Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Naftali [4]

5 Oktober 2022   05:58 Diperbarui: 5 Oktober 2022   06:02 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

*

Check-in. Aku membatalkan satu kamar. Seorang roomboy dengan wajah Jawa yang tirus, kulit cokelat gelap, rambut ikal, dengan bahasa tubuh luwes penuh sungkan, mengantar kami ke kamar. Seragam merah hatinya tampak kedodoran, gerakannya lambat, membuatnya tampak sedih dan kurang makan. Aku mengucapkan terima kasih sembari melesakkan selembar dua puluh ribuan ke tangannya.  

Thiru menggesek kartu pass pintu, lampu hijau menyala,  dan ia mendorong pintu. Ia membiarkanku masuk lebih dulu, sebelum menutup pintu. Ia berjalan ke meja kopi, menurunkan ransel, lalu berkata, come. Ia memelukku sekilas berbisik, maaf saya bikin kamu menangis di pesawat. Aku tersenyum dalam pelukannya, menjawab, tidak apa-apa. 

Thiru membuka jaket kulitnya yang old-fashion betul, berkata, saya mandi duluan. Aku melirik jam. Pukul 22.30. Mataku mencari remote control lalu menjatuhkan diri ke sofa dan menghidupkan televisi. Discovery Channel. Hokkaido, Garden of the Gods. Burung bangau Jepang menampilkan tarian perkenalan di salju. 

Kupencet channel lain. HBO. The End of the Affair. Film yang diangkat dari novel Graham Greene dengan judul sama. Ralph Fiennes sedang bergumul dengan Julianne Moore. Klik lagi. Metro TV. Tiga orang berdiskusi dipandu pembawa acara. 

Masalah yang didiskusikan penting, tetapi aku berani bertaruh, mereka hanyalah sejenis orang yang senang berunding tetapi tak pernah bertindak di lapangan. Bagiku mereka mengocok kotoran di air keruh tanpa henti. Fashion TV. Itu-itu saja. Model berlenggak-lenggok di runway. Aku melihat, tetapi kepalaku mengulang rekaman pembicaraan kami di pesawat. Apa aku ini, batinku.

Kamu mandi, suara Thiru tiba-tiba di udara, membuatku tersadar. Rasanya dia baru saja masuk kamar mandi. Mandi cepat sekali, komentarku. Apa perlunya mandi lama-lama, jawabnya ringan sambil sekali lagi memerintahku  mandi. 

Mendengar caranya memerintah, ingatanku mundur ke segelintir masa di Campuhan, di rumah Niang dan Kakyang. Aku asyik nonton tivi atau melukis meniru Ayah atau kegiatan apa saja yang bikin aku senang. Ayah akan mengingatkanku untuk makan atau mandi atau gosok gigi. 

Biasanya aku akan menawar waktu dengan Ayah. Lima menit lagi, Ayah. Sepuluh menit sudah lewat, tiga puluh menit, sampai Ayah tak mau lagi menyuruhku. Nah, kalau sudah diabaikan seperti itu, barulah aku bangkit dan memeluk leher Ayah, sambil berteriak, aku akan mandi, Ayah sayang. Kalau begitu mandilah, komentar Ayah. 

Ah, waktuku dengan Ayah tak sebanyak waktu yang kalian miliki dengan Mama-Papa kalian. Sejak kecil, aku sering diperebutkan keluarga Ayah atau Ibu, entah untuk maksud apa. Suara-suara mereka di kepalaku sungguh membingungkan. Kadang-kadang aku merasa ingin sendiri saja, merasa aku membuat mereka bertengkar.

Memoriku lemah mengingat momen ini, mungkin karena aku menekannya, ingin membuangnya. Tetapi aku dengan mudah mengingat halaman rumah Niang yang luas dipenuhi pohon-pohon berbunga macam-macam, tempat aku bermain petak-umpet sendirian, merasa aman dari sentuhan-sentuhan orang dewasa yang menatapku dengan belas kasihan dan suara yang dibuat-buat, serampangan menciumi pipiku, padahal aku tak mengenal mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun