"Kanggo apa to, Jeng? Kok leren aku nggambar pasuryanmu." (Untuk apa, Jeng? Kok aku melukis wajahmu)
"Supaya Kangmas waktu di ladang nggak bolak-balik pulang." Rara Kuning memandang sorot mata teduh itu. "Nanti gambar itu njenengan bawa saat ke ladang. Kalo kangen, njenengan lihat saja gambar saya."
"Bolehlah cara itu dicoba, siapa tau gambar itu bisa mengobati kangen kangmas padamu." Syekh Abdul Aziz tersenyum. Bagaimana pun juga, dia harus menghargai usulan kekasihnya.
"Pasti bisa, Kangmas, " kata Rara Kuning meyakinkan.
***
"Ini lukisanmu sudah jadi, Diajeng."
Rara Kuning melihat guratan wajahnya di kertas, selarik senyum terbit di bibirnya. Kepandaian melukis suaminya memang tak diragukan. Selain piawai berdakwah, dalam diri lelaki halalnya itu mengalir darah seni. Bahkan lelaki berbadan tegap itu juga dianugerahi suara merdu. Tak jarang saat berdakwah diselingi dengan tembang-tembang yang berisi ajakan pada kebaikan.
"Kangmas memang jempol. Gambarnya mirip banget."
"He'em, tapi tetep lebih sedap memandang wajah aslimu, Jeng."
"Kangmas iki lo, senenge kok nggombal wae." Wajah Rara Kuning tersipu. (Kangmas ini lo, kok senangnya ngegombal aja)
"Tapi Diajeng seneng, kan, digombalin."
Sambil tersipu, perempuan berambut panjang itu menghadiahkan cubitan mesra di pinggang kekasih halalnya.