Mohon tunggu...
I NYOMAN MAHA BUDHI SUJANA
I NYOMAN MAHA BUDHI SUJANA Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Pendidikan IPA

Mahasiswa Pascasarjana yang mendalami kajian Pendidikan Sains. Memiliki minat pada pengembangan kurikulum, filsafat sains, dan analisis kebijakan pendidikan. Saya menggunakan platform ini untuk menuangkan hasil refleksi, analisis kritis, serta eksplorasi ide-ide baru di persimpangan antara sains, teknologi, dan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Merangkai Ontologi Epistemologi dan Aksiologi dalam Pendidikan yang Bermakna

13 September 2025   18:48 Diperbarui: 13 September 2025   21:05 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filosofi dengan Simbol Lampu, Buku, Timbangan

Pernahkah kamu, sebagai seorang guru, orang tua, atau bahkan pelajar berhenti sejenak di tengah kesibukan rutinitas pendidikan dan bertanya: Mengapa kita mempelajari ini semua?, Apa hakikat dari ilmu yang kita kejar? dan untuk apa semua pengetahuan ini pada akhirnya? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin terdengar berat dan njilimet, seolah hanya pantas di diskusikan di ruang=ruang kuliah filsafat yang hening. Namun, sesungguhnya, inilah jantung dari pendidikan itu sendiri.

Banyak dari kita terjebak dalam siklus transfer ilmu  yang mekanis. Guru mengajar, murid mencatat, ujian datang, dan nilai pun keluar. proses ini berulang dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Kita sering begitu fokus pada apa  yang harus di  ajarkan (kurikulum) dan bagaimana  cara mengajarkannya (metode), sehingga kita lupa menanyakan menagapa-nya. Padahal, tanpa landasan  mengapa  yang kokoh, pendidikan berisiko menjadi bangunan yang megah yang kosong, tanpa jiwa dan makna.

Di sinilah filsafat pendidikan hadir, bukan sebagai konsep atragulus yang mengawang-awang, tetapi sebagai kompas yang memberikan arah. Filsafat mengajak kita untuk tidak sekedar menjadi pelaksana, tetapi menjadi pemikir dalam dunia pendidikan. Tiga pilar utama dalam filsafat ilmu Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi yang menawarkan sebuah kerangka kerja yang luar biasa untuk membedah, memahami, dan akhirnya merancang sebuah proses pendidikan yang benar-benar bermakna dan transformatif. Kita harus mengetahui bagaimana ketiga pilar ini sejatinya sangat relevan dengan secarik LKS di tangan siswa atau diskusi hangat di ruang guru.

1. Ontologi: Bertanya Tentang Hakikat ----Apa---- dalam Pendidikan

Mari kita mulai dari yang paling dasar: Ontologi. Jangan takut dengan istilahnya. Secara sederhana, ontologi adalah cabang filsafat yang bertanya tentang hakikat dari sesuatu yang ada. Dalam dunia pendidikan, ontologi mengajak kita merenungkan: Apa sebenarnya hakikat dari pendidikan itu sendiri? Apa hakikat dari manusia (peserta didik dan pendidik)? Apa hakikat dari ilmu pengetahuan yang kita ajarkan?

Seperti yang dijelaskan dalam berbagai kajian, "ontologi adalah cabang dari ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup tentang suatu keberadaan yang meliputi keberadaan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada". Pertanyaan ontologis ini sangat fundamental karena jawaban kita akan menentukan seluruh arsitektur pendidikan yang kita bangun.

Coba kita renungkan sejenak:

  • Apa hakikat siswa? Apakah ia seperti kendi kosong yang harus kita isi dengan sebanyak-banyaknya pengetahuan (pandangan tabula rasa)? Ataukah ia adalah benih dengan potensi unik yang tugas kita adalah menyediakan tanah yang subur agar ia bisa tumbuh maksimal (pandangan fitrah)? Jika kita meyakini yang pertama, model pembelajaran kita akan cenderung satu arah, didominasi ceramah dan hafalan. Sebaliknya, jika kita meyakini yang kedua, kita akan merancang pembelajaran yang berpusat pada siswa, yang memfasilitasi penemuan dan pengembangan bakat.
  • Apa hakikat ilmu pengetahuan? Apakah ilmu itu sekumpulan fakta dan rumus mati yang harus dihafal? Ataukah ilmu adalah sebuah proses dinamis untuk memahami alam semesta, yang terus berkembang dan bahkan bisa dikoreksi? Pandangan pertama akan menghasilkan siswa yang tahu banyak hal tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Pandangan kedua akan melahirkan siswa yang kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah.

Dalam salah satu kajian disebutkan bahwa, "Ontologi dalam kajian pendidikan karakter lebih menekankan pada aspek hakikat keberadaan, yang dimaksud keberadaan di sini adalah keberadaan pendidikan karakter." Ini menegaskan bahwa sebelum kita merancang program pendidikan karakter, kita harus terlebih dahulu sepakat tentang hakikat karakter baik itu seperti apa. Tanpa pemahaman ontologis yang jernih, program yang kita jalankan hanya akan menjadi serangkaian aktivitas tanpa tujuan yang jelas.

Jadi, ontologi memaksa kita untuk jujur pada diri sendiri tentang asumsi-asumsi paling dasar yang kita pegang dalam pendidikan. Dari sinilah semua bermula.

2. Epistemologi: Menjelajahi ---Bagaimana--- Cara Kita Belajar dan Mengetahui

Jika ontologi adalah tentang apa, maka epistemologi adalah tentang bagaimana. Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal-usul, metode, struktur, dan validitas sebuah pengetahuan. Dalam dunia pendidikan, pertanyaannya menjadi sangat praktis: Bagaimana cara terbaik bagi siswa untuk memperoleh pengetahuan? Bagaimana kita tahu bahwa sesuatu itu benar? Metode apa yang paling efektif untuk belajar?

Secara formal, "epistemologi adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang sumber pengetahuan, metode, struktur, dan benar tidaknya suatu pengetahuan tersebut". Ini adalah ranah para pendidik sehari-hari, tempat di mana teori dan praktik bertemu.

Contohnya dalam proses pembelajaran di kelas:

  • Jika ontologi kita melihat siswa sebagai kendi kosong dan ilmu sebagai fakta eksternal (ontologi), maka secara epistemologis, cara belajar yang paling efektif adalah melalui transfer pengetahuan. Guru menjadi sumber utama kebenaran. Metode yang dominan adalah ceramah (empirisme) dimana siswa menerima pengetahuan melalui indera pendengaran dan penglihatan, serta latihan berulang (behaviorisme) untuk menanamkan fakta dan keterampilan. 
  • Jika ontologi kita melihat siswa sebagai makhluk rasional dan ilmu sebagai struktur logika (ontologi), maka pendekatan epistemologis kita akan menekankan penalaran dan logika (rasionalisme). Metode Pembelajarannya percaya bahwa akal dan logika adalah sumber utama pengetahuan. Ia akan mendorong siswa untuk banyak berdiskusi, berdebat, menganalisis, dan berpikir kritis. Baginya, kebenaran ditemukan melalui penalaran yang sistematis.
  • Jika ontologi kita memandang siswa sebagai benih berpotensi yang aktif membangun pemahaman (Ontologi), maka epistemologi yang paling sesuai adalah konstruktivisme. Pengetahuan tidak diterima secara pasif, melainkan dibangun secara aktif oleh siswa dalam benaknya sendiri. Guru berperan sebagai fasilitator yang merancang pengalaman belajar melalui proyek, studi kasus, dan eksperimen yang memungkinkan siswa mengkonstruksi pemahamannya sendiri. 

Dalam salah kajian yang ada diungkapkan bahwa, "Epistemologi Pendidikan Islam adalah upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan pendidikan yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunah." Kutipan ini menyoroti bahwa sumber pengetahuan (wahyu) menjadi pembeda fundamental dalam epistemologi pendidikan Islam. Namun, bukan berarti menafikan metode ilmiah lainnya. Justru, tantangannya adalah bagaimana mengintegrasikan berbagai sumber dan metode ini wahyu, akal, dan pengalaman secara harmonis.

Pemilihan metode mengajar, cara kita menyusun RPP, hingga bagaimana kita menilai pemahaman siswa, semuanya berakar dari keyakinan epistemologis kita. Tanpa menyadarinya, setiap guru sesungguhnya adalah seorang praktisi epistemologi. Pertanyaannya, apakah kita melakukannya secara sadar dan reflektif, atau hanya sekadar mengikuti kebiasaan?

3. Aksiologi: Menetapkan Arah dan Nilai ---Untuk Apa--- Pendidikan Itu?

Setelah membahas apa (ontologi) dan bagaimana (epistemologi), kita sampai pada puncak piramida: Aksiologi. Ini adalah cabang filsafat yang membahas tentang nilai (value). Aksiologi bertanya: Untuk apa pengetahuan itu digunakan? Apa tujuan akhir dari seluruh proses pendidikan ini? Nilai-nilai apa yang ingin kita tanamkan pada peserta didik?

Aksiologi adalah kompas moral dalam pendidikan. Ia memastikan bahwa ilmu pengetahuan yang hebat tidak jatuh ke tangan yang salah atau digunakan untuk tujuan yang merusak. Dalam definisi yang lebih teknis, "Aksiologi merupakan analisis tentang nilai-nilai yang berarti membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria atau status epistemologi dari nilai tersebut." Dengan kata lain, aksiologi adalah tentang etika (apa yang baik dan buruk) dan estetika (apa yang indah).

Dalam konteks pendidikan karakter, peran aksiologi menjadi sangat sentral. Pendidikan tidak lagi dipandang netral, ia sarat dengan muatan nilai.

  • Apakah tujuan pendidikan hanya untuk mencetak tenaga kerja yang kompeten untuk memenuhi kebutuhan industri? Jika ya, maka nilai-nilai yang ditekankan adalah efisiensi, produktivitas, dan pragmatisme. Pengetahuan dinilai dari kegunaan praktisnya.

  • Ataukah tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang utuh, berakhlak mulia, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab? Jika ya, maka nilai-nilai yang ditanamkan adalah kejujuran, empati, keadilan, kebijaksanaan, dan kepedulian sosial. Pengetahuan harus digunakan untuk kemaslahatan bersama.

  • Apakah kita ingin siswa yang cerdas secara intelektual tetapi individualistis, atau siswa yang cerdas sekaligus memiliki empati dan kepedulian sosial yang tinggi?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan aksiologis inilah yang akan menjadi pemandu kita dalam merancang kurikulum, membangun budaya sekolah, dan memilih teladan. Salah satu referensi menegaskan: "Landasan aksiologis pendidikan karakter akan membekali para pendidik berpikir klarifikatif tentang hubungan antara tujuan hidup dengan pendidikan karakter."

Artinya, pendidikan karakter bukan sekadar program tambahan atau tempelan. Ia adalah jiwa dari pendidikan itu sendiri, yang bersumber dari refleksi mendalam tentang nilai-nilai luhur yang ingin kita wariskan kepada generasi penerus. Ilmu pengetahuan harus digunakan untuk kemaslahatan, bukan untuk kerusakan. Kecerdasan harus diiringi oleh kebijaksanaan. Inilah esensi dari aksiologi dalam pendidikan.

Guru dan Siswa dengan Nilai Karakter, Seperti Kejujuran, Kerja Sama
Guru dan Siswa dengan Nilai Karakter, Seperti Kejujuran, Kerja Sama

Ketiga pilar ini bukanlah entitas yang terpisah. Mereka adalah satu kesatuan yang saling mengikat dan memengaruhi, layaknya sebuah bangunan utuh. Keyakinan kita pada tataran ontologis akan secara langsung membentuk pendekatan epistemologis kita, yang pada akhirnya diarahkan oleh tujuan aksiologis kita.

  • Skenario A: Pendidikan Vokasi Berorientasi Industri

    • Aksiologi (Tujuan/Nilai): Mencetak lulusan yang siap kerja, kompeten, dan sesuai dengan kebutuhan pasar industri. Nilai utamanya adalah kegunaan (utilitas) dan keahlian praktis.

    • Ontologi (Hakikat): Siswa adalah calon tenaga kerja. Pengetahuan adalah seperangkat keterampilan dan prosedur standar yang harus dikuasai.

    • Epistemologi (Metode): Pembelajaran dilakukan melalui instruksi langsung, magang, praktik berulang (drilling), dan sertifikasi kompetensi. Kebenaran diukur dari kemampuan melakukan tugas sesuai standar.

  • Skenario B: Pendidikan Lingkungan Berbasis Proyek

    • Aksiologi (Tujuan/Nilai): Membentuk siswa yang peduli terhadap kelestarian alam dan memiliki rasa tanggung jawab sebagai penjaga bumi. Nilai utamanya adalah keberlanjutan, harmoni, dan tanggung jawab ekologis.

    • Ontologi (Hakikat): Manusia adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem. Alam bukanlah objek eksploitasi, melainkan amanah.

    • Epistemologi (Metode): Pembelajaran dilakukan dengan mengajak siswa turun langsung ke sungai yang tercemar (empiris), menganalisis data kualitas air (rasionalis), dan merancang proyek aksi bersih-bersih atau kampanye lingkungan (konstruktivis).

Dengan kerangka ini, pembelajaran menjadi utuh, mendalam, dan transformatif. Siswa tidak hanya tahu tentang masalah lingkungan, tetapi mereka memahami hakikatnya, mengalami dampaknya, dan tergerak untuk melakukan sesuatu berdasarkan nilai-nilai yang mereka yakini.

Diagram Venn Ontologi--Epistemologi--Aksiologi Yang Saling Beririsan
Diagram Venn Ontologi--Epistemologi--Aksiologi Yang Saling Beririsan

Mengapa refleksi filosofis ini penting bagi Indonesia? Di tengah derasnya arus perubahan dan tantangan zaman, kita membutuhkan jangkar yang kuat. Memahami tiga pilar filsafat ini memberikan sejumlah manfaat konkret:

  1. Filsafat pendidikan membantu kita merumuskan secara sadar karakter seperti apa yang ingin kita bangun. Pendidikan tidak hanya soal mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga memajukan kebudayaan dan membentuk watak peradaban yang bermartabat.
  2. Guru tidak lagi hanya menjadi tukang yang menjalankan kurikulum, tetapi menjadi seorang profesional yang mampu berpikir kritis tentang praktiknya, menyesuaikan metode dengan hakikat siswa, dan senantiasa menghubungkan pembelajarannya dengan nilai-nilai luhur.
  3. Kurikulum tidak akan lagi dilihat sebagai daftar mata pelajaran yang terkotak-kotak, melainkan sebagai sebuah perjalanan terintegrasi untuk mencapai tujuan kemanusiaan yang lebih tinggi.
  4. Kebijakan pendidikan, mulai dari sistem evaluasi hingga pelatihan guru, akan didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia dan tujuan pendidikan, bukan sekadar respons reaktif terhadap tren sesaat.

Pada akhirnya, pendidikan yang dilandasi oleh filsafat yang kokoh akan menghasilkan lulusan yang tidak hanya unggul dalam kompetensi teknis, tetapi juga matang dalam karakter, bijaksana dalam bertindak, dan memiliki tujuan hidup yang jelas. Mereka adalah individu yang siap menghadapi masa depan bukan karena mereka tahu semua jawaban, tetapi karena mereka tahu bagaimana cara bertanya, bagaimana cara belajar, dan untuk apa mereka hidup.

Nilai Kemanusiaan, Empati, Kerjasama dalam Konteks Pendidikan
Nilai Kemanusiaan, Empati, Kerjasama dalam Konteks Pendidikan

Membicarakan ontologi, epistemologi, dan aksiologi mungkin terasa seperti sebuah perjalanan intelektual yang rumit. Namun, pada intinya, ini adalah sebuah undangan untuk kembali ke akar, untuk bertanya pada diri kita sendiri tentang hal-hal yang paling esensial dalam pendidikan.

Sebagai pendidik, mari kita sejenak berhenti dari rutinitas mengajar dan mulai bertanya: Apa sesungguhnya yang saya yakini tentang siswa saya? Bagaimana cara terbaik bagi mereka untuk belajar dan bertumbuh? Dan warisan nilai apa yang ingin saya tinggalkan dalam diri mereka?

Sebagai orang tua, mari kita bertanya: Pendidikan seperti apa yang sesungguhnya kita inginkan untuk anak-anak kita? Apakah sekadar nilai rapor yang tinggi, ataukah pribadi yang utuh dan bahagia?

Dengan terus-menerus merefleksikan ketiga pilar ini, kita tidak hanya akan menjadi praktisi pendidikan yang lebih baik, tetapi kita juga turut serta dalam sebuah ikhtiar mulia: merangkai sebuah sistem pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan akal, tetapi juga mencerahkan jiwa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun