Apakah kita ingin siswa yang cerdas secara intelektual tetapi individualistis, atau siswa yang cerdas sekaligus memiliki empati dan kepedulian sosial yang tinggi?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan aksiologis inilah yang akan menjadi pemandu kita dalam merancang kurikulum, membangun budaya sekolah, dan memilih teladan. Salah satu referensi menegaskan: "Landasan aksiologis pendidikan karakter akan membekali para pendidik berpikir klarifikatif tentang hubungan antara tujuan hidup dengan pendidikan karakter."
Artinya, pendidikan karakter bukan sekadar program tambahan atau tempelan. Ia adalah jiwa dari pendidikan itu sendiri, yang bersumber dari refleksi mendalam tentang nilai-nilai luhur yang ingin kita wariskan kepada generasi penerus. Ilmu pengetahuan harus digunakan untuk kemaslahatan, bukan untuk kerusakan. Kecerdasan harus diiringi oleh kebijaksanaan. Inilah esensi dari aksiologi dalam pendidikan.
Ketiga pilar ini bukanlah entitas yang terpisah. Mereka adalah satu kesatuan yang saling mengikat dan memengaruhi, layaknya sebuah bangunan utuh. Keyakinan kita pada tataran ontologis akan secara langsung membentuk pendekatan epistemologis kita, yang pada akhirnya diarahkan oleh tujuan aksiologis kita.
Skenario A: Pendidikan Vokasi Berorientasi Industri
Aksiologi (Tujuan/Nilai): Mencetak lulusan yang siap kerja, kompeten, dan sesuai dengan kebutuhan pasar industri. Nilai utamanya adalah kegunaan (utilitas) dan keahlian praktis.
Ontologi (Hakikat): Siswa adalah calon tenaga kerja. Pengetahuan adalah seperangkat keterampilan dan prosedur standar yang harus dikuasai.
Epistemologi (Metode): Pembelajaran dilakukan melalui instruksi langsung, magang, praktik berulang (drilling), dan sertifikasi kompetensi. Kebenaran diukur dari kemampuan melakukan tugas sesuai standar.
Skenario B: Pendidikan Lingkungan Berbasis Proyek