Mohon tunggu...
Ismi Faizah
Ismi Faizah Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis adalah proses menyembuhkan hati sedang membaca adalah proses membuka mata pikiran dan rasa

Read a lot write a lot

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Remaja dan Goda

16 September 2021   18:52 Diperbarui: 16 September 2021   19:00 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku takut senasib dengan merpati yang kulihat sore ini. Dilepas pelan-pelan."

Gadis itu terjaga, tengah malam namun netra sekelam malam tersebut tak juga bersembunyi dibalik kelopak seputih salju.
Ia menguap, tubuhnya lelah. Tidak dengan hati dan pikirannya yang berkelana.

Mengapa Tuhan menciptakan wanita dengan perasaan yang lebih mendominasi. Dia tiada henti merasakan. Mengapa adalah pertanyaan terbesar yang selalu datang disetiap malam panjang yang ia habiskan dengan merenung. Saat fisik ingin rebah namun pikiran berkhianat. Tertekan. Sungguh!

Namun ia dituntut untuk kuat bukan hanya untuk dirinya tetapi juga sepasang makhluk yang bergelung nyaman di perut. Waktu berjalan maju bukan mundur, suatu saat tentu ia tak dapat lari dari pertanyaan orang-orang sekitar. Dia akan hancur, sedang si manis yang membuai dalam janji palsu tertawa lepas diatas kebisuannya. 

Kini tidak ada lagi tempat yang bisa menawarkan kedamaian selain satu pilihan.

Pergi!

Gadis berparas manis itu menenggelamkan wajah juga tubuhnya. Tak beranjak sedikitpun kendati hampir kehabisan nafas.
Biarkan! Menghilang dari dunia ini adalah cara terbaik untuk tak menanggung malu yang lebih besar.

Hingga saat diujung tanduk penantian paling ia harapkan, kesakitan yang sebentar lagi tak akan ia rasakan, kematian yang hampir tiba! 

Byurr....!!!
Bangun!!! Anak gadis tidur sore-sore! Pamali!!
Basah! Karena siraman emak!
Ya Tuhan jadi ia bermimpi? Terasa nyata!

****

Pagi yang menyebalkan! 

Nafas Nella memburu. Sialnya berangkat sekolah kesiangan. Huft! Ditambah lagi buku PR-nya ketinggalan. Oh my God! Lengkap sudah. Satu hal lagi penyemangatnya absen. Penderitaan berkali lipat. 

"Nel...wuih lari maraton nih! Basah kuyup gini. Tuh liat burketan lagi! Hahaha, jorok amat sih masih pagi juga!" Tepukan kasar Winda di bahunya cukup keras. 

"Diem ngak!" Terengah-engah Nella mengatur nafas. Tujuh kali sudah lirikannya tertuju pada bangku nomor dua sisi kiri. Tahu gini lebih baik dia bolos saja. 

"Nyariin Radit yaa! Ciee...ketahuan banget! Hahaha!" Nella melotot menaruh jari telunjuk di depan bibir yang sedikit dicondongkan. Dasar Winda si mulut ember. Suara cemprengnya hampir tak bisa di rem. Malu kan kalau terdengar anak-anak sekelas. 

"Minta dijahit ya mulutmu?" Winda puas banget menertawakan penderitaan teman sebangkunya ini. 

Tak lama berselang bel masuk berbunyi. Jantung Nella berderu kencang. Dia memang bukan termasuk siswi pandai, hanya saja dia cukup rajin. Tapi sekarang dia mulai membayangkan hukuman yang akan bu Diana berikan padanya. Apa kira-kira? Lari keliling lapangan dua puluh kali, membersihkan toilet yang baunya melebihi bau mulut sahabat karibnya atau berdiri di bawah tiang bendera? Imajinasinya semakin tak terkendali. 

"Jam kosong! Merdeka!" Teriak Rahmat, si ketua kelas paling unik juga nyentrik. Bagaimana tidak, dia ini terkenal paling bandel, sering bolos saat jam pelajaran berlangsung, bajunya tak pernah rapi, rambutnya acak adul katanya gaya yang lagi ngetren dikalangan artis luar, terkadang orang suka meniru hal yang belum tentu cocok untuknya malah dipaksakan. Aneh.

Kemampuan berpikirnya masih canggihan udang, Eh tahu-tahunya semenjak pak Agus jadi wali kelas mereka, dia ditunjuk sebagai ketua kelas. Awalnya banyak anak-anak yang protes. Pak Agus bilang biar belajar lebih bertanggungjawab tujuannya. Lumayan sih berjalan tiga bulan sebagai ketua kelas, banyak juga perubahan Rahmat. 

Hampir seluruh kelas sebelas C bersorak kegirangan. Ada yang berlari kesetanan, joget-joget di depan ruang kelas, dansa konyol sesama laki-laki, para gadis hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan teman-teman mereka. Raut kecewa jelas tercipta diwajah anak-anak pintar di kelas ini yang mengaharapkan jam pelajaran tak pernah kosong. 

Kembali pada Nella. Girang bukan main. Artinya dia tak perlu repot merisaukan hukuman yang jelas hanya terjadi dalam angannya saja. Suasana riuh kelas sangat menyenangkan. Beberapa minggu belakangan mereka memang belajar extra berpikir keras dengan banyaknya ulangan-ulangan harian juga PR yang menumpuk. Lelah jenuh sudah pasti. 

Ditengah keramaian anak-anak yang tertawa riang. Nella mendadak lebih murung. Ketiadaan Radit adalah sebab utama. Setelah percakapan mereka tempo hari, juga mimpi yang mengusik. 

"Dengarkan semuanya! PR tetap dikumpulkan!" Ucap si ketua kelas nyentrik itu keras sembari mengebrak meja membuat seluruh ruangan terdiam. 

"Huu....!!" Sahut anak-anak serempak. Membuat Nella semakin malas. Harusnya ia tak masuk saja. Benar. 

**** 

Nella mengusak kasar rambut hitam sebahu yang menguarkan aroma apel bercampur mint yang segar. Masih basah sisa keramas sore ini. 

Sedang tangan kanannya sibuk memainkan benda pipih hitam dengan wajah ditekuk. Tak ada balasan. Notifikasi pesan chat kekasih yang baru tiga bulan menjalin asmara dengannya tak ada. Moodnya semakin hancur. 

Radit Dewa Asmoro. Bertubuh jangkung, kulit kuning langsat, matanya agak sipit, bibirnya merah, pangeran sekolah yang digilai banyak gadis. Takdir seolah berpihak bahwa nama tengah dan belakangnya sangat pas untuk dirinya yang mampu menancapkan panah cinta dihati siapapun yang melihatnya. 

"Itu ngak bener!" Radit mengibaskan tangan sembari menepuk dada. Tersedak. 

"Asmoro itu sebenarnya singkatan Astuti dan Henri Domoro!" Jelasnya kemudian. Ohh jadi nama ayah dan ibunya. Berdua mereka tertawa. 

Tak ada yang tahu mereka sepasang kekasih kecuali Winda. Syarat dari Nella untuk menjalin hubungan diam-diam disetujui Radit. Bukan tanpa alasan, lelaki seperti Radit sangat populer. Selain berwajah rupawan, rangkingnya memang tidak selalu teratas tapi Radit termasuk siswa yang selalu berada di peringkat lima besar. 

Sedang Nella risih jika hubungan mereka diketahui satu sekolah bisa dipastikan  konsekuensi dari keputusannya menerima Radit sebagai kekasih, adalah hal yang mengerikan bagi Nella. Bayangkan saja sendiri ketika kamu hanya gadis biasa dengan kemampuan otak ditengah rata-rata bersanding dengan lelaki yang menjadi incaran para betina. 

'Semarah itukah sama aku?' 

Pesan terkirim. Lima belas menit berlalu. Tetap centang satu. Nella membanting handphone ke atas kasur.

Terakhir komunikasi mereka sedikit bermasalah. Permintaan Radit diluar dugaan Nella. Sungguh tak menyangka. Dibalik wajah teduh Radit tersimpan pemikiran yang membuat Nella tercengang. Apa harus sejauh itu? 

Jatuh cinta. Radit adalah teman semasa kecil. Selalu bersama telah menumbuhkan perasaan nyaman satu sama lain. Hingga suatu malam, diatas tikar yang digelar di taman belakang rumah, lengkap dengan hiasan ribuan bintang di atas langit Radit Dewa Asmoro menyatakan cinta pada gadis lugu itu. 

"Mau ngak Nel jadi pacarku?" Ungkap Radit tanpa basa-basi. Butuh waktu seminggu bagi Nella untuk meyakinkan hati hingga akhirnya ia menjatuhkan pilihan pada cinta pertamanya. 

Semula hubungan mereka berjalan normal. Belajar bersama, pulang bersama tanpa menimbulkan kecurigaan teman-teman, semua terasa wajar hingga perdebatan sengit malam kemarin ditambah ketidakhadiran Radit di sekolah pagi tadi hingga sekarang tak ada kabar. 

"Aku sayang kamu Nel! Cuma kamu. Tolong ngertiin aku. Apa susahnya?" 

"Ngak bisa Radit. Kamu minta hal yang terlalu beresiko!" Sergah Nella. Tetapi kekasihnya terus memaksa. 

"Demi hubungan kita juga Nel. Sekali aja. Janji!" Pintanya melembut. 

"Ngak. Ngak bisa! Aku ngak mau aku takut." Jujur Nella berharap Radit berhenti merajuk. 

"Udahlah emang kamu ngak beneran sayang sama aku!" Radit menutup percakapan mereka dan berlalu sampe sekarang hilang kabar. 

Kita lihat keadaan Nella. Uring-uringan di kamar makan pun tak nafsu. Dia terus mengingat kekasihnya itu. Bayangan wajah Radit, senyumnya. Nella terbiasa dengan sikap manis lelaki itu hingga sehari tanpa sosoknya menjadikan harinya terasa hampa. 

Dia sangat mencintai Radit. Bahkan lebih. Kehilangan Radit? Tidak. Tak boleh terjadi. Putus? Tidak. Dia tak mau. Tapi bagaimana bisa dia menuruti permintaan konyol sang kekasih sementara hatinya berteriak jangan walau ia tak menampik sisi hatinya yang lain pun ingin. Dia wanita normal, usia dimana rasa penasaran sangat besar. Demi cintanya demi agar Radit tak pergi darinya ingin sekali menuruti semua yang Radit ucapkan. Nella percaya Radit berbeda. Lalu deretan kalimat kakak sepupunya kembali terngiang jelas saat mengetahui dirinya berpacaran. 

"Ingat ini baik-baik Nel! Jangan kebablasan. Mas ini lelaki juga jadi paham betul otak cowok. Jaga diri baik-baik. Mas percaya sama kamu!" 

Deg!!

Apa niatnya barusan? Menuruti Radit. Konyol. Nella menggeleng keras. Dia tak boleh goyah tidak cukupkah mimpinya memberi peringatan yang terasa nyata. Jika hal tersebut akan ia alami maka hidupnya akan hancur. Bukan hanya dirinya tapi juga keluarga. Beban. 

Berhenti mengirim pesan beruntun kepada Radit. Sesedih apapun Nella tanpa Radit ia harus sanggup demi harga diri. Jika Radit bersikukuh maka ia juga akan tetap mempertahankan diri meski hubungannya harus kandas.

Handphone series keluaran terbaru itu berbunyi buru Nella membuka. Senyumnya mengembang. 

"Ayolah Nel! Kamu cinta kan sama aku. Buktiin! Cuma satu itu yang bikin aku percaya!" 

Persetan. Mengatasnamakan cinta padahal disini Nella lah yang lebih tulus. Tadinya ia berharap Radit berhenti membahas hal tersebut. 

"Maaf Radit. Kita udahan aja!" Tegas Nella. 

"Nel! Aku janji Nel kalau ada apa-apa akan tanggung jawab!" Nella tak menggubris namun tawaran Radit cukup menggodanya.  

****

Lima hari berlalu. Radit tak kunjung masuk sekolah. Jujur saja Nella Rindu pengen ketemu Radit. Move on itu tidak gampang. Tidak ada yang menghiburnya. Winda pun tak masuk hari ini. 

"Mas tahu ngak, sejak Nella mutusin cowok Nella, dia jatuh sakit!" Curcol nih ke abang sepupu. 

"Jangan nyalahin diri sendiri Nel. Laki kayak gitu cuma mau untung doang. Udah waktunya sakit kali bukan karena kamu. Kepedean deh". Nella melempar biji salak sekuat mungkin. Kakak sepupunya lari terbirit-birit. 

Suara penyiar dari televisi menarik perhatian Nella. Tidak biasanya dia suka menyimak berita. Sudah hampir menginjak delapan belas tahun dia masih suka nonton kartun. 

"Kabar teraktual hari ini kita awali dengan telah ditemukannya mayat diduga bayi berusia tiga bulan di tempat sampah sekolah..." 

Suara pembaca berita itu bagai angin lalu menyisakan Nella yang tiba-tiba merasa pusing dan mual. 

"Duh...ulah siap sih itu. Anak-anak jaman sekarang kelakuannya!" Ibu berkomentar. 

"Yang menikah aja mengharapkan segera dapat momongan. Yang ini main bunuh main buang. Oknum pelajar seperti ini yang merusak masa depannya sendiri juga mencoreng wajah keluarga!" Lanjut Ibu. 

Nella tak sanggup. Ia berlari ke belakang. Memuntahkan isi perut. Sejak putus dengan Radit beberapa hari yang lalu pikirannya terus terfokus pada lelaki itu. Berat terasa hatinya kosong tanpa Radit. Ia berperang dalam diri antara menuruti Radit dan berharap kekasihnya itu tetap disisinya atau tetap memilih usai namun ia harus kehilangan cinta pertamanya. 

"Bu Lek...bukannya itu sekolah Nella?" Suara kakak sepupunya membuat Nella yang baru saja kembali dari toilet berlari mendekat. Benar itu sekolahnya. Lalu siapa? 

"Oalah Nduk...lihat itu! Walah jadi viral ini!" Ibu mengatakan banyak hal Nella hanya sibuk menerka siapa gerangan pelakunya. 

Nella berkeringat dingin, jantungnya berdebar kencang. Jika itu terjadi...

"Gelisah gitu...jangan-jangan kamu Nel!" Bisik kakak sepupunya itu penuh selidik. 

"Mas Suryo....!!!!" 

Ibu kewalahan melerai Nella yang memukul menjambak menendang kakak sepupunya itu.

   ****

Di tempat lain seorang gadis sedang menangis sesengukan. Merutuki kebodohannya. Berulang kali ia mencoba menelpon seseorang. Nihil. Tak ada jawaban. Tepat kelima puluhkali ia memencet tombol panggil hanya suara wanita yang dia dengar. 

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan..." 

Dia membanting handphone sekencang mungkin. Remuk pun tak peduli. Karena ada yang lebih ia khawatirkan. Setelah ini wajah mana yang akan ia kenakan. Semua akan terbongkar. 

****

Suasana kelas mendadak senyap. Sejak berita hangat tentang sekolah mereka yang terkenal akan murid-murid berprestasi tercoreng, kasak-kusuk terdengar disana-sini. Tapi kelas Nella hanya terdiam. Membisu.

Nella menggaruk kepala yang tak gatal. Dia menatap heran kawan-kawannya. Ia juga ingin bergosip menguak kebenaran seperti apa yang terjadi. 

Devina, si ratu gosip yang paling aktif juga mendadak bungkam. Entah apa yang mereka pikirkan. Harusnya Nella datang lebih awal tadi. 

Radit juga tampaknya belum masuk. Kemana anak itu. Sungguh Nella rindu berat. Si brengsek kecil yang mencuri hatinya namun untung bukan  kehormatannya yang lepas. 

"Eh...kok winda ga kelihatan yaa?" Kalimat pertama pagi ini yang disambut tatapan membunuh satu kelas.

"Hehe...kalian kenapa sih? Btw Radit juga apa ngak sebaiknya kita jenguk? Kali aja sakit parah?" Semua anak-anak satu kelas berdiri seolah hendak menerkam Nella. 

Satu detik

 

Dua detik 

 

Tiga detik

 

Jangan-jangan...

 

Nella terjatuh tak sadarkan diri. 

Finish

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun