Semenjak dingin menghimpit kota ini, kabut dan awan pun sepakat merapat jadi atap. Siang jadi begitu singkat dan cuma sejenak bisa menatap wajah jenaka Sang Hari ini.Â
Malam menghiasi mata dengan rona-rona gelap. Sekali-kali membelalak melepaskan rindu dan tanya, kapan Matahari datang lagi?Â
Ingin mendorong kursi roda ke halaman tengah, namun terlalu dingin, jika tanpa Matahari.Â
Kembali mengeram diri di kamar, namun tidak ada yang istimewa selain rindu bertumpuk-tumpuk ingin berjemuran bersama teman-teman pada cahaya mentari di musim dingin.Â
Matahari pertama minggu ini telah mengisi barisan cerita di hati yang sedang dibalut cinta sang kabut.Â
Aku bertanya, hai Matahari mengapa engkau tidak datang setiap hari? Tidak tahukah engkau bahwa berjuta-juta sedang membara dalam rindu akan kehadiranmu?Â
Kemanakah engkau pergi? Tanpamu, sungguh semuanya jadi pusing.Â
Covid19 bermunculan lagi di kota ini. Tanpa cahayamu, kotaku menjadi buah bibir para jurnalis.Â
Rindu... Rindu Matahari. Cukuplah sejam sehari engkau bersinar di kota ini.Â
Terima kasih, hari ini engkau datang untuk pertama kalinya di minggu ini. Hadirmu telah mengubah wajah gelap hingga berwajah jenaka tua-tua dibalik jendela sepi.
Matahari pertama minggu ini, menuai cerita tersipu-sipu senyum di tengah kata-kata bosan dengan gelap yang begitu cepat datang ke kota ini.
Engkau matahariku, ketika engkau bisa mengubah hatiku, dari duka dan takut jadi terhibur dan sanggup berpantun
Siapa saja bisa menjadi matahari bagi yang dirundung malam.Â
Matahari bukan sekedar hari-hari mata-matain, tapi hari-hari hangatin.
Matahari dalam kata, di depan kata dalam rasa, dan diakhir kata.
Salam berbagi, ino, 18.11.2021.