Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Naftali [4]

5 Oktober 2022   05:58 Diperbarui: 5 Oktober 2022   06:02 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Saya bilang kepada Ibu bahwa ia akan sembuh, akan mendapatkan perawatan terbaik dari rumah sakit. Ibu hanya tersenyum. Kami membawa Ibu ke rumah sakit di Singapura. Tapi rumah sakit tolol itu tidak cepat menangani, tidak percaya penampilan kami, meminta saya membayar semua biaya di muka. 

Saya katakan kami tidak punya jaminan asuransi, tapi saya punya uang yang bisa saya ambil setiap waktu. Mereka tidak percaya. Jadi, saya menghadap direktur rumah sakit, seorang Cina berwajah lembut. Ia memahami kegusaran saya dan ia mempercayai saya. 

Kami berjalan menemui pegawai bodoh di ruang administrasi agar Ibu dapat penanganan segera. Dia juga menegur dokter jaga dan memerintahkannya memberi pertolongan pertama secepat mungkin kepada Ibu. Tapi kami mendapati Ibu sudah meninggal diam-diam tanpa penanganan pertama. Adik saya sedang meratapi Ibu di lorong rumah sakit ketika rumah sakit mulai bergerak ."

"Ah...!" keluhku merasa ngeri, menutup mulut.

"Saya lemas. Direktur rumah sakit itu terkejut. Ruangan hening, hanya terdengar isak tangis adik saya. Lalu direktur itu berteriak dengan suara keras, menyuruh pegawai bersegera membawa Ibu ke ruang gawat darurat. Direktur itu meminta maaf, membungkukkan badannya dalam-dalam, menyesal karena rumah sakit terlambat memberi pertolongan. Dokter jaga mematung dengan wajah pucat.

Direktur itu berkata bahwa rumah sakit akan menanggung semua biaya upacara di rumah duka sampai ke pemakaman atau kremasi atau apa pun yang direncanakan keluarga. Saya tidak terhibur dengan tawaran itu. Kami membawa tubuh Ibu pulang ke Melaka, melakukan kremasi dan mengumpulkan abunya di kuil sembahyang, di samping abu Ayah."

Sunyi di kabin. Lantas terdengar pengumuman di udara bahwa pesawat segera mendarat di Bandara Adi Sucipto. Thiru melonggarkan pelukannya, berkata, pakai ikat selayarmu. 

Seorang berseragam Hotel Hyatt mengangkat papan putih bertuliskan Ms. Moran & Mr. Manogaran sambil memandangi orang-orang yang keluar dari lobi bandara. Ia tersenyum cerah ketika aku menyapa bahwa kamilah orang yang ditunggunya. Dengan sopan pegawai itu menawarkan mengurus travel bag-ku tapi kutolak. Pegawai itu mengangguk, menunjuk dengan jempolnya tempat mobil parkir.  

Kendaraan meluncur tenang dalam gelap. Jalanan sepi, ucap Thiru. Orang Yogya tidur lebih cepat, tukasku sembarangan sambil menguap. Itu karena hujan tidak berhenti turun sepanjang hari ini, jawab sopir, menyambung pembicaraan kami, dalam bahasa Indonesia. 

Setelah itu sopir bertanya kepadaku, sambil terlebih dahulu meminta maaf bila pertanyaannya dianggap kurang sopan, yaitu apakah Mr. Manogaran berasal dari Afrika. Kujawab cepat, dari India. Sopir mengangguk dan berterima kasih, setelah itu ia tidak bertanya lagi.

Thiru mengerti apa yang ditanyakan sopir setelah mendengar kata Afrika dari sopir dan India dariku. Dia mengangkat alis dan bahunya seolah berkata, tak peduli. Rasa sendu dari cerita Thiru, kubawa serta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun