Orang-orang biasanya dapat pencerahan di tempat keren. Ada yang meditasi di bawah pohon, ada yang rebahan di hammock sambil bikin takarir filosofis, ada juga yang duduk di pinggir sungai mendengarkan kicau burung.
Bahkan ada yang rela bayar mahal buat retreat mindfulness tiga hari dua malam, padahal isinya cuma disuruh diam.
Saya nggak seberuntung itu. Pencerahan saya datangnya malah dari balik jamban. Tempat manusia biasanya lebih sibuk mikirin botol sampo sudah harus diisi air apa belum ketimbang mikirin makna hidup.
Akhir Juli 2025, di Camp Serumput, sebuah pos kecil di tepi kali di Desa Pangkalan Teluk, Dusun Cali, Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, saya keluar dari kakus setelah menyelesaikan urusan paling manusiawi.
Begitu pintu saya buka, yang nongol bukan udara segar melainkan sosok orangutan.
Namanya Susi. Beratnya mungkin 40 kilo lebih. Dia berdiri tepat di depan pintu, tatapannya tenang. Nggak menakutkan, lebih kayak seorang guru yang habis memeriksa PR murid.
Rasanya seperti doi mau bilang, “Santai saja, Mahéng. Toh di hutan ini kita sama-sama numpang.”
Saya bengong, lalu ketawa kecil, lantas mikir. Ternyata koeksistensi itu nggak selalu teori rumit yang ditulis di jurnal setebal skripsi molor lima tahun.
Koeksistensi bisa lahir dari momen absurd, bikin kita salah tingkah dulu, kemudian sadar belakangan.
Susi, Sang Nenek Hutan
Susi punya riwayat hidup yang bikin dada sesak. Pernah hidup di rantai besi, lehernya luka parah, bahkan ada potongan karet yang menempel di kulit.