Ketika Iblis ternyata mengenaliku, saat itulah masalah dimulai.
Aku selalu menjadi pemain gitar yang bagus dan cukup baik sehingga kadang-kadang diminta untuk bermain di pub lokal pada kesempatan tertentu. Tapi yang orang-orang tidak tahu tentangku adalah bahwa aku punya api di dalam diriku.
Aku bekerja di pemakaman setempat, menjadi penggali kubur dan menutupnya setiap hari, dan ketika aku bekerja menggali dan menutup, aku tidak memikirkan hal lain selain musik.
Pada ulang tahunku yang ketiga puluh, aku melakukan apa yang kulakukan setiap malam setelah seharian bekerja. Menyingsingkan lengan baju, mengeluarkan botol minuman, dan duduk di dekat batu nisan untuk bermain gitar ketika tidak ada seorangpun di sekitar yang mendengarkan. Aku memetik gitar akustik Kramer tuaku hingga setengah mati, memainkan lagu-lagu lama dari berbagai daerah sampai mati.
Ketika Iblis datang malam itu, aku tidak mengenalinya. Dia tidak berkulit merah dan tidak punya tanduk. Iblisku ini berambut putih, tersenyum hangat, dan mengenakan celana jins biru belel robek sana-sini.
Iblis memberitahuku bahwa dia menontonku bermain gitar setiap malam di depan pelanggannya, dan dia ingin membantuku. Dia menyuruhku membubuhkan tanda tangan di atas namaku namaku di surat kontrak, dan aku akan menjadi pemain gitar terhebat yang pernah hidup di dunia. Yang harus kulakukan hanyalah berjanji padanya akan menyerahkan jiwaku dan menyelesaikan tugas untuknya sesekali.
Aku tahu aku seharusnya aku mengatakan tidak, tapi api dalam diriku tidak dapat menahannya, dan aku membubuhkan tanda tangan di atas namaku tanpa ragu-ragu lebih cepat dari yang ingin kulakukan.
Keesokan harinya, aku mengambil Kramer tua-ku dan mulai bermain seperti yang belum pernah kulakukan sebelumnya.
Aku pergi ke bar malam itu dan bermain untuk penonton lokal. Musikku lebih menyentuh perasaan dibandingkan Tohpati, lebih halus daripada Ebiet G. Ade, dan lebih kreatif daripada Dewa Bujana. Jari-jariku bekerja secara ajaib di fret leher gitar. Nada-nadanya masih sama seperti sejak awal musik bermula, tapi sekarang berbeda, lebih bertenaga. Aku mendapat tepuk tangan meriah untuk pertama kalinya dalam hidupku.
Keesokan harinya, aku berhenti dari pekerjaanku sebagai penggali kubur dan mengemasi barang-barangku. Menghabiskan waktu berbulan-bulan berkeliling melintasi pulau, bermain di bar kecil, panggung terbuka, dan ke mana pun aku pergi. Namaku mulai menyebar dengan cepat, dan pertunjukannya pun semakin besar. Segera saja aku tak lagi bermain di bar tetapi di gedung konser kecil. Ruang konser kemudian berubah menjadi tempat yang semakin besar, dan akhirnya, pentas raksasa di stadion.