Pernahkah Anda semakin marah justru saat Anda berusaha keras untuk tidak marah? Atau semakin cemas saat Anda menyuruh diri sendiri untuk tenang? Jika iya, Anda tidak sendirian. Ada sebuah paradoks dalam cara kita menangani emosi, dan memahaminya adalah kunci untuk menemukan ketenangan.
Penolakan terhadap emosi (yang kita persepsikan sebagai negatif) seringkali malah membuat kita jatuh lebih dalam. Saat kita marah dan menolak untuk marah, kita akan semakin tersedot ke jurang kemarahan. Saat kita takut dan melawan rasa takut, kita akan terisap lebih kuat oleh ketakutan. Ingat analogi "jangan pikirkan gajah pink"? Pikiran kita justru akan semakin kuat menampilkan gambaran tersebut.
Penerimaan Bukanlah Kepasrahan
Salah satu kunci utama dalam terapi ACT (Acceptance and Commitment Therapy) adalah Penerimaan (Acceptance). Fokusnya adalah pada emosi sulit, karena emosi positif tentu tidak perlu kita 'jinakkan'. Para ilmuwan menemukan bahwa alih-alih melawannya, menerimanya sebagai bagian dari diri dan memberinya ruang untuk hadir justru akan membuat kita tidak lagi dikendalikan olehnya.
Para ilmuwan psikologi yang dipelopori oleh Dr. Steven C. Hayes menemukan fenomena yang ia sebut sebagai The Paradox of Avoidance. Penelitian mereka menyebutkan bahwa meskipun kita berusaha menghindari emosi tersebut, hal itu hanya memberikan kelegaan jangka pendek. Setelahnya, perasaan itu akan muncul semakin kuat, sama seperti saat kita berusaha menekan bola ke dalam air, bola itu akan melambung ke atas dengan lebih keras.
Efek lainnya dari penolakan perasaan tidak nyaman yang muncul adalah mempersempit hidup. Sebenarnya inilah biaya terbesar yang kita derita. Saat kita menghindari malu saat menawarkan produk/jasa, maka kita akan berhenti berusaha. Saat kita takut akan perasaan cemas karena ditolak, kita akan berhenti berusaha untuk menyatakan perasaan atau pendapat. Karena ketidakmauan kita menerima perasaan ini, pilihan hidup kita semakin terbatas dan sempit. Kita seperti hidup dalam ruang sempit karena diatur oleh penghindaran perasaan tidak nyaman.
Efek paling buruknya adalah risiko psikopatologi. Perasaan tidak enak yang dipendam dan berusaha ditolak, secara ilmiah terbukti menjadi faktor transdiagnostic yang menyebabkan gangguan psikologis seperti gangguan kecemasan, depresi, hingga gangguan makan.
Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan adalah "penerimaan"---menerima emosi itu apa adanya. Penerimaan bukan berarti kita menyetujui, menjadi lemah, atau pasrah terhadap kondisi emosi yang tidak mengenakkan itu. Penerimaan adalah sebuah pilihan aktif, sadar, dan berani untuk membuka diri dan memberi ruang bagi perasaan, sensasi, dan dorongan yang tidak diinginkan ini, tanpa perlu melawannya.
Ini mirip dengan analogi pasir hisap. Saat kita terperangkap di jebakan pasir hisap, naluri kita adalah meronta-ronta untuk melepaskan diri. Alih-alih terlepas, pasir hisap justru akan semakin kuat mengisap kita. Maka, langkah yang paling tepat adalah tetap tenang dan merentangkan tubuh agar bisa mengapung, alih-alih tenggelam lebih dalam.