Intinya, mereka yang pro melihat ini sebagai investasi sumber daya manusia yang strategis, dalam rangka menempatkan orang-orang terbaik di posisi kunci demi kemajuan bersama.
Di sisi lain, kritik keras datang dari mereka yang masuk kelompok kontra. Mereka tegas mengatakan, bahwa rangkap jabatan ini bukan semata masalah hukum, tetapi lebih pada masalah etika dan rasa keadilan.
Bagaimana mungkin seorang wakil menteri bisa fokus pada tugas utamanya membantu menteri, sementara pada waktu yang sama juga harus memikirkan keuntungan BUMN?
Begitulah keluhan para aktivis, pengamat, dan kelompok kontra lainnya, yang melihat potensi konflik kepentingan sebagai "hantu" yang siap menerkam kapan saja.
Misalnya, bagaimana seorang wakil menteri yang bertugas merumuskan kebijakan di sektor energi, tiba-tiba juga duduk sebagai komisaris di sebuah BUMN yang bergerak di bisnis energi?Â
Akan sangat riskan bila wakil menteri harus membuat keputusan yang mungkin menguntungkan BUMN tempatnya menjadi komisaris, namun berpotensi merugikan kepentingan masyarakat banyak.Â
Kekhawatiran di atas bukan hanya bersifat teoritis, namun punya potensi besar mengancam integritas kebijakan publik.
Akibatnya, fokus dan efektivitas kerja wakil menteri bisa terganggu, karena terpecah antara loyalitas kepada negara dan loyalitas kepada perusahaan.
Adapun hal yang paling menyentuh hati dan bisa memicu kemarahan publik adalah dimensi sosial dari kebijakan penempatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN.Â
Sangat ironis, saat angka pengangguran yang masih tinggi, di mana jutaan pemuda dan sarjana berjuang keras mencari pekerjaan yang layak, penunjukan wakil menteri sebagai komisaris BUMN terasa seperti tamparan keras di wajah.
Kenapa disebut tamparan keras? Karena sebagian masyarakat lagi kelimpungan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Padahal upah yang mereka terima stagnan, dan bahkan banyak yang kena PHK.Â