Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Taman Ismail Marzuki: Reformasi Baru Saja Dimulai

20 November 2015   09:01 Diperbarui: 20 November 2015   11:23 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Tribute to Ismail Marzuki - Graha Bhakti Budaya TIM, 11 Mei 2002, 20:00 WIB "][/caption]Pusat kesenian itu terletak di Jl. Cikini Raya, Jakarta. Kira-kira 15 tahun lalu, saya singgah di sana. Lalu memimpinnya. Tak sampai 2 tahun. Dan saya memperoleh pengalaman yang sungguh istimewa.

 

Saya beruntung. 

Mungkin karena Soeharto digulingkan dan gerakan reformasi bergulir. Biasanya - seperti juga sekarang ini - pengelolaan institusi itu selalu diserahkan kepada salah seorang birokrat kantor Gubernur DKI Jakarta. Pemiliknya. Tapi ketika itu, Yayasan Kesenian Jakarta-lah yang dilimpahkan tanggung jawab dan wewenang untuk mengurusnya. Lalu mereka mencari sosok untuk mengganti pimpinan yang ada. Dan tawaran itu disampaikan walaupun saya bukan seniman dan juga bukan pegawai negeri. Dan saya menerimanya.

Saya memang sedang jengkel. Bersama-sama dengan sejumlah rekan yang lain, kami berada di penghujung jalan mempersiapkan kehadiran salah satu dari 5 stasiun televisi Nasional yang terbit paska kejatuhan Soeharto. Jasa dan biaya-biaya yang dikeluarkan selama lebih dari 2 tahun untuk menyiapkannya tak dibayar. Izin yang diperoleh justru dijual penggagasnya kepada konglomerasi yang dulunya milik salah seorang putra presiden Orde Baru itu. Bukan pergantian pemilik yang membuat saya dan kawan-kawan lain menggerutu. Tapi mimpi yang buyar untuk menghadirkan stasiun televisi berjaringan. Antithesis dari konsep pertelevisian Nasional yang terpusat di Jakarta sebelumnya. Sebuah keniscayaan yang kemudian hari memang dengan tegas dan jelas diamanatkan Undang- Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Kamipun bangkrut. Semua kekayaan perusahaan yang kami dirikan amblas di sana.

Lalu seorang sastrawan yang juga mantan wartawan bertandang ke kantor. Ia sudah tahu. Tapi tetap bertanya. Namanya Radhar Pancadhana.

“Bagaimana selanjutnya, bang?”

“Saya tak mau lagi berurusan dengan bisnis pertelevisian!”

“Kalau gitu, bantu kesenian saja?”

“Maksudnya?”

“Taman Ismail Marzuki sedang cari Direktur. Kalau bersedia, saya akan usulkan”

“Ok, boleh!”

Beberapa hari kemudian saya diundang dan bertemu dengan pengurus Yayasan Kesenian Jakarta. Diantaranya hadir Pia Alisjahbana, Miranda Goeltom, Toety Heraty Noeradi, Wiyogo Atmodarminto, dan Adhie Moersid.

 

Saya Bersyukur. 

Seandainya saya tak pernah melintas dan bercengkarama di sana, sebelah mata ini mungkin masih buta.

Di sana saya mencium peluh mereka yang tak henti-hentinya mencari dan menggali yang baru, asing, dan kadang tak ada. Mengisi ruang-ruang yang sebelumnya - dibalik kesibukan bertarung dengan jerat-jerat ketakutan dan keserakahan metropolitan - sering saya biarkan kosong dan terbengkalai.

Di sana saya mendengar derai tawa mereka yang begitu lepas setelah menyaksikan adegan konyol dan menjemukan dari semua kekuasaan yang sedang manggung. Kadang diselingi dengan isak tangis yang menyayat hati. Bukan karena disia-disiakan. Tapi karena dikhianati.

Di sana saya melihat ikhtiar, tekad, dan upaya mewujudkan kesempurnaan yang bersahutan. Acap tanpa bandrol. Tak juga menanti tepuk tangan.

Di sana saya rasakan sesuatu yang melengkapi hidup. Makhluk yang tak hanya menghargai sesama tapi juga yang lain. Manusia yang setara dan terus menggali.

 

Saya bahagia. 

Gagasan dilontarkan.

Saling mempertanyakan.

Tapi tak perlu menghardir

     Apalagi memukul meja.

Kadang dalam bisu.

     mereka mencoba menguak yang tersembunyi.

Merabanya.

     lalu menuturkannya

     lewat aksara, gerak, suara, warna, atau apa saja.

Kadang gelap tapi tak mesti terjerembab.

Terang tapi tak harus menyilaukan.

Ya, mereka sibuk sendiri dengan dunia kita.

Walau tak menyakiti hati yang lain

     hingga pelita menyala

     sebelum menerjang kegelapan berikutnya.

 

Sejak beberapa tahun sebelum saya mampir di sana, mereka memang telah diacuhkan. Mungkin dianggap sebagai beban. Atau sebagai sesuatu yang menakutkan? Entahlah. Rendra yang Burung Merak dulu pernah tampil. Telinga puncak kekuasaan merah. Sejak itu tak mudah lagi. Bukan hanya untuk mendukung pembiayaan. Tapi hanya sekedar mengisi panggung.

Bakat, kejelian, ekspresi, dan keliaran itu tak terkurung. Mereka menggeliat dan berkelana menemukan habitatnya. Tempat dimana semua itu menjadi mungkin. Untuk digagas, diasah, dikemas, disajikan, lalu dibicarakan sehingga menyempurnakan yang ada dan melahirkan yang baru.

Keindahan itu rupanya tak mesti pada hal yang biasa. Atau pada hal yang sudah dipahami. Atau pada hal yang diulang-ulang.

Keindahan itu ternyata ada entah dimana. Mungkin pada prosesnya. Bisa juga sampahnya. Saya bahagia karena berkenalan dengan semua itu.

 

Saya mengerti.

Taman Ismail Marzuki hanya fasilitas. Panggung dan etalase. Ketika saya masih di sana, ada Graha Bhakti Budaya. Gedung untuk mementaskan pertunjukan dengan kapasitas sekitar 800 penonton. Juga 2 buah galeri, besar dan kecil.

Taman itu kini dilengkapi dengan gedung megah - disebut sebagai Teater Jakarta - yang menaungi Teater Kecil dengan kapasitas 200-300 penonton dan Teater Besar yang mampu menampung hingga 1.240 penonton. Jauh sebelumnya, di atas lahan tempat gedung itu berdiri, disana pernah ada Teater Arena, Teater Tertutup, Teater Terbuka, Sanggar Tari, dan Wisma Seni.

Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki melengkapi kemewahan dunia seni pertunjukan ibukota Republik Indonesia. Fasilitas lain yang dikuasai pemerintah adalah Gedung Kesenian Jakarta yang berkapasitas sekitar 500 tempat duduk. Belum lagi yang dimiliki dan dikelola swasta seperti Salihara, Bentara Budaya, Usmar Ismail Hall, dan Aulia Simfonia Jakarta. Bahkan lembaga-lembaga asing seperti Erasmus Huis dan Goethe Institut.

Menilik semua itu, sesungguhnya Jakarta boleh dikatakan tak mempunyai masalah lagi dalam urusan gedung pertunjukan dan fasilitasnya. Sementara ini malah lebih dari cukup. Persoalan justru pada program acara yang mengisinya.

Inisiatif menggelar pertunjukan di gedung-gedung itu, terutama yang dimiliki dan dikuasai pemerintah, hampir sepenuhnya berada di tangan para pengisi-pengisi acara. Jika mereka - para seniman maupun inisiator pementasan seni - sedang tak punya selera ataupun gagasan maka tak akan ada program. Seandainya pun mereka berselera dan punya gagasan, tetap saja belum ada kepastian mewujudkannya menjadi acara yang dipertunjukkan di sana. Sebab hambatan laten berikutnya adalah dana. Mereka harus memastikan siapa yang dapat menutup modal dan seluruh pengeluaran yang diperlukan untuk menjamin acara terselenggara : kantong sendiri, donatur, sponsor, dan atau hasil penjualan karcis.

Penjualan karcis?

Sebaiknya jangan berharap banyak. Menyaksikan pementasan seni kontemporer - sebagian masyarakat awam kadang menjulukinya sebagai karya ‘gila’ atau pertunjukan yang hanya dimengerti ‘seniman’, Tuhan, dan setan - bukanlah minat umum. Berbeda dengan pagelaran-pagelaran populer yang telah dikenal luas dan ramai penggemar. Entah karyanya ataupun artisnya. Pertunjukan- pertujukan yang semestinya lazim di gedung-gedung seperti Teater Jakarta, Graha Bhakti Budaya, Gedung Kesenian Jakarta, Teater Salihara, dan lain-lain itu melirik pengunjung yang memiliki keingin- tahuan dan minat yang tinggi. Bukan mereka yang sekedar berkemampuan finansial merogoh kantong untuk membeli tiket yang dibandrol. Ia seperti olahraga jogging. Gembel yang tinggal di kolong jembatan dan milyarder yang hidup di griya tawang (penthouse) sama-sama bisa melakoni dan menikmatinya jika berminat. Berbeda dengan golf ataupun fitness. Semakin mewah akan semakin mahal dan semakin banyak yang ingin mendapat kesempatan mencicipi. Asalkan uang di saku cukup untuk membayarnya.

Sponsor?

Mengharapkan sponsor berbondong-bondong mendukung pertunjukan seni di panggung gedung- gedung yang disebutkan di atas tadi sesungguhnya sama persis dengan godot yang merindukan bulan. Sponsorship mempunyai kaitan erat dengan strategi komunikasi pemasaran yang memberinya. Mereka mempertimbangkan ongkos yang dikeluarkan dengan kesesuaian terhadap citra yang dibangun, efek-efek pengganda atau penguat yang terasosiasi dengan (produk, layanan) dirinya, hingga peluang memelihara bahkan memperkuat loyalitas konsumen. Sponsorship itu sesungguhnya istilah lain dari saling menumpang ketenaran. Sponsor ikut keren jika panggung pementasan beken. Jadi urusan biaya per kepala yang harus dikeluarkan sangat penting. Jika gedung pertunjukan yang berkapasitas 500 hanya terisi 200 penonton, lalu berapa nilai yang rela dibayarkan sponsornya? Apalagi dengan publikasi yang minim dan kecilnya minat media main stream mewartakan.

Sebetulnya 200 penonton untuk tiap pertunjukan mungkin masih bisa disiasati. Asalkan acara demi acara selalu digelar secara rutin dan berkala. Persoalannya program-program yang ada bermunculan secara acak dan jarang. Dan semua itu akibat ketiadaan inisiatif untuk mengelolanya.

Mungkin itulah sebabnya, pasar sponsorship yang cukup sering mendukung panggung seni pertunjukan di Jakarta atau bahkan di Indonesia hari ini adalah para produsen rokok. Itupun karena disana mereka masih cukup longgar bergerak. Di ruang-ruang lain, televisi ataupun papan reklame, kehadiran mereka telah dipersulit. Bahkan diharamkan.

Donatur?

Tak ada makan siang gratis, bung! Sesekali memang selalu ada pihak-pihak yang seperti ‘kurang waras’ mau membantu pendanaan perhelatan kesenian. Mungkin karena donatur itu tiba-tiba mendapat ‘pencerahan’ yang entah apa dan darimana. Bisa juga karena ada ‘mau’-nya kepada tokoh berpengaruh di balik pementasan itu. Memang ada juga yang ikhlas dan Lillahi Taala karena minatnya memang bersesuaian. Tapi berapa banyak?

Donatur membutuhkan kedekatan personal. Tak mungkin sekonyong-konyong. Sementara, ruang yang merekatkan 2 kutub kesibukan yang sangat berbeda itu hampir tak ada. Kapan dan dimana kalangan donatur yang umumnya pemilik ataupun pengurus teras perusahaan-perusahaan besar itu bertegur-sapa sambil berakrab-ria dengan para seniman yang gaya hidupnya sering berkebalikan dengan mereka? Seandainyapun ada, mungkin pada ruang-ruang yang sempit dan langka. Pengajian dan komunitas gereja, misalnya. Atau partai politik dan sayap-sayap organisasinya?

Jadi saya mengerti bahwa kehidupan gedung-gedung seni pertunjukan yang berserak mulai dari Taman Ismail Marzuki hingga Salihara sekarang ini akan sumringah dan gegap gempita jika ada yang berani bertanggung-jawab terhadap perencanaan dan pengelolaan program-programnya. Bukankah tak ada gunanya direncanakan jika tak ada dana untuk merealisasikannya? Apa yang perlu dikelola jika program tak bergulir karena dana tak tersedia?

***

Ketika diminta hadir dan memimpinnya antara tahun 2001-2002 lalu, segera saya pahami jika listrik yang menerangi gedung-gedung dan kawasan itu harus dibayar setiap bulan. Juga ongkos oplet, makan siang, rokok dan bekal yang harus dibawa pulang setiap pekerja untuk menghidupi keluarga di rumah. Tapi anggaran yang dialokasikan pemerintah DKI Jakarta begitu minim sehingga tak cukup untuk menopang biaya rutin yang diperlukan. Saya memaklumi jika sebelum hadir di sana aktifitas melacurkan taman yang sempit itu merupakan hal yang lumrah. Semua dilakukan hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok bertahan hidup. Bukan menjalankan fungsi kesenian yang diamanatkan.

Maka biasalah perhelatan wisuda sampai kontes binaraga. Warung-warung bermunculan tanpa kejelasan soal hak dan tanggung-jawab. Ia menjadi kumuh.

Ketika itu, Taman Ismail Marzuki memang semakin tak mampu mendukung dan mewujudkan gagasan-gagasan yang berkembang di kalangan komunitas senimannya. Tak ada dana, juga tak cukup tersedia dukungan dari luar untuk itu.

Tapi taman itu juga tak mampu menjajakan gagasan yang memancing keingintahuan, kekaguman, juga penghargaan pihak di luar sana terhadap dirinya. Terhadap hal-hal yang akan digelarnya. Waktu itu Dewan Kesenian Jakarta yang sesungguhnya memiliki otoritas terhadap semua perhelatan di sana sedang resah. Sesungguhnya mereka telah demisioner karena waktu tugas yang disampaikan ketika diangkat sebelumnya telah lama terlampaui.

Seniman-seniman terpilih yang duduk di dewan itu bukan berasal dari kumpulan yang terbuang, tapi orang-orang yang bebas merdeka, yang tak terpasung norma dan batasan biasa ketika hendak mengumbar gagasan. Wajarlah jika mereka kecewa ketika usul-usulnya sering tak bersambut dengan alokasi anggaran yang dikucurkan. Apalagi pemerintah yang menaunginya tak sungguh-sungguh menggali wawasan dan pemikiran mereka untuk menghidupkan fungsi taman itu.

Lalu kami berembug dan melahirkan inisiatif. Mungkin untuk pertama kali. Taman Ismail Marzuki mencanangkan program tahunan yang akan digelar dengan biaya bukan dari anggaran pemerintah. Kami hanya ingin menyuarakan bahwa taman itu masih ada dan perlu. Sekaligus menguji hipotesa tentang bagaimana yang seharusnya.

Pertama kami menggelar acara bertajuk “Tribute to Ismail Marzuki”. Bekerja sama dengan Asosiasi Komposer Indonesia yang dipimpin Otto Sidharta dan Tony Prabowo, kami mengajak sejumlah komponis menulis ulang karya-karya almarhum Ismail Marzuki. Lalu dipagelarkan oleh Twilite Orchestra yang dipimpin Addie MS bersama Ananda Sukarlan, pianis Indonesia yang lama hijrah ke Spanyol. Ketika itu Indra Lesmana dan Aksan Sjuman, Dian HP, Job Rusli, Joko Lemez Suprayitno, dan Budi Ngurah turut ambil bagian.

Kemudian “Menarilah Indonesiaku”, program sepanjang tahun yang direncanakan menggelar karya- karya koreografer Indonesia yang justru tak pernah dipentaskan di tanah airnya sendiri. Program perdana menghadirkan Boi G. Sakti yang menggelar 10 karyanya selama 4 hari berturut-turut. Setiap tarian hanya digelar sekali dan setiap hari mereka menampilkan karya yang berbeda. Penampilan maestro-maestro lain seperti Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, Wiwiek Sipala, Tom Ibnur dan lain-lain sebetulnya sudah dicanangkan. Tapi setelah saya pamit mengundurkan diri dari Pusat Kesenian Jakarta itu, hanya pementasan Sardono W. Kusumo bersama rekan-rekannya yang sempat saya dukung pagelarannya di Gedung Kesenian Jakarta.

Kedua program itu menggugah kembali semangat tokoh-tokoh yang bernaung di bawah Yayasan Kesenian Jakarta. Walau situasi jelas berbeda dengan era kekuasaan Orde Baru sebelumnya, mereka tetap bahu-membahu bersama kami menggalang seluruh kebutuhan dana kedua program tersebut. Bahkan, melalui sebuah penggalangan dana di salah satu kediaman pengurus yayasan itu (Miranda S. Gultom), Taman Ismail Marzuki mendapat hibah untuk membeli sebuah concert grand piano merk Steinway untuk menggantikan piano lama yang karena dimakan usia salah satu pedalnya putus saat digunakan pada kompetisi “Cipta Award” (Melongok Steinway di Indonesia.)

 

Saya prihatin.

Di taman itu, hari ini, kembali berlangsung pertengkaran lama yang semua berujung pada dana. Sistem birokrasi yang kaku berhadap-hadapan dengan manusia-manusia bebas yang merasa terkungkung (Ahok Dianggap Lecehkan Seniman).

Ada dasar hukum berupa peraturan Menteri Dalam Negeri - supervisor Kepala Daerah DKI Jakarta yang menjadi pemilik taman itu - yang harus dipatuhi. Diantaranya, soal subsidi yang dibatasi hanya boleh diberikan selama 3 tahun berturut-turut. Maksudnya tentu berkait dengan alokasi dana yang diserahkan kepada taman itu. Maka agar anggaran bisa disisihkan dan tetap mengucur, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok menjadikannya sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT). Ia berdalih, jika para seniman yang ber-‘mukim’ di sana mampu mendanainya sendiri maka UPT itu tak diperlukan. Taman Ismail Marzuki akan diserahkannya bulat-bulat. Asalkan tak ada lagi anggaran yang akan dihibahkan ke sana.

Lalu sekelompok pelaku dan penggiat seni meradang menolaknya. Mereka keberatan karena setelah menjadi UPT maka Taman Ismail Marzuki akan dipimpin dan dikelola abdi negara, para pegawai negeri yang berasal dari lingkungan kantor pemerintah daerah. Merekapun curiga aktivitas kesenian akan diawasi dan dikenai pajak. Juga tak menerima aturan jam kerja pagi hingga sore hari seperti yang lazim berlaku di kantor pemerintahan.

Pertengkaran itu seperti salah satu jawaban soal pilihan berganda terhadap 2 pernyataan: (pernyataan yang pertama) benar dan (pernyataan kedua agak) benar (tapi kedua pernyataan itu sangat) tak berhubungan, bukan?

Ahok benar karena memang harus mematuhi peraturan yang ada jika tak ingin berurusan dengan hukum. Gubernur visioner yang langkah-langkahnya selalu memihak masyarakat meski kadang menuai kontroversi itu memang perlu berhati-hati. Mungkin tak banyak yang tahu jika kedudukannya, meski dipilih langsung oleh rakyat DKI Jakarta, bisa terancam seandainya tak mematuhi kebijakan dan aturan yang ditetapkan pemerintah pusat. Undang-undang No. 23 Tahun 2014 yang diluncurkan di penghujung masa kekuasaan Soesilo Bambang Yudhoyono dan Boediono kemarin telah begitu rinci mengaturnya. Tentu ia tak perlu konyol menentang hukum yang jelas-jelas mengancam sementara masih banyak hal lain di ibukota Republik Indonesia itu yang perlu ia lakukan.

Para seniman memang benar. Jam kerja kantoran yang biasa berlaku tak lazim diterapkan dalam aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Perhelatan kegiatan memang acap berlangsung setelahnya: sore hingga malam hari. Sabtu dan Minggu yang bagi kebanyakan orang adalah waktu istirahat setelah bekerja penuh mulai Senin hingga Jumat, justru sering terpilih sebagai saat yang cocok untuk menggelar karya-karyanya. Tapi tentu saja para pegawai yang ditempatkan pada UPT Taman Ismail Marzuki tidak akan serta-merta menafikan semua kebiasaan itu. Jika memang harus melayani diluar jam kerja biasa - seperti yang juga dilakukan petugas yang melayani Trans Jakarta misalnya - pastilah mereka menerimanya sebagai bagian dari tugas dan tanggung-jawab yang diberikan.

Memang benar pegawai negeri ex-kantor Pemda DKI yang ditunjuk sebagai pemimpin UPT Taman Ismail Marzuki (mungkin) bukan dari kalangan seniman. Lebih tepatnya dari kalangan birokrat yang (mungkin) tak pernah bersangkut-paut dengan dunia seni. Tapi mensyaratkan pemimpinnya harus berlatar belakang seniman adalah berlebihan. Bahkan suatu kesalahan yang fatal.

Citra birokrat di republik ini, sejak dahulu kala, memang buruk. Korupsi, kolusi, dan nepotisme mendarah daging menjadi budaya mereka. Sampai sekarangpun anggapan itu masih tak banyak bergeser. Beberapa perubahan memang sedang berlangsung dengan susah-payah. Segelintir sosok yang bertekad melakukannya kerap mendapat tantangan yang dibuat-buat dan hambatan yang sengaja diciptakan. Dan Ahok adalah salah seorang sosok itu.

Hal yang menjadi soal bukan muasal pemimpin dan pegawai UPT yang dari kalangan birokrat. Tapi lebih pada kapasitas kepemimpinan (leadership capacity) dan kemampuan manajerial (management capability) yang harus extra super. Mengurus Taman Ismail Marzuki itu seperti mengelola hujan. Airnya tak hanya turun di taman itu tapi juga di wilayah sekitarnya. Mengalirkan semua yang diluar ke dalam taman akan menyebabkan banjir. Menyalurkan semua yang di dalam keluar juga tak mungkin sebab permukaannya yang (hampir) sama tinggi. Mereka sangat cair, selalu diperlukan, dan hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah. Atau membusuk bersama sampah-sampah yang digenanginya jika tak tersalurkan.

Taman itu sesungguhnya bukan milik seniman semata. Tapi juga seluruh masyarakat Jakarta, bahkan Indonesia. Entah apa penyebab timbulnya kecurigaan bahwa kegiatan mereka di sana akan diawasi setelah UPT hadir. Sebagai ruang publik maka sebuah ketertiban adalah keniscayaan. Bahwa ketertiban yang dimaksud untuk Taman Ismail Marzuki tak persis sama dengan ruang publik lain, tentu saja dimungkinkan. Semua bisa dikompromikan. Jika karena sifat, prilaku, dan kebiasaan beberapa seniman yang membutuhkan ruang yang nyaman dan tenang agar dapat melakukan kontemplasi yang khusuk, tentulah wajar untuk menyepakati suara mesin bajaj yang memekakkan telinga itu tak bergaung di tengah-tengahnya.

Seniman dikenakan pajak? Tentu saja! Selama masih mengakui dirinya warga negara Indonesia maka semua hak dan kewajiban harus diberlakukan sama. Republik ini tidak mengutip pajak dari yang miskin. Justru pajak itulah yang digunakan untuk mengentas kemiskinan. Bahwa aturan dan ketentuan perpajakan yang ada sekarang centang-prenang jauh dari sempurna, tidak berkembang sejalan dengan perubahan cepat yang terjadi, tumpang-tindih tak beraturan, bahkan tidak mencerminkan azas keadilan dan pemerataan, tentunya masalah yang lain lagi.

Saya prihatin karena mereka masih mempertengkarkan yang tak perlu. Sebab persoalan hasrat, gagasan, dan fasilitas kesenian yang ada di Jakarta - sebagaimana pula di seluruh Indonesia - adalah pada pengelolaan dan pengadaan programnya.

Kesenian dan kegiatan budaya merupakan sebuah keniscayaan. Sesuatu yang harus dan perlu ada. Bukan karena alasan komersial yang menguntungkan. Seperti sholat dan berdoa di masjid, misa di gereja, dan menyembah sang Hyang di kuil-kuil.

 

Saya bertanya.

Apakah kita sependapat bahwa berkesenian dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan budaya itu adalah suatu hal yang perlu dan harus ada?

Jika tidak maka tak perlu lagi wacana itu dibicarakan. Tutup saja bukunya dan cukup sampai disini!

Seyogyanya kita mengerti dan sekaligus menyetujui bahwa kehidupan berkesenian itu harus menjadi bagian dari tekad pengembangan maupun pembangunan setiap pemimpin masyarakat. Jika tak demikian maka berkesenian dan melakukan kegiatan-kegiatan budaya hanya sekedar melengkapi kewajiban tanpa memperoleh makna dan faedah.

Berkesenian itu bukan pesta, bukan perayaan, dan juga bukan hiburan. Gagasan dan rancangan kerjanya harus dipisahkan. Walaupun karena satu dan lain hal berkesenian mungkin saja pernah - maupun akan - bersinggungan dengan semua itu.

Lalu pertanyaan berikutnya adalah, bersediakah kita mengakui keniscayaannya tanpa terjerat hitungan untung dan rugi? Sebab yang bertanggung jawab - meskipun ia bukan seniman dan tak sediikitpun mempunyai selera seni - harus bersedia mendengarkan, mempertimbangkan, mengarahkan, dan memudahkan program-program kesenian itu dikembangkan. Artinya, bukan hanya anggaran operasional dan pemeliharaan gedung yang harus disediakan, tapi juga biaya-biaya yang menghidupkan kesenian itu sendiri sehingga para seniman dapat berkarya dan terus mengembangkan gagasan-gagasannya.

Dewan Kesenian Jakarta memang harus dan perlu. Sejak awal ia dirancang untuk memberi masukan dan pertimbangan kepada Gubernur tentang seni dan kesenian di seluruh jagad Jakarta. Dan percayalah, jika posisi ideal mereka sungguh-sungguh difungsikan, sesungguhnya Jakarta bukan hanya menjadi kota kesenian terdepan, tapi juga ibukota republik yang paling manusiawi dan egaliter.

Tapi mungkin sekarang sudah tiba saatnya meninjau ulang kedudukan Dewan Kesenian itu. Jika dewan itu memang diharapkan mewakili kepentingan seluruh masyarakat (seni) di Jakarta, bukankah hal itu berarti ia merupakan perpanjangan tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang diberi mandat khusus di bidang kesenian? Layaknya berbagai komisi khusus yang dibentuk paska reformasi 1998: Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Kepolisian, dan seterusnya.

Ia mitra kerja kepala daerah. Lembaga yang memberi masukan dan arahan tentang berkesenian di Jakarta. Mendaya-gunakan seluruh asset-asset yang telah tersedia. Menggagas fasilitas lain yang diperlukan. Melayani dan mengembangkan minat seluruh masyarakat tentang kesenian dan kebudayaan.

Hal yang perlu tak cukup hanya sampai pada peninjauan ulang kedudukan Dewan Kesenian Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta perlu dan harus mempertimbangkan hadirnya lembaga pelayanan publik - mungkin Unit Pelaksana Teknis lainnya - yang khusus mengelola dan mengembangkan program- program kesenian dan kebudayaan di ibukota sehingga bisa mengorkestrasi pendaya-gunaan semua sumber daya yang ada : pemikirannya, manusianya, dan fasilitasnya. Jika demikian maka visi dan misi Dewan Kesenian Jakarta untuk menjadikan Jakarta sebagai kota seni terdepan bukan hanya sekedar isapan jempol yang muluk-muluk (Visi & Misi Dewan Kesenian Jakarta).

Masih banyak lagi yang perlu dilakukan. Bukan hanya oleh Jakarta tapi juga di seluruh kantong pemukiman yang tersebar di Indonesia Raya. Diantaranya adalah tentang kebijakan yang memungkinkan sumber pendanaan berkembang dinamis. Hal yang mewujudkan kemitraan pemerintah dan swasta sungguh-sungguh berlangsung. Charitable Tax Deduction policy, adalah salah satu unsurnya.

Dan masih banyak lagi.

Gejolak peralihan Taman Ismail Marzuki menjadi salah satu Unit Pelaksana Teknis Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta kiranya menjadi titik awal sebuah proses reformasi menyeluruh terhadap dunia kesenian di republik kita ini. Duduklah bersama dan bicarakanlah!

- Jilal Mardhani - 

 

Catatan :

Pemimpin Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki :

  1. Surihandono SH, General Manager, 1969 - 1973

  2. Drs. Hazil Tanzil, General Manager, 1973 - 1982

  3. Drs. Soepomo, General Manager / Kepala Bagian Pengelola, 1982 - 1990

  4. Drs. Bur Rasuanto, Direktur, 1990 - 1991

  5. Taufiq Ismail, Ketua Pelaksana Harian (Care Taker), Mei - Agustus 1991

  6. Drs. Pramana Padmodarmaya, Direktur Pelaksana, 1991 - 1998

  7. Ir. Wisnu Murtiardjo, Direktur Pelaksana, 1998 - 2001

  8. Jilal Mardhani, Executive Director, 2001 -2002

  9. Musani Asbi SE, MBA, Koordinator Management, 2002 - 2005

  10. Drs. Teguh Widodo, Kepala Badan Pengelola, 2005 - 2011

  11. Drs. Bambang Subekti MM, Kepala Badan Pengelola, 2012 - sekarang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun