Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Taman Ismail Marzuki: Reformasi Baru Saja Dimulai

20 November 2015   09:01 Diperbarui: 20 November 2015   11:23 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Donatur?

Tak ada makan siang gratis, bung! Sesekali memang selalu ada pihak-pihak yang seperti ‘kurang waras’ mau membantu pendanaan perhelatan kesenian. Mungkin karena donatur itu tiba-tiba mendapat ‘pencerahan’ yang entah apa dan darimana. Bisa juga karena ada ‘mau’-nya kepada tokoh berpengaruh di balik pementasan itu. Memang ada juga yang ikhlas dan Lillahi Taala karena minatnya memang bersesuaian. Tapi berapa banyak?

Donatur membutuhkan kedekatan personal. Tak mungkin sekonyong-konyong. Sementara, ruang yang merekatkan 2 kutub kesibukan yang sangat berbeda itu hampir tak ada. Kapan dan dimana kalangan donatur yang umumnya pemilik ataupun pengurus teras perusahaan-perusahaan besar itu bertegur-sapa sambil berakrab-ria dengan para seniman yang gaya hidupnya sering berkebalikan dengan mereka? Seandainyapun ada, mungkin pada ruang-ruang yang sempit dan langka. Pengajian dan komunitas gereja, misalnya. Atau partai politik dan sayap-sayap organisasinya?

Jadi saya mengerti bahwa kehidupan gedung-gedung seni pertunjukan yang berserak mulai dari Taman Ismail Marzuki hingga Salihara sekarang ini akan sumringah dan gegap gempita jika ada yang berani bertanggung-jawab terhadap perencanaan dan pengelolaan program-programnya. Bukankah tak ada gunanya direncanakan jika tak ada dana untuk merealisasikannya? Apa yang perlu dikelola jika program tak bergulir karena dana tak tersedia?

***

Ketika diminta hadir dan memimpinnya antara tahun 2001-2002 lalu, segera saya pahami jika listrik yang menerangi gedung-gedung dan kawasan itu harus dibayar setiap bulan. Juga ongkos oplet, makan siang, rokok dan bekal yang harus dibawa pulang setiap pekerja untuk menghidupi keluarga di rumah. Tapi anggaran yang dialokasikan pemerintah DKI Jakarta begitu minim sehingga tak cukup untuk menopang biaya rutin yang diperlukan. Saya memaklumi jika sebelum hadir di sana aktifitas melacurkan taman yang sempit itu merupakan hal yang lumrah. Semua dilakukan hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok bertahan hidup. Bukan menjalankan fungsi kesenian yang diamanatkan.

Maka biasalah perhelatan wisuda sampai kontes binaraga. Warung-warung bermunculan tanpa kejelasan soal hak dan tanggung-jawab. Ia menjadi kumuh.

Ketika itu, Taman Ismail Marzuki memang semakin tak mampu mendukung dan mewujudkan gagasan-gagasan yang berkembang di kalangan komunitas senimannya. Tak ada dana, juga tak cukup tersedia dukungan dari luar untuk itu.

Tapi taman itu juga tak mampu menjajakan gagasan yang memancing keingintahuan, kekaguman, juga penghargaan pihak di luar sana terhadap dirinya. Terhadap hal-hal yang akan digelarnya. Waktu itu Dewan Kesenian Jakarta yang sesungguhnya memiliki otoritas terhadap semua perhelatan di sana sedang resah. Sesungguhnya mereka telah demisioner karena waktu tugas yang disampaikan ketika diangkat sebelumnya telah lama terlampaui.

Seniman-seniman terpilih yang duduk di dewan itu bukan berasal dari kumpulan yang terbuang, tapi orang-orang yang bebas merdeka, yang tak terpasung norma dan batasan biasa ketika hendak mengumbar gagasan. Wajarlah jika mereka kecewa ketika usul-usulnya sering tak bersambut dengan alokasi anggaran yang dikucurkan. Apalagi pemerintah yang menaunginya tak sungguh-sungguh menggali wawasan dan pemikiran mereka untuk menghidupkan fungsi taman itu.

Lalu kami berembug dan melahirkan inisiatif. Mungkin untuk pertama kali. Taman Ismail Marzuki mencanangkan program tahunan yang akan digelar dengan biaya bukan dari anggaran pemerintah. Kami hanya ingin menyuarakan bahwa taman itu masih ada dan perlu. Sekaligus menguji hipotesa tentang bagaimana yang seharusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun