Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Naftali [4]

5 Oktober 2022   05:58 Diperbarui: 5 Oktober 2022   06:02 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dua antena di kepalaku berwaspada, berpikir, pilot sudah mengumumkannya di udara, jadi aku tak perlu menanggapi. Aku bahkan tak bergerak. Lalu aku merasakan lenganku disentuhnya, kemudian ia memeluk pergelangan tanganku, pelan. 

"Kamu kesal, ya?" bisiknya.

"Nggak," jawabku cepat. Aku sibuk mengatur dadaku agar tak terpancing emosi sedih.

"Maaf, Sayang. Saya terlalu keras. Saya tahu kamu lakukan ini supaya saya senang. Tetapi saya ingin melakukan segala sesuatu dengan benar."

Tanpa komando setetes air hangat jatuh ke tanganku. Sialan! Aku berusaha menahan, malah turun beramai-ramai seperti sumber air baru diluncurkan di pelupuk mataku, ketika jemarinya menekan dan menarik lenganku dekat ke tubuhnya. 

"Kamu menangis?"

Oh, air mata pilu yang membuatku tersipu. Thiru merengkuhku lembut, berkata maaf sekali lagi. Mulutnya membunyikan desis seperti manusia membujuk anak ayam yang nakal untuk segera masuk kandang. Wajahku banjir. Hidungku mampat oleh mukus. Tanganku bergerak mencari tisu di dalam tas. 

Lalu sambil menekan ujung hidung, kuentakkan isinya dalam sekali dorong sampai kurasa lorong-lorong kosong. Aku bernapas lega, menoleh ke arahnya, tersinggung karena ia sedang memandangku heran, dan ia tahu merayuku untuk berdamai 

"Apa?!" serangku. 

Menangis seperti itu saja menghasilkan ingus begitu banyak, katanya. Dan itu karena kamu, semburku. Wajahnya tertawa dengan suara kekeh, merengkuh pundakku dan bunyi desis itu lagi.      

"Maaf, Darling. Kamu perlu tahu, begitulah saya. Saya bukan orang munafik yang berkata tidak suka, suka, suka, tidak suka. Saya bilang hitam kalau hitam, putih kalau putih. Semuanya jelas. Soal uang, saya tak keberatan kalau kamu atau siapa pun menghambur-hamburkan uang miliknya. 

Itu hak siapa pun. Kalau kamu punya pohon uang yang tumbuh subur saat musim kering, lakukan apa saja dengan uang itu. Tetapi kamu tahu, uang saya terbatas. Saya tak punya pohon uang. Saya harus waspada, menabung tiap waktu. Banyak orang di tempat saya bekerja tidak menyukai cara saya berbicara, bertindak. 

Termasuk bos saya. Tapi saya tak peduli. Mereka memerlukan saya. Saya harus bersiap setiap saat ditendang ke luar begitu mereka menemukan orang lain. Saya tahu cepat atau lambat itu akan terjadi. Hanya tunggu waktu. Tapi saya tidak bisa mengubah sikap saya pada ketidakadilan.

Saya menghitung tiap ringgit keringat saya, tidak menjilat siapa pun untuk mempertahankan jabatan atau naik gaji. Di perusahaan banyak monkeys ..."

"Apa?" potongku.

"Apa, apa?" Thiru balik bertanya.

"Kata kamu yang terakhir itu?" ulangku.

"Monkeys? Mon-nyet," cara Thiru menekan dua suku kata itu.  "Mon-nyet-mon-nyet itu orang-orang tolol, Sayang.

Mereka menuntut ilmu ke luar negeri, mendapat gelar hebat, bahkan cum laude, tapi kembali ke negeri mereka menjelma mon-nyet-mon-nyet penjilat pantat atasan. Bagaimana tidak? Mereka pikir mereka telah belajar mati-matian di kampus, sekarang saatnya mengeruk keuntungan menjual ijazah. Padahal, ibu saya menasihati, bila saya bersekolah lebih tinggi, itu artinya saya harus lebih berguna dari peran sekarang."

"Ibumu orang baik," kataku.

"Ya, tentu," ujar Thiru sambil menjauhkan tubuhku hingga kami berpandangan. Aku melihat kobar di matanya.

"Ibu saya hebat. Orangtuanya miskin hingga ia tak punya kesempatan bersekolah. Hanya sekolah sampai kelas dua dan mampu membaca sedikit. Tapi dia adalah teladan. Meski miskin tapi Ayah dan Ibu berpikiran modern. Mereka bahu-membahu mengirim kami ke sekolah. Tidak satu pun di antara kami bertiga diizinkan bekerja di perkebunan karet, menjadi kuli sadap getah karet. Hidup mereka di kebun karet.

Kala hari-hari hujan, penghasilan mereka lebih sedikit karena tidak bisa menguliti pohon dan menyadap getah. Saya pernah melihat Ayah menangis, mengusap air mata dengan kemejanya, ketika hujan tidak berhenti di Melaka selama tiga hari. Dia hanya punya beberapa koin untuk kami. Kami pergi berjalan kaki, membawa bekal dal yang Ibu buat di dapur.

 Saya dan adik laki-laki saya bersikeras berhenti sekolah, tapi Ayah marah dan sangat marah. Tugas kalian hanya belajar dan ke sekolah, teriaknya. Hidup kalian harus lebih baik dari kami. Harus keluar dari lumpur kemiskinan ini, seru Ayah. Ayah meninggal karena tuberkulosis. Waktu itu kami tak punya uang untuk membawanya ke rumah sakit dan membeli obat. 

Ayah meninggal di usia muda. Empat puluh tiga tahun. Waktu itu saya masih di sekolah dasar desa. Pagi itu Ayah bangun terlambat. Dia tertidur di kursi panjang di ruang tengah rumah kami yang kecil. Saya sangat senang melihatnya terlelap seperti itu. Jadi, saya katakan kepada adik laki-laki saya untuk tidak mengganggunya. 

Saya ke dapur untuk menjerang air, tiba-tiba terdengar Ibu menjerit, keras sekali, begitu kerasnya sampai-sampai saya berpikir langit sedang terbelah dua saat itu. Saya melempar ceret dan berlari melihat apa yang terjadi. Ternyata Ayah tidak tertidur nyenyak seperti yang saya pikir. Dia meninggal."

"Aaah!" seruku panjang.

"Setelah Ayah pergi, saya bertugas menggantikan Ibu memasak di dapur, terutama kalau cuaca bagus. Itu kesempatan terbaik Ibu mengumpulkan getah karet. Ibu tak pernah mengeluh, tapi makin pendiam setelah Ayah meninggal. Malam-malam saya mendengarnya berbicara dengan suara kecil, berdoa di depan meja abu dengan gambar Ayah." 

"Orangtuamu sangat mengesankan."

"Ya. Saya bangga kepada mereka meski mereka miskin. Saya belum sempat bikin Ayah bangga."

"Kapan ibumu meninggal?"

"Waktu saya di Inggris. Satu hari adik perempuan saya menelepon, mengabari Ibu sakit keras. Saya belum pernah menerima telepon seperti itu darinya. Frasa sakit keras itu pertanda dan saya segera paham maksudnya. Kami jarang melebih-lebihkan cerita. Selalu apa adanya. Saya juga tahu Ibu belum pernah sakit keras sebelumnya. Saya beli tiket saat itu juga. Tiba di rumah, Ibu sudah tergolek lemas di tempat tidurnya yang tipis dan keras. 

Ia masih mengenali saya, memeluk dan mencium kening saya, memberkati dan mendoakan hidup saya dan kesehatan saya, mengusap pipi saya dengan tangan kasarnya, seperti tangan saya ini. Saya mencium telapak tangan Ibu, yang sudah menghidupi kami selama waktu-waktu yang keras setelah Ayah tiada. 

Saya bilang kepada Ibu bahwa ia akan sembuh, akan mendapatkan perawatan terbaik dari rumah sakit. Ibu hanya tersenyum. Kami membawa Ibu ke rumah sakit di Singapura. Tapi rumah sakit tolol itu tidak cepat menangani, tidak percaya penampilan kami, meminta saya membayar semua biaya di muka. 

Saya katakan kami tidak punya jaminan asuransi, tapi saya punya uang yang bisa saya ambil setiap waktu. Mereka tidak percaya. Jadi, saya menghadap direktur rumah sakit, seorang Cina berwajah lembut. Ia memahami kegusaran saya dan ia mempercayai saya. 

Kami berjalan menemui pegawai bodoh di ruang administrasi agar Ibu dapat penanganan segera. Dia juga menegur dokter jaga dan memerintahkannya memberi pertolongan pertama secepat mungkin kepada Ibu. Tapi kami mendapati Ibu sudah meninggal diam-diam tanpa penanganan pertama. Adik saya sedang meratapi Ibu di lorong rumah sakit ketika rumah sakit mulai bergerak ."

"Ah...!" keluhku merasa ngeri, menutup mulut.

"Saya lemas. Direktur rumah sakit itu terkejut. Ruangan hening, hanya terdengar isak tangis adik saya. Lalu direktur itu berteriak dengan suara keras, menyuruh pegawai bersegera membawa Ibu ke ruang gawat darurat. Direktur itu meminta maaf, membungkukkan badannya dalam-dalam, menyesal karena rumah sakit terlambat memberi pertolongan. Dokter jaga mematung dengan wajah pucat.

Direktur itu berkata bahwa rumah sakit akan menanggung semua biaya upacara di rumah duka sampai ke pemakaman atau kremasi atau apa pun yang direncanakan keluarga. Saya tidak terhibur dengan tawaran itu. Kami membawa tubuh Ibu pulang ke Melaka, melakukan kremasi dan mengumpulkan abunya di kuil sembahyang, di samping abu Ayah."

Sunyi di kabin. Lantas terdengar pengumuman di udara bahwa pesawat segera mendarat di Bandara Adi Sucipto. Thiru melonggarkan pelukannya, berkata, pakai ikat selayarmu. 

Seorang berseragam Hotel Hyatt mengangkat papan putih bertuliskan Ms. Moran & Mr. Manogaran sambil memandangi orang-orang yang keluar dari lobi bandara. Ia tersenyum cerah ketika aku menyapa bahwa kamilah orang yang ditunggunya. Dengan sopan pegawai itu menawarkan mengurus travel bag-ku tapi kutolak. Pegawai itu mengangguk, menunjuk dengan jempolnya tempat mobil parkir.  

Kendaraan meluncur tenang dalam gelap. Jalanan sepi, ucap Thiru. Orang Yogya tidur lebih cepat, tukasku sembarangan sambil menguap. Itu karena hujan tidak berhenti turun sepanjang hari ini, jawab sopir, menyambung pembicaraan kami, dalam bahasa Indonesia. 

Setelah itu sopir bertanya kepadaku, sambil terlebih dahulu meminta maaf bila pertanyaannya dianggap kurang sopan, yaitu apakah Mr. Manogaran berasal dari Afrika. Kujawab cepat, dari India. Sopir mengangguk dan berterima kasih, setelah itu ia tidak bertanya lagi.

Thiru mengerti apa yang ditanyakan sopir setelah mendengar kata Afrika dari sopir dan India dariku. Dia mengangkat alis dan bahunya seolah berkata, tak peduli. Rasa sendu dari cerita Thiru, kubawa serta. 

*

Check-in. Aku membatalkan satu kamar. Seorang roomboy dengan wajah Jawa yang tirus, kulit cokelat gelap, rambut ikal, dengan bahasa tubuh luwes penuh sungkan, mengantar kami ke kamar. Seragam merah hatinya tampak kedodoran, gerakannya lambat, membuatnya tampak sedih dan kurang makan. Aku mengucapkan terima kasih sembari melesakkan selembar dua puluh ribuan ke tangannya.  

Thiru menggesek kartu pass pintu, lampu hijau menyala,  dan ia mendorong pintu. Ia membiarkanku masuk lebih dulu, sebelum menutup pintu. Ia berjalan ke meja kopi, menurunkan ransel, lalu berkata, come. Ia memelukku sekilas berbisik, maaf saya bikin kamu menangis di pesawat. Aku tersenyum dalam pelukannya, menjawab, tidak apa-apa. 

Thiru membuka jaket kulitnya yang old-fashion betul, berkata, saya mandi duluan. Aku melirik jam. Pukul 22.30. Mataku mencari remote control lalu menjatuhkan diri ke sofa dan menghidupkan televisi. Discovery Channel. Hokkaido, Garden of the Gods. Burung bangau Jepang menampilkan tarian perkenalan di salju. 

Kupencet channel lain. HBO. The End of the Affair. Film yang diangkat dari novel Graham Greene dengan judul sama. Ralph Fiennes sedang bergumul dengan Julianne Moore. Klik lagi. Metro TV. Tiga orang berdiskusi dipandu pembawa acara. 

Masalah yang didiskusikan penting, tetapi aku berani bertaruh, mereka hanyalah sejenis orang yang senang berunding tetapi tak pernah bertindak di lapangan. Bagiku mereka mengocok kotoran di air keruh tanpa henti. Fashion TV. Itu-itu saja. Model berlenggak-lenggok di runway. Aku melihat, tetapi kepalaku mengulang rekaman pembicaraan kami di pesawat. Apa aku ini, batinku.

Kamu mandi, suara Thiru tiba-tiba di udara, membuatku tersadar. Rasanya dia baru saja masuk kamar mandi. Mandi cepat sekali, komentarku. Apa perlunya mandi lama-lama, jawabnya ringan sambil sekali lagi memerintahku  mandi. 

Mendengar caranya memerintah, ingatanku mundur ke segelintir masa di Campuhan, di rumah Niang dan Kakyang. Aku asyik nonton tivi atau melukis meniru Ayah atau kegiatan apa saja yang bikin aku senang. Ayah akan mengingatkanku untuk makan atau mandi atau gosok gigi. 

Biasanya aku akan menawar waktu dengan Ayah. Lima menit lagi, Ayah. Sepuluh menit sudah lewat, tiga puluh menit, sampai Ayah tak mau lagi menyuruhku. Nah, kalau sudah diabaikan seperti itu, barulah aku bangkit dan memeluk leher Ayah, sambil berteriak, aku akan mandi, Ayah sayang. Kalau begitu mandilah, komentar Ayah. 

Ah, waktuku dengan Ayah tak sebanyak waktu yang kalian miliki dengan Mama-Papa kalian. Sejak kecil, aku sering diperebutkan keluarga Ayah atau Ibu, entah untuk maksud apa. Suara-suara mereka di kepalaku sungguh membingungkan. Kadang-kadang aku merasa ingin sendiri saja, merasa aku membuat mereka bertengkar.

Memoriku lemah mengingat momen ini, mungkin karena aku menekannya, ingin membuangnya. Tetapi aku dengan mudah mengingat halaman rumah Niang yang luas dipenuhi pohon-pohon berbunga macam-macam, tempat aku bermain petak-umpet sendirian, merasa aman dari sentuhan-sentuhan orang dewasa yang menatapku dengan belas kasihan dan suara yang dibuat-buat, serampangan menciumi pipiku, padahal aku tak mengenal mereka. 

Aku memandang Thiru, menjawab, akan berendam. 

"Okay, do as you wish, Young Lady." Ia mengangkat kedua tangannya, berkata lagi, "Cepatlah! Jangan terlalu lama."  

Mendengarnya aku termangu sekian detik. Mengatakan sesuatu yang rasanya kekanakan untuk diucapkan di depan seorang yang baru kukenal. Kalimat yang kulayangkan untuk menarik perhatian Ayah. Dan Ayah selalu setuju dengan apa pun yang kuinginkan. Tak pernah menggerendeng. Ayah mengangguk ketika kukatakan ingin membawa bebekku untuk mandi. 

Jangan terlalu lama, nanti perutnya kembung, goda Ayah. Lalu aku tertawa. Ayah, bebek mana bisa kembung! Masa iya, kata Ayah. Dan kalau aku memandikan si Froggy, Ayah bilang kodok tak boleh sering mandi karena dia akan sakit. Aku berteriak, Ayah, kodok selalu bermain di air. Lalu Ayah tertawa mencemooh diri, pura-pura menjadi orang bodoh. 

Seperti deja vu. Aku menemukan segala memori masa kecilku yang tak seberapa. Tak sadar aku memeluk pinggang Thiru, merindukan Ayah yang jarang berada dalam jangkauanku. Aku tersentak karena pada detik yang sama ia mengangkat kedua tangannya, memekik dengan suara ngeri, "Kamu belum mandi!" Aku termangu, lagi.

Kami bertatapan sekian detik, sementara batinku menganga, berbicara dalam hati, Ayah tak pernah berteriak dan menolak tanganku yang berlumuran kotoran, meski aku berada di antara lukisan-lukisannya. Mari, cuci dan keringkan tanganmu dulu, Sayang, kata Ayah, pelan dan tak terburu-buru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun