan berdasarkan prinsip "akumulasi kemampuan ekonomi" (Pasal 4 Ayat 1 UU Pajak Penghasilan), yang menyiratkan bahwa setiap peningkatan kapasitas ekonomi, terlepas dari sumbernya, dapat dikenakan pajak.
Argumen Melawan Perpajakan (Imperatif Hukum dan Sosial):
Argumen utama dan paling kuat menentang perpajakan perjudian daring adalah statusnya yang secara eksplisit ilegal di Indonesia. Para penentang berpendapat bahwa pengenaan pajak secara implisit akan melegalkan aktivitas tersebut, secara langsung bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk memberantasnya dan merusak undang-undang yang ada.
Kekhawatiran telah muncul mengenai ambiguitas dan kurangnya kategorisasi yang jelas untuk objek dan subjek pajak jika kebijakan tersebut diterapkan.
Para kritikus, termasuk ekonom dan pengamat pajak, sangat berpendapat bahwa perpajakan perjudian daring akan menormalisasi aktivitas tersebut, berpotensi menyebabkan peningkatan partisipasi publik dan memperburuk kerugian sosial yang parah, terutama pada populasi rentan.
Perspektif hukum menunjukkan bahwa transaksi perjudian daring secara perdata tidak sah dan batal demi hukum di bawah hukum Indonesia. Akibatnya, setiap pendapatan yang berasal dari aktivitas tersebut secara teoritis dapat disita oleh negara daripada dikenakan pajak.
Usulan ini juga membawa risiko politik yang signifikan bagi pemerintah, mengingat penolakan publik yang luas dan kekhawatiran moral.
Perdebatan ini bukan hanya tentang kebijakan pajak; ini menyentuh pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang konsistensi hukum, moralitas publik, dan peran pemerintah dalam mengatasi masalah sosial. Setiap langkah menuju perpajakan perjudian daring akan memerlukan mandat publik dan legislatif yang jelas untuk melegalkannya terlebih dahulu, yang membawa risiko politik dan sosial yang signifikan. Tanpa ini, upaya untuk mengenakan pajak pada aktivitas ilegal menciptakan preseden berbahaya, berpotensi merusak supremasi hukum dan kepercayaan publik. Fokusnya harus tetap pada pemberantasan yang kuat dan penyitaan keuntungan ilegal, daripada berusaha melegitimasi mereka melalui perpajakan.
Perpajakan Transaksi Keuangan Legal: Pelajaran dari Bursa Efek
Berbeda dengan perdebatan kontroversial seputar perjudian daring, transaksi keuangan legal, seperti yang dilakukan di bursa saham, tunduk pada mekanisme pajak yang jelas, mapan, dan transparan.
Penjualan Saham: Transaksi yang melibatkan penjualan saham di bursa efek dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,1% dari nilai bruto transaksi penjualan. Tambahan 0,5% berlaku untuk penjualan saham pendiri. Pajak ini biasanya dipungut oleh penyelenggara bursa efek atau perusahaan pialang yang memfasilitasi transaksi.
Dividen: Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dividen yang diterima umumnya dikenakan PPh sebesar 10%. Namun, dividen dapat dikecualikan dari perpajakan jika diinvestasikan kembali untuk jangka waktu minimal tiga tahun.
Obligasi: Bunga dan/atau diskonto yang diperoleh dari investasi obligasi dikenakan PPh sebesar 10% untuk Wajib Pajak dalam negeri.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah menjelaskan bahwa transaksi saham dikenakan PPN 12%, yang menunjukkan beberapa lapisan perpajakan pada aktivitas keuangan legal.
Tabel berikut menyajikan perbandingan antara usulan perpajakan perjudian daring dan mekanisme perpajakan transaksi bursa saham yang ada:
Tabel 3: Analisis Komparatif: Usulan Perpajakan Perjudian Daring vs. Perpajakan Transaksi Bursa Efek di Indonesia
Tabel ini sangat berharga karena secara langsung membahas saran Dr. Joko untuk mengenakan pajak pada perjudian daring dengan menarik paralel dengan transaksi bursa saham. Dengan secara eksplisit membandingkan keduanya, tabel ini dengan jelas menggambarkan perbedaan mendasar, terutama status hukum, yang merupakan hambatan utama dan tidak dapat diatasi untuk mengenakan pajak pada perjudian daring di bawah hukum saat ini. Ini menyoroti bahwa sementara perpajakan bursa saham mendapat manfaat dari kerangka kerja yang jelas, teregulasi, dan transparan dengan mekanisme pengumpulan yang mapan, perjudian daring tidak memiliki semua ini. Perbandingan ini berfungsi sebagai argumen visual yang kuat mengapa transfer mekanisme pajak yang sederhana tidak layak tanpa pergeseran legislatif dan kebijakan radikal sebelumnya, menekankan kompleksitas di luar sekadar menghasilkan pendapatan.
4. Bayangan Legalitas: Penghindaran dan Penggelapan Pajak Korporasi
Membedakan Penghindaran Pajak dari Penggelapan Pajak di Bawah Hukum Indonesia
Di bawah hukum Indonesia, penting untuk membedakan antara penghindaran pajak dan penggelapan pajak, meskipun keduanya bertujuan untuk mengurangi beban pajak.
Penghindaran Pajak (Tax Avoidance): Umumnya dianggap sebagai aktivitas legal di mana wajib pajak secara strategis meminimalkan beban pajak mereka dengan menyusun urusan keuangan mereka untuk memanfaatkan celah, ambiguitas, atau ketentuan yang menguntungkan dalam peraturan pajak yang ada. Namun, tindakan ini dapat beralih menjadi ilegal jika tujuan utama atau satu-satunya dari transaksi tersebut adalah penghindaran pajak, atau jika transaksi tersebut tidak memiliki tujuan bisnis yang nyata dan substansi ekonomi. Konsep "substansi di atas bentuk" (substance-over-form) telah diformalkan dalam peraturan perpajakan Indonesia, memungkinkan otoritas pajak untuk menyesuaikan kewajiban pajak berdasarkan realitas ekonomi suatu transaksi, bukan hanya bentuk hukumnya.
Penggelapan Pajak (Tax Evasion/Tax Fraud): Ini secara tegas merupakan aktivitas ilegal yang melibatkan tindakan yang disengaja dan curang untuk menghindari kewajiban pajak. Tindakan tersebut meliputi pemberian informasi yang tidak benar, manipulasi pembukuan, penyembunyian pendapatan, atau pemalsuan dokumen. Penggelapan pajak adalah pelanggaran pidana di bawah hukum Indonesia, secara eksplisit dapat dihukum berdasarkan ketentuan seperti Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Skema dan Modus Operandi yang Umum dalam Perencanaan Pajak Korporasi
Observasi Dr. Joko bahwa banyak perusahaan secara konsisten melaporkan kerugian finansial tetapi tidak bangkrut dalam jangka waktu yang lama merupakan indikator kunci potensi penghindaran pajak. Anomali ini menunjukkan bahwa profitabilitas yang dilaporkan tidak selaras dengan kelangsungan ekonomi aktual dan akumulasi aset. Skema penghindaran pajak yang umum dan canggih yang digunakan oleh korporasi meliputi:
Pengaturan Ketidaksesuaian Hibrida (Hybrid Mismatch Arrangements): Skema ini memanfaatkan inkonsistensi dalam perlakuan pajak instrumen keuangan atau entitas di berbagai yurisdiksi. Hal ini dapat menyebabkan situasi "non-perpajakan ganda" (pendapatan tidak dikenakan pajak di negara mana pun) atau "pemotongan ganda" (biaya dipotong di dua negara berbeda). Contohnya termasuk skema "pengurangan atau tanpa inklusi", di mana pembayaran bunga di satu negara diperlakukan sebagai dividen yang tidak dikenakan pajak di negara lain, dan penyalahgunaan kredit pajak luar negeri.
Manipulasi Harga Transfer (Transfer Pricing Manipulation): Ini melibatkan penyesuaian harga secara artifisial untuk barang, jasa, atau kekayaan intelektual yang dipertukarkan antara entitas terkait dalam kelompok multinasional. Tujuannya adalah untuk menggeser keuntungan dari yurisdiksi dengan pajak tinggi ke yurisdiksi dengan pajak rendah.
Penghindaran Status Bentuk Usaha Tetap (BUT): Perusahaan dapat menyusun operasi mereka untuk menghindari klasifikasi sebagai "Bentuk Usaha Tetap" (BUT) di negara tertentu, sehingga menghindari kewajiban pajak penghasilan badan di yurisdiksi tersebut.
Aturan Perusahaan Asing Terkendali (Controlled Foreign Company/CFC): Skema ini melibatkan penggunaan anak perusahaan asing di yurisdiksi pajak rendah untuk menunda atau menghindari perpajakan atas keuntungan mereka di negara asal perusahaan induk.
Pemisahan Omzet dan Pembentukan Entitas Baru: Modus operandi yang umum, terutama di kalangan usaha kecil dan menengah, melibatkan pembentukan beberapa perusahaan baru  atau terlibat dalam restrukturisasi korporasi untuk secara artifisial membagi total omzet. Strategi ini bertujuan untuk menjaga omzet entitas individu di bawah ambang batas yang akan memicu tarif pajak yang lebih tinggi atau persyaratan kepatuhan yang lebih ketat.
Evolusi skema penghindaran pajak yang semakin canggih ini menuntut adaptasi regulasi dan penegakan hukum yang dinamis. Ini menunjukkan bahwa undang-undang pajak yang statis tidaklah cukup. Ada kebutuhan berkelanjutan untuk kelincahan legislatif dan bagi otoritas pajak untuk mengembangkan keahlian yang sangat terspesialisasi dan alat analitis canggih. Adopsi prinsip-prinsip BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) oleh Indonesia menandakan komitmen untuk menutup celah internasional, tetapi juga menyiratkan tuntutan yang lebih besar akan auditor pajak terampil yang mampu memahami dan menerapkan aturan kompleks berbasis substansi ini.
Anomali Perusahaan Rugi dengan Operasi yang Berkelanjutan
Fenomena perusahaan yang terus melaporkan kerugian finansial namun tidak bangkrut adalah tanda bahaya penting untuk potensi penghindaran pajak. Data dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mendukung kekhawatiran ini, menunjukkan peningkatan konsisten dalam persentase perusahaan yang melaporkan kerugian, dari 8% pada tahun 2012 menjadi 11% pada tahun 2019. Jumlah absolut perusahaan yang melaporkan kerugian juga meningkat secara signifikan, dari 5.199 pada tahun 2012 menjadi 9.496 pada tahun 2019.
Yang krusial, meskipun berulang kali melaporkan kerugian, banyak dari perusahaan ini terus beroperasi, bertahan, dan bahkan memperluas bisnis mereka, menunjukkan ketidaksesuaian antara kinerja keuangan yang dilaporkan dan vitalitas ekonomi aktual mereka. Anomali "merugi tetapi tidak bangkrut" ini adalah pola sistemik yang luas, bukan insiden terisolasi. Ini menunjukkan adanya pemutusan hubungan mendasar antara kinerja keuangan yang dilaporkan (untuk tujuan pajak) dan realitas ekonomi aktual. Hal ini sangat menyiratkan bahwa perusahaan-perusahaan ini secara efektif "menyembunyikan" keuntungan atau membesar-besarkan biaya untuk mengurangi pendapatan kena pajak mereka, sementara masih menghasilkan arus kas yang cukup untuk mempertahankan dan mengembangkan operasi dan aset mereka.
Untuk mengatasi bentuk penghindaran pajak spesifik ini, draf RUU KUP (Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) mengusulkan penerapan PPh minimum 1% dari pendapatan bruto untuk perusahaan yang merugi. "Pajak Minimum Alternatif" ini bertujuan untuk memastikan bahwa entitas yang tampaknya tidak menguntungkan namun layak ini memberikan kontribusi pajak tertentu. Fenomena ini tidak hanya mengakibatkan kerugian pendapatan yang substansial bagi negara tetapi juga menciptakan lingkungan persaingan yang tidak adil, merugikan bisnis yang patuh yang secara akurat melaporkan keuntungan mereka. Ini menunjukkan kebutuhan bagi otoritas pajak untuk bergerak melampaui pendekatan audit yang murni transaksional ke analisis forensik yang lebih holistik terhadap kesehatan keuangan perusahaan, pertumbuhan aset, dan substansi ekonominya, terlepas dari profitabilitas yang dilaporkan.
Kerugian Penerimaan Negara dari Penghindaran Pajak Korporasi
Bahkan ketika secara teknis legal, penghindaran pajak secara signifikan mengikis basis pajak dan mengakibatkan kerugian pendapatan yang substansial bagi pemerintah. Tax Justice Network memperkirakan kerugian Indonesia dari penghindaran pajak korporasi sebesar Rp67,6 triliun pada tahun 2020. Estimasi selanjutnya untuk tahun 2021 menunjukkan kerugian US$2,2 miliar (sekitar Rp32 triliun) khusus dari penghindaran pajak korporasi multinasional.[32] Angka tahun 2021 ini saja setara dengan 19,8% dari anggaran kesehatan nasional Indonesia.
Secara lebih luas, tingkat penghindaran pajak yang tinggi, termasuk skema korporasi, disebut sebagai alasan utama rasio pajak terhadap PDB Indonesia yang relatif rendah, yang berkisar sekitar 10%. Sebuah studi Bank Dunia menggunakan metode tidak langsung memperkirakan bahwa sekitar 25% perusahaan formal di Indonesia secara implisit mengakui tidak membayar semua pajak yang diwajibkan. Ini menunjukkan potensi pendapatan yang belum tergali dan perlunya intervensi yang lebih efektif.
5. Persamaan Akuntansi Pajak (TAE) Dr. Joko Ismuhadi Soewarsono: Pendekatan Forensik untuk Deteksi
Dasar Konseptual dan Tujuan Analitis TAE
Persamaan Akuntansi Pajak (TAE) adalah alat akuntansi forensik inovatif yang dikembangkan oleh Dr. Joko Ismuhadi Soewarsono, seorang ahli perpajakan Indonesia terkemuka dan auditor pajak berpengalaman di Direktorat Jenderal Pajak. Tujuan utama TAE adalah deteksi dini potensi penghindaran pajak dan/atau penggelapan. Alat ini dirancang secara unik untuk menganalisis laporan keuangan dalam konteks spesifik regulasi pajak Indonesia dan bertujuan untuk mengungkap aktivitas ekonomi bawah tanah yang tersembunyi yang mungkin terlewatkan oleh metode audit tradisional. Karya Dr. Joko tentang TAE dirinci dalam bukunya, "Persamaan Akuntansi Pajak: Deteksi Dini Penghindaran Pajak," yang juga dapat ditemukan di platform AI seperti Gemini dan ChatGPT.
Mekanisme Deteksi Dini Disparitas Keuangan dan Penghindaran Pajak
TAE Dr. Joko secara fundamental didasarkan pada hubungan logis dan matematis antara laporan laba rugi perusahaan (yang mencerminkan profitabilitas) dan neraca keuangannya (yang menunjukkan perubahan aset dan kewajiban). Persamaan inti dari TAE disajikan dalam dua bentuk yang saling terkait:
Pendapatan -- Beban = Aset -- Kewajiban
Atau, disusun ulang menjadi: Pendapatan = Beban + Aset -- Kewajiban.
Persamaan ini menggarisbawahi prinsip bahwa profitabilitas perusahaan (Pendapatan dikurangi Beban) secara logis harus berkorelasi dengan perubahan kekayaan bersihnya, yang diwakili oleh selisih antara Aset dan Kewajibannya (Aset - Kewajiban pada dasarnya sama dengan Ekuitas).
Kegunaan TAE terletak pada kemampuannya untuk mendeteksi ketidaksesuaian. Secara khusus, ini menandai anomali ketika sebuah perusahaan melaporkan kerugian finansial (menunjukkan Pendapatan dikurangi Beban yang rendah) tetapi secara bersamaan menunjukkan peningkatan asetnya atau mempertahankan tingkat aset yang secara konsisten tinggi dari waktu ke waktu. Inkongruensi ini menunjukkan bahwa pendapatan yang dilaporkan mungkin kurang dari yang sebenarnya, atau beban mungkin dilebih-lebihkan, menandakan potensi penghindaran pajak. Dengan membandingkan hubungan keuangan yang diharapkan yang berasal dari TAE dengan angka aktual yang dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan, otoritas pajak dapat mengidentifikasi pola-pola tidak biasa yang memerlukan investigasi lebih lanjut dan lebih mendalam. Pendekatan proaktif ini berfungsi sebagai sistem peringatan dini yang tak ternilai untuk potensi ketidakpatuhan.
Penting untuk membedakan Persamaan Akuntansi Pajak spesifik Dr. Joko (Pendapatan -- Beban = Aset -- Kewajiban) dari persamaan akuntansi standar (Aset = Kewajiban + Ekuitas) yang juga disebut sebagai "Persamaan Akuntansi Pajak" dalam beberapa sumber. TAE Dr. Joko adalah adaptasi unik yang dirancang untuk deteksi penghindaran pajak, berfokus pada hubungan dinamis antara profitabilitas dan perubahan aset bersih, bukan identitas neraca statis.
Implikasi Strategis untuk Penegakan dan Kepatuhan Pajak yang Ditingkatkan
Penerapan TAE dapat secara signifikan meningkatkan efisiensi dan efektivitas audit pajak. Dengan menyediakan metode sistematis untuk mengidentifikasi kasus-kasus berisiko tinggi yang potensial, ini memungkinkan otoritas pajak untuk mengalokasikan sumber daya terbatas mereka secara lebih strategis, berfokus pada entitas di mana penghindaran pajak paling mungkin terjadi. TAE menawarkan kerangka kerja matematis yang kuat untuk mengungkap skema penghindaran pajak yang canggih yang mungkin tetap tersembunyi melalui prosedur audit konvensional.
Fakta bahwa konsep Dr. Joko tidak hanya dirinci dalam buku yang diterbitkan tetapi juga dapat diakses di platform AI menunjukkan potensinya untuk adopsi luas dan integrasi ke dalam sistem kepatuhan pajak otomatis. Hal ini dapat merevolusi cara otoritas pajak memantau dan menganalisis data wajib pajak. Inovasi ini secara langsung mengatasi tantangan "Ketidaktransparan dan Ketidakpastian Data" dengan menyediakan metodologi terstruktur untuk menyimpulkan aktivitas ekonomi tersembunyi dari laporan keuangan yang dilaporkan. Potensinya untuk integrasi AI menyiratkan lompatan signifikan dalam efisiensi dan skalabilitas audit, memungkinkan otoritas pajak untuk memantau volume wajib pajak yang jauh lebih besar dan mengidentifikasi pola kompleks yang mungkin terlewatkan oleh auditor manusia. Kemampuan ini sangat penting untuk secara efektif memerangi skema penghindaran pajak yang semakin canggih yang lazim di sektor korporasi.
6. Tantangan dan Rekomendasi Kebijakan
Hambatan dalam Memerangi Ekonomi Bawah Tanah dan Penghindaran Pajak
Perjuangan melawan ekonomi bawah tanah dan penghindaran pajak di Indonesia menghadapi beberapa hambatan yang kompleks:
Opasitas Data dan Kesulitan Pengukuran: Sifat ekonomi bawah tanah yang secara inheren rahasia membuat pengumpulan data yang akurat, pengukuran, dan pengawasan komprehensif menjadi sangat menantang.
Perkembangan Teknologi yang Cepat: Peningkatan penggunaan platform digital, mata uang kripto, dan metode pembayaran daring oleh para pelaku ekonomi bawah tanah mempersulit pelacakan aliran keuangan dan identifikasi pelaku.
Kecanggihan Skema: Skema penghindaran pajak, khususnya yang digunakan oleh korporasi, menjadi semakin kompleks, seringkali melibatkan transaksi lintas batas yang rumit dan instrumen keuangan canggih yang dirancang untuk memanfaatkan celah hukum.
Penegakan Hukum yang Lemah dan Kesenjangan Regulasi: Meskipun Indonesia telah menerapkan berbagai langkah anti-penghindaran, penegakan yang efektif dapat terhambat oleh keterbatasan sumber daya, kekurangan keahlian khusus, dan kemunculan celah baru yang terus-menerus.
Faktor Pendorong Sosial-Ekonomi: Ketidaksetaraan sosial-ekonomi, beban pajak yang tinggi, kondisi ekonomi yang sulit, gaya hidup hedonisme, dan rendahnya literasi keuangan dapat mendorong individu dan bisnis untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi bawah tanah.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan analisis mendalam mengenai ekonomi bawah tanah di Indonesia, termasuk tantangan yang ditimbulkan oleh perjudian daring dan penghindaran pajak korporasi, rekomendasi kebijakan berikut diusulkan untuk memperkuat integritas fiskal dan mempromosikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan:
Untuk Perjudian Daring (Aktivitas Sepenuhnya Ilegal):
Prioritaskan Pemberantasan dan Penegakan Hukum: Mengingat status ilegal perjudian daring dan dampak sosialnya yang merusak, fokus utama harus tetap pada upaya pemberantasan yang kuat dan penegakan hukum yang tegas. Ini termasuk peningkatan koordinasi antarlembaga penegak hukum (Polri, Kejaksaan, PPATK) untuk melacak dan memblokir aliran dana ilegal serta menindak para pelaku.
Perlindungan Sosial dan Edukasi: Mengembangkan program perlindungan sosial yang lebih kuat dan kampanye edukasi publik yang masif untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya perjudian daring, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah. Hal ini juga mencakup upaya untuk mencegah penyalahgunaan dana bantuan sosial untuk kegiatan ilegal.
Menolak Legalisasi untuk Perpajakan: Pemerintah harus secara tegas menolak wacana legalisasi perjudian daring dengan tujuan perpajakan. Melegalkan aktivitas ilegal melalui pajak akan mengirimkan pesan yang salah, menormalisasi perilaku berbahaya, dan bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk memberantasnya, serta berpotensi memperburuk masalah sosial.
Untuk Penghindaran Pajak Korporasi (Aktivitas Legal yang Menjadi Ilegal):
Adopsi dan Integrasi Persamaan Akuntansi Pajak (TAE): Direktorat Jenderal Pajak harus secara penuh mengadopsi dan mengintegrasikan Persamaan Akuntansi Pajak (TAE) Dr. Joko Ismuhadi Soewarsono ke dalam sistem audit dan analisis keuangan mereka. Ini akan berfungsi sebagai alat deteksi dini yang proaktif untuk mengidentifikasi anomali dalam laporan keuangan, terutama pada perusahaan yang melaporkan kerugian namun terus meningkatkan asetnya.
Investasi dalam Forensik Digital dan Analitik Data: Mengingat semakin canggihnya skema penghindaran pajak dan peran teknologi dalam menyembunyikan aktivitas ilegal, otoritas pajak harus berinvestasi besar dalam kemampuan forensik digital, analitik data besar, dan kecerdasan buatan. Ini akan memungkinkan mereka untuk melacak aliran keuangan yang kompleks dan mengidentifikasi pola-pola penghindaran yang tidak terdeteksi oleh metode tradisional.
Pembaruan Regulasi yang Dinamis: Pemerintah perlu memastikan kerangka regulasi perpajakan yang dinamis dan adaptif. Ini termasuk terus memperbarui undang-undang dan peraturan untuk menutup celah hukum, sejalan dengan inisiatif internasional seperti Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dari OECD, serta memperkuat penerapan prinsip "substansi di atas bentuk."
Peningkatan Kapasitas Auditor: Melakukan pelatihan berkelanjutan dan pengembangan keahlian bagi auditor pajak untuk memahami skema penghindaran pajak yang canggih, termasuk pengaturan ketidaksesuaian hibrida dan manipulasi harga transfer, serta untuk memanfaatkan alat analitis baru seperti TAE.
Rekomendasi Umum:
Kolaborasi Lintas Lembaga: Memperkuat kolaborasi dan pertukaran informasi antara berbagai lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengawasan ekonomi (misalnya, Kementerian Keuangan, PPATK, BPS, OJK, penegak hukum) untuk menciptakan pendekatan yang terintegrasi dan komprehensif dalam memerangi ekonomi bawah tanah.
Peningkatan Literasi Keuangan: Mengembangkan program peningkatan literasi keuangan bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk mengurangi kerentanan terhadap investasi ilegal dan mendorong kepatuhan pajak.
Transparansi dan Akuntabilitas: Mendorong transparansi yang lebih besar dalam pelaporan keuangan dan transaksi, serta memperkuat mekanisme akuntabilitas untuk semua pelaku ekonomi, baik formal maupun informal.
Dengan menerapkan rekomendasi-rekomendasi ini, Indonesia dapat secara lebih efektif memerangi ekonomi bawah tanah, memulihkan pendapatan negara yang hilang, dan menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih adil dan transparan bagi semua pihak.
Sumber: fiskusnews.com; fiskusmagnews.com; taxjusticenews.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI