Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Naftali [4]

5 Oktober 2022   05:58 Diperbarui: 5 Oktober 2022   06:02 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kala hari-hari hujan, penghasilan mereka lebih sedikit karena tidak bisa menguliti pohon dan menyadap getah. Saya pernah melihat Ayah menangis, mengusap air mata dengan kemejanya, ketika hujan tidak berhenti di Melaka selama tiga hari. Dia hanya punya beberapa koin untuk kami. Kami pergi berjalan kaki, membawa bekal dal yang Ibu buat di dapur.

 Saya dan adik laki-laki saya bersikeras berhenti sekolah, tapi Ayah marah dan sangat marah. Tugas kalian hanya belajar dan ke sekolah, teriaknya. Hidup kalian harus lebih baik dari kami. Harus keluar dari lumpur kemiskinan ini, seru Ayah. Ayah meninggal karena tuberkulosis. Waktu itu kami tak punya uang untuk membawanya ke rumah sakit dan membeli obat. 

Ayah meninggal di usia muda. Empat puluh tiga tahun. Waktu itu saya masih di sekolah dasar desa. Pagi itu Ayah bangun terlambat. Dia tertidur di kursi panjang di ruang tengah rumah kami yang kecil. Saya sangat senang melihatnya terlelap seperti itu. Jadi, saya katakan kepada adik laki-laki saya untuk tidak mengganggunya. 

Saya ke dapur untuk menjerang air, tiba-tiba terdengar Ibu menjerit, keras sekali, begitu kerasnya sampai-sampai saya berpikir langit sedang terbelah dua saat itu. Saya melempar ceret dan berlari melihat apa yang terjadi. Ternyata Ayah tidak tertidur nyenyak seperti yang saya pikir. Dia meninggal."

"Aaah!" seruku panjang.

"Setelah Ayah pergi, saya bertugas menggantikan Ibu memasak di dapur, terutama kalau cuaca bagus. Itu kesempatan terbaik Ibu mengumpulkan getah karet. Ibu tak pernah mengeluh, tapi makin pendiam setelah Ayah meninggal. Malam-malam saya mendengarnya berbicara dengan suara kecil, berdoa di depan meja abu dengan gambar Ayah." 

"Orangtuamu sangat mengesankan."

"Ya. Saya bangga kepada mereka meski mereka miskin. Saya belum sempat bikin Ayah bangga."

"Kapan ibumu meninggal?"

"Waktu saya di Inggris. Satu hari adik perempuan saya menelepon, mengabari Ibu sakit keras. Saya belum pernah menerima telepon seperti itu darinya. Frasa sakit keras itu pertanda dan saya segera paham maksudnya. Kami jarang melebih-lebihkan cerita. Selalu apa adanya. Saya juga tahu Ibu belum pernah sakit keras sebelumnya. Saya beli tiket saat itu juga. Tiba di rumah, Ibu sudah tergolek lemas di tempat tidurnya yang tipis dan keras. 

Ia masih mengenali saya, memeluk dan mencium kening saya, memberkati dan mendoakan hidup saya dan kesehatan saya, mengusap pipi saya dengan tangan kasarnya, seperti tangan saya ini. Saya mencium telapak tangan Ibu, yang sudah menghidupi kami selama waktu-waktu yang keras setelah Ayah tiada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun