Bedanya, orangutan nggak bisa masak pakai kompor. Mereka langsung panjat, petik, makan. Praktis, bikin yang punya kebun geleng-geleng.
Buat petani, situasi ini jelas bikin pusing. Buat orangutan, ini urusan isi perut. Sama-sama punya alasan, sama-sama merasa benar. Kalau ketemu di waktu yang salah, jadinya ribut.Â
Waktu ngobrol sama beberapa warga Ketapang, mereka cerita dengan nada datar tapi getir. Saya sampai kehabisan bahasa untuk menuliskannya di esai ini.Â
Namun sederhananya begini: kalau ada orang yang babat hutan, buka tambang, atau tebang pohon sembarangan, itu bukan semata karena iseng.
Seringkali justru karena kalah sama perusahaan besar. Tanah yang tadinya jadi pegangan hidup sudah habis. Â
Yang disebut ilegal itu bukan pilihan mudah, itu pilihan terakhir.
Kalau direnungi lagi, orangutan masuk kebun sawit karena lapar. Manusia babat hutan juga karena lapar. Melihat koeksistensi hanya dari sisi manusia atau hanya dari sisi orangutan hasilnya muter-muter kayak lagu koplo di warung kopi, nggak pernah benar-benar selesai.Â
Inilah paradoksnya: warga dan satwa sama-sama lapar, sama-sama cari kursi kosong, tapi kursinya makin sedikit.
Situasi ini mirip rebutan kursi di KRL. Kursinya tinggal satu, semua orang pura-pura sibuk main gawai tapi matanya sudah fokus. Begitu ada yang berdiri sebentar, langsung disambar orang lain.
Nggak ada yang sepenuhnya salah, semua cuma pengen duduk biar nggak encok.
Di DPR ceritanya lebih absurd lagi. Kursi di sana diperebutkan dengan alasan paling pantas, paling layak, paling suara rakyat. Begitu sudah duduk, sering kali justru amnesia soal rakyat lain yang suaranya nggak pernah masuk ruang sidang.