Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote, Meredam Langit | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Suat Untuk Bu Ratna

17 Oktober 2025   11:17 Diperbarui: 17 Oktober 2025   11:17 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Samuel  Moses: https://www.pexels.com

15 Maret 2045

Kepada Bu Ratna yang terhormat,

Saya tidak tahu apakah Ibu masih ingat saya. Saya Tuminah. Murid Ibu tahun 2033-2036 di SMA Bangsa. Anak beasiswa dari keluarga miskin yang selalu duduk di pojok belakang kelas. Yang bajunya hanya itu-itu saja. Yang tidak pernah ikut studi tour karena tidak punya uang.

Saya menulis surat ini dari kantor saya di Singapura. Saya sekarang menjabat sebagai Director of Operations di perusahaan multinasional. Gaji tujuh belas juta sebulan. Tinggal di apartment mewah district 10. Setiap hari pakai mobil Mercedes. Kehidupan yang dua puluh tahun lalu tidak pernah berani saya bayangkan.

Ibu pasti bangga, kan? Ini semua berkat Ibu. Berkat beasiswa yang Ibu rekomendasikan. Semua ini berkat bimbingan Ibu.

Tapi Bu, ada yang harus saya ceritakan. Sesuatu yang sudah dua belas tahun menggerogoti perasaan saya setiap malam.

Ibu ingat Kevin Prasetya? Anak Pak Direktur yang selalu duduk di depan? Yang rumahnya di Menteng. Yang selalu diantar-jemput pakai Alphard. Yang uang sakunya sejuta sehari?

Kami berdua sama-sama pintar, Bu. Nilai rapot kami selalu bersaing di ranking satu atau dua. Tapi ada perbedaan yang memisahkan dunia kami, dia punya segalanya, saya tidak punya apa-apa.

Tahun 2036, ada kompetisi Olimpiade Sains Nasional. Hadiah juara satunya beasiswa penuh ke Singapura, termasuk biaya hidup. Ini kesempatan emas bagi saya untuk bisa keluar dari lingkaran kemiskinan.

Kevin juga ikut, Bu. Baginya kompetisi ini bukan untuk mendapatkan beasiswa, hanya karena gengsi semata.

Kami berdua lolos sampai final, membuat kami harus bersaing dalam tes terakhir yang menentukan siapa yang layak mendapatkan juara satu.

Malam sebelum ujian final, Kevin datang ke rumah saya. Untuk pertama kalinya dia datang ke kontrakan kumuh, sempit dan bau itu. Dia lihat kondisi kami. Ibu saya yang sakit. Bapak saya yang pengangguran. Adik-adik saya yang kurus karena kurang gizi.

"Tuminah, lo lebih butuh beasiswa ini lebih dari pada gue," katanya. "Gue udah punya masa depan. Lo belum."

Lalu dia bilang sesuatu yang mengejutkan. "Besok, gue akan sengaja jawab salah di beberapa soal. Biar lo menang. Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Jangan bilang siapa-siapa. Ini rahasia kita berdua."

Saya terdiam, terpaku. Tidak seperti harapan saya, Bu. Rasanya seperti penghinaan terselubung bagi saya. Seolah saya tidak bisa menang dengan kemampuan saya sendiri.

"Gue nggak butuh belas kasihan lo, Vin," jawab saya dingin.

"Bukan... ini bukan belas kasihan. Ini... keadilan. Lo lebih butuh dari pada gue."

Malam itu saya tidak bisa tidur. Ego saya bilang tidak, tolak saja. Tapi kalau melihat kenyataan keluarga saya yang sekarat bilang terima saja.

Besoknya, tes final dimulai. Saya mengerjakan dengan sangat bersunguh-sunguh. Kevin di sebelah saya juga serius.

Tapi di tengah-tengah ujian itu, saya melirik kearah dia lalu tiba-tiba matanya menyorot bola mata saya kemudian dia tersenyum. Senyum itu terlihat seperti meremehkanku. 

Hasil keluar setelah beberapa jam. Saya juara satu. Kevin juara dua. Selisih lima poin. Dadaku sesak. Ini bukan kemenangan yang saya harapkan.

Ibu memeluk saya sambil menangis. Teman-teman memberi selamat. Tapi saya tidak merasa menang. Serasa mencuri sesuatu dari orang lain.

Kevin tersenyum ke saya. Tidak ada penyesalan di wajahnya. Senyum itu terlihat tulus. Tidak seperti sebelumnya.

"Selamat, Tuminah. Lo pantas dapat posisi ini." Dia menyalami saya, Bu. Saya tidak dapat membalas ucapannya.

Beberapa bulan kemudian, saya pergi ke Singapura dengan beasiswa. Kevin kuliah di dalam negeri. Kami tidak pernah kontak lagi.

Dua belas tahun kemudian, saya berhasil mengejar mimpi. Namun, kesuksesan ini terasa hambar. Karena saya tahu, saya mendapatkannya karena Kevin mengalah. Bukan karena saya lebih pintar dari dia.

Setiap kali saya dapat promosi, saya selalu ingat Kevin. Setiap kali dapat bonus, saya juga ingat Kevin. Setiap kali orang bilang saya "self-made woman", semakin mengingatkan saya padanya.

Minggu lalu, saya coba cari tahu kabar tentang Kevin. Ternyata dia sekarang menjadi seorang guru di sekolah negeri di desa. Gaji empat juta sebulan. Dia tinggal di rumah kontrakan. Kemana-mana naik motor bebek.

Kenapa dia tidak kuliah di luar negeri? Kenapa dia tidak kerja di perusahaan besar, seharusnya dia bisa mendapatkan itu semua?

Lalu saya teringat sesuatu saat itu. Setelah pengumuman, orang tuanya menghampirinya, dari raut wajah serta gerakan tangannya, terlihat marah besar. Mereka terlihat memberikan tekanan yang luar biasa pada Kevin.

Saya sempat berkabar dengan Wati. Katanya, setahun kemudian, orang tua Kevin bangkrut. Bisnis mereka ambruk. Mereka tidak bisa biayai Kevin kuliah lagi. Dia drop out di tahun kedua. Lalu dia terpaksa kerja serabutan. Berkahir jadi guru honorer.

Dan saya? Saya terbang tinggi dengan beasiswa yang seharusnya dia yang dapat kalau dia tidak sengaja mengalah untuk saya.

Bu Ratna, pertanyaan yang membuat saya tidak bisa tidur: apakah saya pencuri? Apakah kesuksesan saya ini nyata? Apakah saya layak berada di posisi ini?

Atau saya hanya penerima sumbangan dari orang kaya yang kasihan melihat orang miskin?

Saya menulis surat ini bukan untuk minta maaf. Sudah terlambat untuk itu. Saya menulis surat ini karena saya ingin Ibu tahu, sistem pendidikan yang Ibu banggakan selama ini, yang katanya memberikan kesempatan sama bagi semua orang, sebenarnya penuh dengan kepalsuan.

Saya menang bukan karena saya lebih baik. Saya menang karena saya lebih butuh. Dan itu bukan keadilan.

Hormat saya,
Tuminah Kusuma Director of Operations, SG Ventures

***

Sebuah surat ditemukan tiga hari kemudian.

15 Maret 2045, 

Kepada Bu Ratna yang saya hormati,

Surat ini mungkin tidak akan pernah saya kirim. Tapi saya perlu menulisnya. Supaya saya bisa memejamkam mata malam ini.

Saya Kevin Prasetya. Murid Ibu tahun 2033-2036. Yang duduk di barisan depan. Yang selalu ikut semua kegiatan sekolah. Yang kata teman-teman beruntung lahir dengan silver spoon.

Tadi siang, ada kurir yang datang ke rumah kontrakan saya. Surat dari Singapura. Dari Tuminah.

Isinya cek senilai lima ratus juta rupiah bersama dengan tulisan pendek:

"Kevin, ini seharusnya punyamu. Maaf aku membiarkan kamu mengalah waktu itu. Maaf aku egois hanya memikirkan keluargaku saja. Maaf aku tidak pernah kontak kamu setelah aku berhasil di Singapura. Uang ini tidak akan pernah bisa mengembalikan dua belas tahun yang hilang dari hidupmu. Tapi setidaknya pemberianku ini bisa bantu hidupmu."

Saya tertawa sambil menangis membaca surat itu.

Dia tidak tahu. Tuminah tidak tahu kebenaran yang sesungguhnya.

Bu, ini yang sebenarnya terjadi:

Malam sebelum tes final, saya memang datang ke rumah Tuminah. Tapi bukan untuk kasih amal. Bukan untuk mengalah karena dia lebih butuh.

Saya datang ke rumahnya karena saya tahu, saya tidak akan pernah bisa menang.

Tuminah itu jenius, Bu. Dia sepuluh kali lebih pintar dari saya. Tapi dia tidak pernah sadar dengan keenceran otanyanya itu, dia tidak tahu karena dia tidak punya kesempatan untuk ikut bimbingan belajar yang mahal. Dia tidak punya uang untuk membeli buku-buku pelajaran yang bagus dan mahal seperti yang saya punya dulu. Dia cuma belajar dari fotokopian buku perpustakaan yang sudah lusuh.

Dengan semua keterbatasannya itu, dia tetap bisa menyaingi saya yang punya segalanya, Bu.

Sejak awal, saya tahu saya pasti akan kalah dari dia meskipun saya sudah berusaha dengan sangat maksimal.

Jadi malam itu, saya datang dengan rencana: saya akan bilang saya "sengaja kalah" untuk dia. Supaya dia merasa menang karena "belas kasihan" dari saya, bukan karena dia memang lebih pintar.

Kenapa saya lakukan itu? Karena ego saya tidak tahan kalah dari "anak miskin". Karena gengsi saya sebagai "anak orang kaya" akan hancur kalau semua orang tahu saya kalah dari anak beasiswa karena miskin.

Jadi saya buat kalimat: saya yang "baik hati" mengalah untuk "anak miskin yang menyedihkan".

Tapi kenyataannya? Saya memang kalah. Telak. Tuminah lebih pintar dari saya. Dan saya menutupi kekalahan saya dengan topeng kebaikan.

Besoknya di pada saat ujian itu, saya memang salah jawab, Bu. Saya tidak tahu jawabannya. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin tapi tetap kalah.

Setelah hasil keluar, saya lihat wajah Tuminah. Dia tidak bahagia. Dia merasa bersalah. Dia pikir dia menang karena saya mengalah.

Dan saya diam saja. Saya biarkan dia berpikir seperti itu. Karena itu lebih baik untuk ego saya daripada mengakui saya memang lebih bodoh dari dia.

Dua belas tahun kemudian, dia hidup dengan rasa bersalah itu karena dia merasa tidak layak meraih semua kesuksesannya.

Padahal dia memang layak, Bu. Dia pantas banget menyandang posisi itu. Dia jauh lebih baik dari saya.

Dan saya? Saya hidup dengan perasaan yang berbeda. Rasa bersalah karena saya merenggut kebanggaannya. Penyesalan karena saya membuat dia merasa seperti itu.

Orang tua saya bangkrut tahun 2037. Saya drop out kuliah. Hidup saya hancur. Tapi yang paling sakit bukan menjadi miskin.

Yang paling sakit adalah ketika Tuminah berpikir saya jatuh miskin karena mengalah untuk dia. Padahal saya gagal karena karma. Karena keangkuhan. Karena saya meremehkan orang yang lebih baik dari saya.

Hari ini, saya dapat cek lima ratus juta dari Tuminah. "kompensasi" katanya.

Tapi saya tidak bisa terima uang itu, Bu. Karena saya tidak berhak. Saya yang seharusnya memberikan ganti-rugi pada dia. Imbalan untuk dua belas tahun karena dia hidup dengan rasa bersalah yang tidak seharusnya dia rasakan.

Bagaimana cara saya bisa bilang ke dia, Tuminah, kamu tidak perlu merasa bersalah. Kamu memang lebih pintar dari aku. Kamu menang secara sah.

Kalau saya bilang itu sekarang, dia pasti akan berpikir saya cuma mau menghiburnya. Atau mungkin bisa lebih parah, dia sadar bahwa saya sudah menipu dia selama dua belas tahun.

Jadi saya terjebak, Bu. Terjebak dalam kebohongan yang saya buat sendiri.

Dan Tuminah juga terjebak. Terjebak dalam perasaan bersalah yang seharusnya tidak pernah ada.

Kami berdua korban, Bu. Korban dari sistem yang membuat orang kaya merasa harus mengalah untuk orang miskin, bukan mengakui bahwa orang miskin bisa lebih baik. Korban dari sistem yang membuat kesuksesan orang miskin selalu dipertanyakan legitimasinya.

Besok saya akan kembalikan cek itu ke Tuminah. Dengan surat:

"Tuminah, kamu menang karena kamu lebih baik. Bukan karena aku mengalah. Percayalah."

Tapi saya tahu dia tidak akan percaya. Dia akan pikir saya cuma mau buat dia merasa lebih baik.

Jadi ironinya, ternyata kebenaran tidak akan pernah bisa mengubah apa-apa. Kami berdua akan tetap hidup dengan perasaan masing-masing. Selamanya.

Bu Ratna, saya menulis surat ini bukan untuk minta maaf. Tapi untuk memberitahu Ibu, ternyata sistem pendidikan yang Ibu banggakan itu menciptakan dua jenis orang yang sama-sama menderita.

Orang miskin yang sukses tapi merasa tidak bahagia. Dan orang kaya yang gagal tapi tidak bisa mengakui kegagalannya. Tidak ada yang menang dalam sistem ini, Bu. Tidak ada.

Hormat saya, 

Kevin Prasetya Guru Honorer, SDN 05 Cikarang

***

16 Maret 2045

Pada pukul 23:47 tanggal 15 Maret 2045, seorang warga bernama Kevin Prasetya (33 tahun) ditemukan meninggal dunia di dalam rumah kontrakannya di Cikarang. Belum diketahui penyebab utama kematiannya, dugaan sementara adalah bunuh diri. Ditemukan surat wasiat dan dua surat yang belum dikirim.

Salah satu surat ditujukan kepada mantan gurunya. Surat lain ditujukan kepada seseorang bernama Tuminah Kusuma.

Keluarga korban menyatakan korban mengalami depresi berat sejak tiga tahun terakhir.

***

Tiga hari kemudian, Tuminah Kusuma tiba di Indonesia, dia mendatangi makam Kevin Prasetya. Dia membaca surat Kevin yang ditemukan polisi.

Untuk pertama kalinya dalam dua belas tahun, dia menangis. Bukan karena sedih Kevin meninggal. Tapi karena sadar, selama ini mereka berdua hidup dalam penjara yang mereka bangun sendiri.

Dia datang ke makam Kevin dengan sebuah bingkisan. Isinya: medali juara satu olimpiade tahun 2036.

Dia letakkan medali itu di atas nisan Kevin. Lalu berbisik: "Ini seharusnya punyamu, Vin. Maafkan aku. Maafkan sistem yang membuat kita berdua tidak bisa jujur terhadap satu sama lain."

Dia berdiri di sana lama. Hujan mulai turun. Tapi dia tidak bergerak.

Di kejauhan, Bu Ratna berdiri. Menyaksikan semua ini. Menangis dalam diam.

Dua murid terbaiknya. Satu mati. Satu hidup tapi mati perasaannya. Korban dari sistem pendidikan yang dia percaya selama ini bisa mengubah nasib.

Ternyata sistem itu tidak mengubah nasib. Sistem itu hanya mengubah jenis penderitaan. 

Tidak ada yang menang ketika kesempatan diberikan bukan berdasarkan kemampuan, tapi berdasarkan siapa yang lebih butuh.

Tidak ada yang menang ketika kebenaran harus ditutup-tutupi demi menjaga ego masing-masing.

Bu Ratna pulang malam itu dengan pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab, berapa banyak Tuminah dan Kevin lain di luar sana? Berapa banyak yang hidup dengan perasaan bersalahnya yang tidak seharusnya ada?

Dan yang paling menakutkan, sistem ini akan terus berputar. Generasi demi generasi. Menciptakan pemenang dan pecundang secara bersamaan.

Sampai kapan?

Tidak ada yang tahu. [IM]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun