Aku memandang Thiru, menjawab, akan berendam.Â
"Okay, do as you wish, Young Lady." Ia mengangkat kedua tangannya, berkata lagi, "Cepatlah! Jangan terlalu lama." Â
Mendengarnya aku termangu sekian detik. Mengatakan sesuatu yang rasanya kekanakan untuk diucapkan di depan seorang yang baru kukenal. Kalimat yang kulayangkan untuk menarik perhatian Ayah. Dan Ayah selalu setuju dengan apa pun yang kuinginkan. Tak pernah menggerendeng. Ayah mengangguk ketika kukatakan ingin membawa bebekku untuk mandi.Â
Jangan terlalu lama, nanti perutnya kembung, goda Ayah. Lalu aku tertawa. Ayah, bebek mana bisa kembung! Masa iya, kata Ayah. Dan kalau aku memandikan si Froggy, Ayah bilang kodok tak boleh sering mandi karena dia akan sakit. Aku berteriak, Ayah, kodok selalu bermain di air. Lalu Ayah tertawa mencemooh diri, pura-pura menjadi orang bodoh.Â
Seperti deja vu. Aku menemukan segala memori masa kecilku yang tak seberapa. Tak sadar aku memeluk pinggang Thiru, merindukan Ayah yang jarang berada dalam jangkauanku. Aku tersentak karena pada detik yang sama ia mengangkat kedua tangannya, memekik dengan suara ngeri, "Kamu belum mandi!" Aku termangu, lagi.
Kami bertatapan sekian detik, sementara batinku menganga, berbicara dalam hati, Ayah tak pernah berteriak dan menolak tanganku yang berlumuran kotoran, meski aku berada di antara lukisan-lukisannya. Mari, cuci dan keringkan tanganmu dulu, Sayang, kata Ayah, pelan dan tak terburu-buru.Â