Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Taman Ismail Marzuki: Reformasi Baru Saja Dimulai

20 November 2015   09:01 Diperbarui: 20 November 2015   11:23 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Taman Ismail Marzuki hanya fasilitas. Panggung dan etalase. Ketika saya masih di sana, ada Graha Bhakti Budaya. Gedung untuk mementaskan pertunjukan dengan kapasitas sekitar 800 penonton. Juga 2 buah galeri, besar dan kecil.

Taman itu kini dilengkapi dengan gedung megah - disebut sebagai Teater Jakarta - yang menaungi Teater Kecil dengan kapasitas 200-300 penonton dan Teater Besar yang mampu menampung hingga 1.240 penonton. Jauh sebelumnya, di atas lahan tempat gedung itu berdiri, disana pernah ada Teater Arena, Teater Tertutup, Teater Terbuka, Sanggar Tari, dan Wisma Seni.

Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki melengkapi kemewahan dunia seni pertunjukan ibukota Republik Indonesia. Fasilitas lain yang dikuasai pemerintah adalah Gedung Kesenian Jakarta yang berkapasitas sekitar 500 tempat duduk. Belum lagi yang dimiliki dan dikelola swasta seperti Salihara, Bentara Budaya, Usmar Ismail Hall, dan Aulia Simfonia Jakarta. Bahkan lembaga-lembaga asing seperti Erasmus Huis dan Goethe Institut.

Menilik semua itu, sesungguhnya Jakarta boleh dikatakan tak mempunyai masalah lagi dalam urusan gedung pertunjukan dan fasilitasnya. Sementara ini malah lebih dari cukup. Persoalan justru pada program acara yang mengisinya.

Inisiatif menggelar pertunjukan di gedung-gedung itu, terutama yang dimiliki dan dikuasai pemerintah, hampir sepenuhnya berada di tangan para pengisi-pengisi acara. Jika mereka - para seniman maupun inisiator pementasan seni - sedang tak punya selera ataupun gagasan maka tak akan ada program. Seandainya pun mereka berselera dan punya gagasan, tetap saja belum ada kepastian mewujudkannya menjadi acara yang dipertunjukkan di sana. Sebab hambatan laten berikutnya adalah dana. Mereka harus memastikan siapa yang dapat menutup modal dan seluruh pengeluaran yang diperlukan untuk menjamin acara terselenggara : kantong sendiri, donatur, sponsor, dan atau hasil penjualan karcis.

Penjualan karcis?

Sebaiknya jangan berharap banyak. Menyaksikan pementasan seni kontemporer - sebagian masyarakat awam kadang menjulukinya sebagai karya ‘gila’ atau pertunjukan yang hanya dimengerti ‘seniman’, Tuhan, dan setan - bukanlah minat umum. Berbeda dengan pagelaran-pagelaran populer yang telah dikenal luas dan ramai penggemar. Entah karyanya ataupun artisnya. Pertunjukan- pertujukan yang semestinya lazim di gedung-gedung seperti Teater Jakarta, Graha Bhakti Budaya, Gedung Kesenian Jakarta, Teater Salihara, dan lain-lain itu melirik pengunjung yang memiliki keingin- tahuan dan minat yang tinggi. Bukan mereka yang sekedar berkemampuan finansial merogoh kantong untuk membeli tiket yang dibandrol. Ia seperti olahraga jogging. Gembel yang tinggal di kolong jembatan dan milyarder yang hidup di griya tawang (penthouse) sama-sama bisa melakoni dan menikmatinya jika berminat. Berbeda dengan golf ataupun fitness. Semakin mewah akan semakin mahal dan semakin banyak yang ingin mendapat kesempatan mencicipi. Asalkan uang di saku cukup untuk membayarnya.

Sponsor?

Mengharapkan sponsor berbondong-bondong mendukung pertunjukan seni di panggung gedung- gedung yang disebutkan di atas tadi sesungguhnya sama persis dengan godot yang merindukan bulan. Sponsorship mempunyai kaitan erat dengan strategi komunikasi pemasaran yang memberinya. Mereka mempertimbangkan ongkos yang dikeluarkan dengan kesesuaian terhadap citra yang dibangun, efek-efek pengganda atau penguat yang terasosiasi dengan (produk, layanan) dirinya, hingga peluang memelihara bahkan memperkuat loyalitas konsumen. Sponsorship itu sesungguhnya istilah lain dari saling menumpang ketenaran. Sponsor ikut keren jika panggung pementasan beken. Jadi urusan biaya per kepala yang harus dikeluarkan sangat penting. Jika gedung pertunjukan yang berkapasitas 500 hanya terisi 200 penonton, lalu berapa nilai yang rela dibayarkan sponsornya? Apalagi dengan publikasi yang minim dan kecilnya minat media main stream mewartakan.

Sebetulnya 200 penonton untuk tiap pertunjukan mungkin masih bisa disiasati. Asalkan acara demi acara selalu digelar secara rutin dan berkala. Persoalannya program-program yang ada bermunculan secara acak dan jarang. Dan semua itu akibat ketiadaan inisiatif untuk mengelolanya.

Mungkin itulah sebabnya, pasar sponsorship yang cukup sering mendukung panggung seni pertunjukan di Jakarta atau bahkan di Indonesia hari ini adalah para produsen rokok. Itupun karena disana mereka masih cukup longgar bergerak. Di ruang-ruang lain, televisi ataupun papan reklame, kehadiran mereka telah dipersulit. Bahkan diharamkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun