Suara petani yang kebunnya dimasuki orangutan, atau suara orangutan yang hutan rumahnya sudah habis.Â
Pertengkaran manusia dan satwa ini jarang sekali dibawa ke meja rapat. Yang ramai justru debat soal tunjangan, atau anggaran perjalanan dinas yang berakhir dengan plesiran.
Koridor, Literasi, dan Speak for the SpeciesÂ
Kalau orangutan dan manusia sama-sama lapar, berarti butuh jalan keluar biar nggak terus-terusan rebutan kursi.Â
Para peneliti dan pegiat konservasi sudah lama mendorong pembuatan koridor satwa di lahan sawit dan pemulihan sempadan sungai.
Idenya sederhana, orangutan bisa jalan dari satu hutan ke hutan lain tanpa harus mampir ke kebun warga. Itu mirip jalur busway, cuma kali ini penggunanya orangutan. Nggak perlu nunggu lampu merah, nggak perlu masuk jalan tikus, tinggal lewat lorong pohon yang sudah disiapkan.Â
Sebuah riset berjudul Habitat Suitability Models Of Bornean Orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus Linn, 1760) In Wildlife Corridor, Kapuas Hulu, West Kalimantan menemukan bahwa lorong pohon di tepian sungai punya peluang hampir 50 persen dipakai orangutan sebagai jalur lewat.
Tim riset bilang, koridor satwa itu semacam aplikasi navigasi yang otomatis mengarahkan ke rute paling aman. Kalau manusia punya Google Maps, orangutan punya daun maps bawaan alam. Â
Masalahnya, bikin koridor nggak semudah di iklan biskuit. Diputar, dijilat, dicelupin, beres. Kalau cuma diputar-putar, masih ada yang bisa menjilat atau ada yang nggak setuju dicelupin.
Pemulihan hutan butuh upaya lebih dari itu, termasuk komitmen perusahaan, pekerja, juga warga.
Sebab itu saya sempat mikir, orangutan ini kan nggak pernah bikin konferensi pers atau nulis esai panjang di Kompasiana buat jelasin posisinya, apalagi ngotot minta koridor satwa.Â