Kami berdua lolos sampai final, membuat kami harus bersaing dalam tes terakhir yang menentukan siapa yang layak mendapatkan juara satu.
Malam sebelum ujian final, Kevin datang ke rumah saya. Untuk pertama kalinya dia datang ke kontrakan kumuh, sempit dan bau itu. Dia lihat kondisi kami. Ibu saya yang sakit. Bapak saya yang pengangguran. Adik-adik saya yang kurus karena kurang gizi.
"Tuminah, lo lebih butuh beasiswa ini lebih dari pada gue," katanya. "Gue udah punya masa depan. Lo belum."
Lalu dia bilang sesuatu yang mengejutkan. "Besok, gue akan sengaja jawab salah di beberapa soal. Biar lo menang. Tapi ada syaratnya."
"Apa?"
"Jangan bilang siapa-siapa. Ini rahasia kita berdua."
Saya terdiam, terpaku. Tidak seperti harapan saya, Bu. Rasanya seperti penghinaan terselubung bagi saya. Seolah saya tidak bisa menang dengan kemampuan saya sendiri.
"Gue nggak butuh belas kasihan lo, Vin," jawab saya dingin.
"Bukan... ini bukan belas kasihan. Ini... keadilan. Lo lebih butuh dari pada gue."
Malam itu saya tidak bisa tidur. Ego saya bilang tidak, tolak saja. Tapi kalau melihat kenyataan keluarga saya yang sekarat bilang terima saja.
Besoknya, tes final dimulai. Saya mengerjakan dengan sangat bersunguh-sunguh. Kevin di sebelah saya juga serius.