Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Taman Ismail Marzuki: Reformasi Baru Saja Dimulai

20 November 2015   09:01 Diperbarui: 20 November 2015   11:23 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertama kami menggelar acara bertajuk “Tribute to Ismail Marzuki”. Bekerja sama dengan Asosiasi Komposer Indonesia yang dipimpin Otto Sidharta dan Tony Prabowo, kami mengajak sejumlah komponis menulis ulang karya-karya almarhum Ismail Marzuki. Lalu dipagelarkan oleh Twilite Orchestra yang dipimpin Addie MS bersama Ananda Sukarlan, pianis Indonesia yang lama hijrah ke Spanyol. Ketika itu Indra Lesmana dan Aksan Sjuman, Dian HP, Job Rusli, Joko Lemez Suprayitno, dan Budi Ngurah turut ambil bagian.

Kemudian “Menarilah Indonesiaku”, program sepanjang tahun yang direncanakan menggelar karya- karya koreografer Indonesia yang justru tak pernah dipentaskan di tanah airnya sendiri. Program perdana menghadirkan Boi G. Sakti yang menggelar 10 karyanya selama 4 hari berturut-turut. Setiap tarian hanya digelar sekali dan setiap hari mereka menampilkan karya yang berbeda. Penampilan maestro-maestro lain seperti Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, Wiwiek Sipala, Tom Ibnur dan lain-lain sebetulnya sudah dicanangkan. Tapi setelah saya pamit mengundurkan diri dari Pusat Kesenian Jakarta itu, hanya pementasan Sardono W. Kusumo bersama rekan-rekannya yang sempat saya dukung pagelarannya di Gedung Kesenian Jakarta.

Kedua program itu menggugah kembali semangat tokoh-tokoh yang bernaung di bawah Yayasan Kesenian Jakarta. Walau situasi jelas berbeda dengan era kekuasaan Orde Baru sebelumnya, mereka tetap bahu-membahu bersama kami menggalang seluruh kebutuhan dana kedua program tersebut. Bahkan, melalui sebuah penggalangan dana di salah satu kediaman pengurus yayasan itu (Miranda S. Gultom), Taman Ismail Marzuki mendapat hibah untuk membeli sebuah concert grand piano merk Steinway untuk menggantikan piano lama yang karena dimakan usia salah satu pedalnya putus saat digunakan pada kompetisi “Cipta Award” (Melongok Steinway di Indonesia.)

 

Saya prihatin.

Di taman itu, hari ini, kembali berlangsung pertengkaran lama yang semua berujung pada dana. Sistem birokrasi yang kaku berhadap-hadapan dengan manusia-manusia bebas yang merasa terkungkung (Ahok Dianggap Lecehkan Seniman).

Ada dasar hukum berupa peraturan Menteri Dalam Negeri - supervisor Kepala Daerah DKI Jakarta yang menjadi pemilik taman itu - yang harus dipatuhi. Diantaranya, soal subsidi yang dibatasi hanya boleh diberikan selama 3 tahun berturut-turut. Maksudnya tentu berkait dengan alokasi dana yang diserahkan kepada taman itu. Maka agar anggaran bisa disisihkan dan tetap mengucur, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok menjadikannya sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT). Ia berdalih, jika para seniman yang ber-‘mukim’ di sana mampu mendanainya sendiri maka UPT itu tak diperlukan. Taman Ismail Marzuki akan diserahkannya bulat-bulat. Asalkan tak ada lagi anggaran yang akan dihibahkan ke sana.

Lalu sekelompok pelaku dan penggiat seni meradang menolaknya. Mereka keberatan karena setelah menjadi UPT maka Taman Ismail Marzuki akan dipimpin dan dikelola abdi negara, para pegawai negeri yang berasal dari lingkungan kantor pemerintah daerah. Merekapun curiga aktivitas kesenian akan diawasi dan dikenai pajak. Juga tak menerima aturan jam kerja pagi hingga sore hari seperti yang lazim berlaku di kantor pemerintahan.

Pertengkaran itu seperti salah satu jawaban soal pilihan berganda terhadap 2 pernyataan: (pernyataan yang pertama) benar dan (pernyataan kedua agak) benar (tapi kedua pernyataan itu sangat) tak berhubungan, bukan?

Ahok benar karena memang harus mematuhi peraturan yang ada jika tak ingin berurusan dengan hukum. Gubernur visioner yang langkah-langkahnya selalu memihak masyarakat meski kadang menuai kontroversi itu memang perlu berhati-hati. Mungkin tak banyak yang tahu jika kedudukannya, meski dipilih langsung oleh rakyat DKI Jakarta, bisa terancam seandainya tak mematuhi kebijakan dan aturan yang ditetapkan pemerintah pusat. Undang-undang No. 23 Tahun 2014 yang diluncurkan di penghujung masa kekuasaan Soesilo Bambang Yudhoyono dan Boediono kemarin telah begitu rinci mengaturnya. Tentu ia tak perlu konyol menentang hukum yang jelas-jelas mengancam sementara masih banyak hal lain di ibukota Republik Indonesia itu yang perlu ia lakukan.

Para seniman memang benar. Jam kerja kantoran yang biasa berlaku tak lazim diterapkan dalam aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Perhelatan kegiatan memang acap berlangsung setelahnya: sore hingga malam hari. Sabtu dan Minggu yang bagi kebanyakan orang adalah waktu istirahat setelah bekerja penuh mulai Senin hingga Jumat, justru sering terpilih sebagai saat yang cocok untuk menggelar karya-karyanya. Tapi tentu saja para pegawai yang ditempatkan pada UPT Taman Ismail Marzuki tidak akan serta-merta menafikan semua kebiasaan itu. Jika memang harus melayani diluar jam kerja biasa - seperti yang juga dilakukan petugas yang melayani Trans Jakarta misalnya - pastilah mereka menerimanya sebagai bagian dari tugas dan tanggung-jawab yang diberikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun