Sidang MK di atas sebagai jawaban atas perkara yang diajukan oleh Viktor Santoso Tandiasa dan Didi Supandi, yang memohon agar ketentuan larangan rangkap jabatan tidak hanya diberlakukan kepada menteri, tetapi juga kepada wakil menteri.Â
Para pemohon menilai bahwa pemerintah telah mengabaikan putusan-putusan MK sebelumnya, karena tetap mengangkat wakil menteri menjadi komisaris BUMN. Â
Memang, pencabutan status komisaris tersebut tidak harus dilakukan saat ini, karena MK memberi waktu bagi pemerintah selama dua tahun untuk melakukan penyesuaian terhadap putusan tersebut.
Tapi, paling tidak, dengan keputusan MK di atas, polemik tentang pro dan kontra rangkap jabatan komisaris BUMN bisa diakhiri.
Bagi mereka yang berada dalam kelompok pro, yakni mereka yang berada di lingkaran kekuasaan, argumentasinya adalah tentang efisiensi.Â
Seorang wakil menteri yang sebagian di antaranya telah lama berkecimpung di pemerintahan, dinilai sudah memahami seluk-beluk birokrasi dan memiliki jaringan yang luas.
Dengan menempatkan wakil menteri di jajaran komisaris BUMN, diharapkan mampu menjadi jembatan antara kebijakan pemerintah dan operasional perusahaan negara, sehingga tercipta sinergi.
Sinergi yang dimaksud adalah bagaimana BUMN bisa sejalan dengan visi pembangunan nasional, proyek-proyek strategis dapat berjalan lebih mulus, dan bagaimana aset negara dapat dikelola secara optimal.
Wakil menteri dinilai sebagai figur yang punya akses informasi yang tidak dimiliki orang lain, sehingga mereka bisa membawa perspektif makro ke dalam manajemen BUMN yang cenderung berpikir mikro.Â
Hal itu sekaligus juga untuk memastikan bahwa perusahaan BUMN tidak hanya sekadar mencari untung, tetapi juga turut berkontribusi pada kesejahteraan rakyat.
Terkandung harapan yang tulus di balik argumen di atas, bahwa dengan kehadiran wakil menteri, BUMN akan lebih responsif terhadap kebutuhan negara, lebih inovatif, dan lebih menguntungkan bagi masyarakat. Â