Dengan semua keterbatasannya itu, dia tetap bisa menyaingi saya yang punya segalanya, Bu.
Sejak awal, saya tahu saya pasti akan kalah dari dia meskipun saya sudah berusaha dengan sangat maksimal.
Jadi malam itu, saya datang dengan rencana: saya akan bilang saya "sengaja kalah" untuk dia. Supaya dia merasa menang karena "belas kasihan" dari saya, bukan karena dia memang lebih pintar.
Kenapa saya lakukan itu? Karena ego saya tidak tahan kalah dari "anak miskin". Karena gengsi saya sebagai "anak orang kaya" akan hancur kalau semua orang tahu saya kalah dari anak beasiswa karena miskin.
Jadi saya buat kalimat: saya yang "baik hati" mengalah untuk "anak miskin yang menyedihkan".
Tapi kenyataannya? Saya memang kalah. Telak. Tuminah lebih pintar dari saya. Dan saya menutupi kekalahan saya dengan topeng kebaikan.
Besoknya di pada saat ujian itu, saya memang salah jawab, Bu. Saya tidak tahu jawabannya. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin tapi tetap kalah.
Setelah hasil keluar, saya lihat wajah Tuminah. Dia tidak bahagia. Dia merasa bersalah. Dia pikir dia menang karena saya mengalah.
Dan saya diam saja. Saya biarkan dia berpikir seperti itu. Karena itu lebih baik untuk ego saya daripada mengakui saya memang lebih bodoh dari dia.
Dua belas tahun kemudian, dia hidup dengan rasa bersalah itu karena dia merasa tidak layak meraih semua kesuksesannya.
Padahal dia memang layak, Bu. Dia pantas banget menyandang posisi itu. Dia jauh lebih baik dari saya.