Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Naftali [4]

5 Oktober 2022   05:58 Diperbarui: 5 Oktober 2022   06:02 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Itu hak siapa pun. Kalau kamu punya pohon uang yang tumbuh subur saat musim kering, lakukan apa saja dengan uang itu. Tetapi kamu tahu, uang saya terbatas. Saya tak punya pohon uang. Saya harus waspada, menabung tiap waktu. Banyak orang di tempat saya bekerja tidak menyukai cara saya berbicara, bertindak. 

Termasuk bos saya. Tapi saya tak peduli. Mereka memerlukan saya. Saya harus bersiap setiap saat ditendang ke luar begitu mereka menemukan orang lain. Saya tahu cepat atau lambat itu akan terjadi. Hanya tunggu waktu. Tapi saya tidak bisa mengubah sikap saya pada ketidakadilan.

Saya menghitung tiap ringgit keringat saya, tidak menjilat siapa pun untuk mempertahankan jabatan atau naik gaji. Di perusahaan banyak monkeys ..."

"Apa?" potongku.

"Apa, apa?" Thiru balik bertanya.

"Kata kamu yang terakhir itu?" ulangku.

"Monkeys? Mon-nyet," cara Thiru menekan dua suku kata itu.  "Mon-nyet-mon-nyet itu orang-orang tolol, Sayang.

Mereka menuntut ilmu ke luar negeri, mendapat gelar hebat, bahkan cum laude, tapi kembali ke negeri mereka menjelma mon-nyet-mon-nyet penjilat pantat atasan. Bagaimana tidak? Mereka pikir mereka telah belajar mati-matian di kampus, sekarang saatnya mengeruk keuntungan menjual ijazah. Padahal, ibu saya menasihati, bila saya bersekolah lebih tinggi, itu artinya saya harus lebih berguna dari peran sekarang."

"Ibumu orang baik," kataku.

"Ya, tentu," ujar Thiru sambil menjauhkan tubuhku hingga kami berpandangan. Aku melihat kobar di matanya.

"Ibu saya hebat. Orangtuanya miskin hingga ia tak punya kesempatan bersekolah. Hanya sekolah sampai kelas dua dan mampu membaca sedikit. Tapi dia adalah teladan. Meski miskin tapi Ayah dan Ibu berpikiran modern. Mereka bahu-membahu mengirim kami ke sekolah. Tidak satu pun di antara kami bertiga diizinkan bekerja di perkebunan karet, menjadi kuli sadap getah karet. Hidup mereka di kebun karet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun