Sejak hari itu, Syekh Abdul Aziz membawa lukisan istrinya tiap pergi berladang. Ketika keinginan untuk berjumpa dengan Rara Kuning terbetik di hati, Â dipandangnya lukisan tersebut. Dengan begitu dia tak perlu kembali ke kediamannya. Dengan begitu pekerjaan di ladang pun tidak tertunda.
***
Mentari sudah mulai menyengat, musim kemarau di ambang bulan. Kadang sang bayu datang menerbangkan apa pun yang disentuhnya. Lukisan Rara Kuning yang tergeletak di antara peralatan berladang terbawa angin. Melayang tanpa arah, singgah di suatu tempat, lantas melayang kembali saat sang bayu memamerkan tiupannya. Hingga pada akhirnya, lukisan Rara Kuning mendarat di taman istana raja.
Raja Jaka Wangsa yang sedang rehat sambil menikmati suara perkutut manggung, penasaran dengan secarik kertas yang singgah di sudut taman. Dihampirinya kertas itu, terpana saat melihat wajah ayu tergores di sana.
"Wajah yang sungguh elok, siapa kiranya dia?" Paduka raja menggumam. "Pengawal, suruh patih menghadap saya!"
"Sendika dawuh, Paduka."
Tak lama kemudian sang patih menghadap dan menanyakan kiranya ada tugas apa yang akan diperintahkan oleh junjungannya.
"Patih, saya mendapat ini di taman terbawa angin. Tahukah kamu itu gambarnya siapa?"
"Nyuwun agenging pangaksami, Paduka, dalem mboten mangertos menika sinten." (Ampun beribu ampun, Paduka, saya tidak tahu itu siapa).
"Kalau begitu, saya tugaskan engkau untuk mencari tahu siapa nama perempuan yang ada di gambar ini. Temukan orangnya dan bawa ke sini!"
"Sendika dawuh, Paduka."