Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Taman Ismail Marzuki: Reformasi Baru Saja Dimulai

20 November 2015   09:01 Diperbarui: 20 November 2015   11:23 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memang benar pegawai negeri ex-kantor Pemda DKI yang ditunjuk sebagai pemimpin UPT Taman Ismail Marzuki (mungkin) bukan dari kalangan seniman. Lebih tepatnya dari kalangan birokrat yang (mungkin) tak pernah bersangkut-paut dengan dunia seni. Tapi mensyaratkan pemimpinnya harus berlatar belakang seniman adalah berlebihan. Bahkan suatu kesalahan yang fatal.

Citra birokrat di republik ini, sejak dahulu kala, memang buruk. Korupsi, kolusi, dan nepotisme mendarah daging menjadi budaya mereka. Sampai sekarangpun anggapan itu masih tak banyak bergeser. Beberapa perubahan memang sedang berlangsung dengan susah-payah. Segelintir sosok yang bertekad melakukannya kerap mendapat tantangan yang dibuat-buat dan hambatan yang sengaja diciptakan. Dan Ahok adalah salah seorang sosok itu.

Hal yang menjadi soal bukan muasal pemimpin dan pegawai UPT yang dari kalangan birokrat. Tapi lebih pada kapasitas kepemimpinan (leadership capacity) dan kemampuan manajerial (management capability) yang harus extra super. Mengurus Taman Ismail Marzuki itu seperti mengelola hujan. Airnya tak hanya turun di taman itu tapi juga di wilayah sekitarnya. Mengalirkan semua yang diluar ke dalam taman akan menyebabkan banjir. Menyalurkan semua yang di dalam keluar juga tak mungkin sebab permukaannya yang (hampir) sama tinggi. Mereka sangat cair, selalu diperlukan, dan hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah. Atau membusuk bersama sampah-sampah yang digenanginya jika tak tersalurkan.

Taman itu sesungguhnya bukan milik seniman semata. Tapi juga seluruh masyarakat Jakarta, bahkan Indonesia. Entah apa penyebab timbulnya kecurigaan bahwa kegiatan mereka di sana akan diawasi setelah UPT hadir. Sebagai ruang publik maka sebuah ketertiban adalah keniscayaan. Bahwa ketertiban yang dimaksud untuk Taman Ismail Marzuki tak persis sama dengan ruang publik lain, tentu saja dimungkinkan. Semua bisa dikompromikan. Jika karena sifat, prilaku, dan kebiasaan beberapa seniman yang membutuhkan ruang yang nyaman dan tenang agar dapat melakukan kontemplasi yang khusuk, tentulah wajar untuk menyepakati suara mesin bajaj yang memekakkan telinga itu tak bergaung di tengah-tengahnya.

Seniman dikenakan pajak? Tentu saja! Selama masih mengakui dirinya warga negara Indonesia maka semua hak dan kewajiban harus diberlakukan sama. Republik ini tidak mengutip pajak dari yang miskin. Justru pajak itulah yang digunakan untuk mengentas kemiskinan. Bahwa aturan dan ketentuan perpajakan yang ada sekarang centang-prenang jauh dari sempurna, tidak berkembang sejalan dengan perubahan cepat yang terjadi, tumpang-tindih tak beraturan, bahkan tidak mencerminkan azas keadilan dan pemerataan, tentunya masalah yang lain lagi.

Saya prihatin karena mereka masih mempertengkarkan yang tak perlu. Sebab persoalan hasrat, gagasan, dan fasilitas kesenian yang ada di Jakarta - sebagaimana pula di seluruh Indonesia - adalah pada pengelolaan dan pengadaan programnya.

Kesenian dan kegiatan budaya merupakan sebuah keniscayaan. Sesuatu yang harus dan perlu ada. Bukan karena alasan komersial yang menguntungkan. Seperti sholat dan berdoa di masjid, misa di gereja, dan menyembah sang Hyang di kuil-kuil.

 

Saya bertanya.

Apakah kita sependapat bahwa berkesenian dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan budaya itu adalah suatu hal yang perlu dan harus ada?

Jika tidak maka tak perlu lagi wacana itu dibicarakan. Tutup saja bukunya dan cukup sampai disini!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun